Mohon tunggu...
M. Subhi-Ibrahim
M. Subhi-Ibrahim Mohon Tunggu... -

Pengajar filsafat agama di\r\nUniversitas Paramadina

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Benteng Terakhir Pendidikan Moral

9 Juli 2013   13:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:48 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Carut-marut kehidupan kita sebagai bangsa tergambar jelas dalam kotak televisi. Mulai dari pembunuhan nan sadis, pemerkosaan yang menjijikkan, korupsi yang memualkan nurani tercium tiap kita membuka mata dan telinga hati kita. Ditambah lagi dengan tingkah pola para-politisi yang telah merobek-robek hati rakyat.Rakyat yang tengah diderah kelaparan dan dihimpit kemiskinan dipertontotan kerakusan “hewan-hewan politik” untuk menaikkan tunjangan dan tetek-bengek lainnya.Aroma busuk kita sebagai suatu bangsa begitu menyengat membangunkan kesadaran kemanusiaan kita.

Sialnya, kita kadang hanya—mengutip ungkapan Ali Shari’ati–berada pada tingkat membicarakan masalah bukan mengobrolkan solusi dari masalah tersebut. Untuk menemukan titik terang masalah saja susahnya “minta ampun”, apalagi mencari jalan keluar. Akhirnya, borok moral bangsa ini semakin parah.Perlu segera “diamputasi.”

Salah satu penjelasan penyebab seluruh masalah tersebut adalah: buruknya pendidikan moral. Kita beranggapan bahwa jika seorang anak telah diserahkan di sekolah dan membayar biaya mahal (karena dijuluki “sekolah unggulan”) maka seluruh tanggungjawab dan kewajiban orangtua telah gugur. Ini keliru !!! sebab sekolah-sekolah kita miliki tidak menempatkan moralitas sebagai orientasi edukasinya.Logika-kapitalistik yang tertanam dalam benak lembaga-lembaga pendidikan telah menciptakan anak-didik sebagai konsumen dan objek pengerukan keuntungan. Sebenarnya, kita memiliki benteng terakhir moralitas. Modal sosial yang lama tak diperhatikan sebagai sebuah instrumem pembentukan moralitas bangsa, yakni keluraga.

ORANG TUA: JALALIYAH DAN JAMALIYAH ALLAH

Orangtua adalah figur pertama dan utama pendidik anak-anak.Selayaknya, orang tua mampu jadi idola anak-anaknya.Keteladan tersebut bersumber dari kemampuan orangtua untuk menyerap dan memantulkan sifat-sifat Ilahiyat Allah dalam tingkah laku.

Pertanyaan yang muncul, bagaimana mengetahui sifat-sifat Allah itu? Dalam al-Qur’an, Allah menyebutkan beberapa nama-Nya, asma al-husna.Via nama-nama tersebut Allah memperkenalkan sifat-sifatnya. Allah memiliki banyak nama.Namun, jika dikategorikan, maka secara umum nama-nama Allah dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yakni nama yang menunjukkan sifat jamaliyah dan sifat jalaliyah.(Jalaluddin Rakhmat, 1999:19)

Jamaliyah Allah adalah dimensi kelembutan Allah, nama-nama Allah yang mengungkapkan kasihsayang-Nya. Misalnya, kata al-wadud yang berasal dari kata wud yang artinya “penuh cinta kasih”, al-Wahab senang memberikan anugerah; al-Tawwab (senang menyambut orang-orang yang kembali kepada-Nya). Wajah Allah ini disebut dengan dimensi Jamaliyah. Sachiko Murata menerjemahkan kata jamal dengan His Beauty. (Sachiko Murata, 1998:108) Dalam dimensi jamaliyah-Nya, Allah tampak sangat dekat (aqrab) dengan manusia. Perasaan yang timbul dalam benak manusia ketika menyebut sisi jamaliyah Allah adalah perasaan mahabbah (cinta) yang menurut al-Ghazali merupakan puncak keberagamaan (Jalaluddin Rakhmat, 1999: 16)

Dimensi jalaliyah Allah mewakili sifat Ketegasan dan Keperkasaan-Nya. Allah, seperti Maha Besar, Maha Pembalas orang-orang kafir, Penyiksa bagi yang berdosa. Efek psikologis yang muncul dalam hati manusia adalah perasaan takut (khauf). (Jalaluddin Rakhmat, 1999:40)

Kedua sisi Ilahi itulah yang mesti dapat diperkenalkan oleh orang tua kepada anak-anaknya.Ayah merupakan perwujudan sifat jalal. Ayah adalah pemimpin yang harus menerapkan disiplin, menumbuhkan rasa takut pada pelanggaran norma dan nilai Ilahiah serta sosial. Sedangkan ibu adalah manifestasi sifat Jamal.Fungsi wanita adalah menterjemahkan sifat-sifat jamal Allah. Imam Khomeini menulis:

Kelembutan dan kasih sayang yang terkandung dalam mata-berbinar seorang ibu adalah kilatan kasih sayang Rabb sekalian alam. Allah, subhanahu wa ta’ala, telah meniupkan ke dalam hati dan jiwa para ibu kasih syang-Nya sendiri dengan suatu carayang tak terperikan dan tak seorang pun bias menghargainya kecuali para ibu itu sendiri.Berkat kasih-abadi-Nyalah, maka para ibu menjadi kukuh seperti ‘Arsy Allah itu sendiri, memiliki kekuatan untuk menanghung kesakiatn itu dan kesuasahan menjadi ibu, sejak awal kehamilan, selama kehamilan itu sendiri, tahun-tahun anaknya masih bayi, dan sepanjang hidup anaknya.Itulah hal-hal yang seorang ayah tak bisa menangungnya meskipun hanya semalam.” (Yamani, 2001: 101-114)

Perasaan yang dilahirkan dari seorang ibu adalah kelembutan, serta cinta tanpa batas.Dengan peran manifestasi ayah-ibu tersebut diharapkan anak-anak mampu memiliki keseimbangan kepribadian yang terletak pada kemampuan mereka untuk menterjemahkan kelembutan dan ketegasan dalam bersikap dalam keseharian sehingga mereka mampu bertindak secara tepat melalui ukuran nilai-nilai Ilahiyah.Dengan keseimbangan tersebut seorang anak mampu berdiri dengan dua “kaki spiriritual”, yakni khauf (takut, cemas), dan raja’ (harap).

ANAK: AMANAH ILAHI

Anak adalah amanah. Tiap orang tua akan diminta pertanggungjawabannya berkenaan dengan anak yang “dititipkan-Nya” kepada mereka. Disamping amanah, anak pun merupakan cobaan atau fitnah dari Allah. Dalam hal ini posisi anak tak ubahnya dengan harta kekayaan. Allah menganugrahkan harta kekayaan kepada manusia agar dipergunakan atau dibelanjakan ke jalan yang benar. Anak dianugrahkan kepada manusia agar dididik ke jalan yang benar. Rasulullah saw bersabda,”Ajarkanlah anak-anak kalian tiga hal: mencintai nabi kalian, mencintai keturunannya yakni ahl al-baytnya, dan membaca al_Qur’an.” (Allamah Kamal Faqih Imani, 2003: 51).

Akan tetapi pada realitasnya sebagian manusia terjebak dalam kubangan kekeliruan dalam mengasuh anak-anak mereka. Salah satu penyebab kekeliruan tersebut adalah faktor ketidaktahuan mereka akan hak-hak anak. Ada beberapa hak yang harus dipenuhi orang tua: pertama, memberikan nama yang baik.Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad saw: Ya Rasulallah, apakah hak anakku terhadapku?” Nabi menjawab:”Engkau baguskan nama dan pendidikannya; kemudioan engkau tempatkan ia di tempat yang baik.” Nama itu penting sebab menunjukkan identitas, baik identitas keluarga, bangsa, bahkan aqidah. Para psikolog modern belakangan menyadari pentingnya nama dalam pembentukan konsep diri.Secara tidaksadar orang akan didorong untyuk memenuhi citra (image, gambaran) yang terkandung dalam namanya.Teori labelling (penamaan) menjelaskan kemungkinan seorang menjadi jahat karena masyarakat menamainya sebagai penjahat.Berilah gelar “jorok” kepada anak Anda. Dan seumur hidup anak itu akan menjadi orang yang jorok.Gelarilah ia “si pemurah”, dan ia besar kemungkinan akan berusaha pemurah.Seorang anak akan menuntut orangtuanya pada hari akhirat, atau bisa jadi di dunia ini, bila nama yang diberikan padanya membawa petaka dalam kehidupannya.(Jalaluddin Rakhmat, 1996: 186)

Yang terpenting dari hak-hak anak adalah mendapatkan kasih sayang.Secara fitri, tiap setiap orangtua pasti menyayangi dan mengasihi buah hatinya.Masalahnya, tidak tiap orang tua mampu mengekpresi dan mengkomunikasikan kasih sayangnya dalam perilaku dan perkataan yang terlihat dan didengar oleh sang anak.Kadang-kadang anak-anak baru menyadari kasih-sayang orangtuanya ketika keduanya telah wafat. Padahal, kasihsayang yang tampak dari perilaku orangtua sangat penting dalam pertumbuhan kejiwaan sang anak.Jalaluddin Rakhmat mengutip sebuah puisi menarik.(Jalaluddin Rakhmat, 1996:187) Puisi itu karya Dorothy Law Nolte, yang berjudul Children Learn What They Live, yang mengungkapkan pentingnya mengkomunikasikan kasihsayang yang akan menciptakan perilaku baik pada anak-anak.

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan ia belajar berkelahi.

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.

Jiak ia dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar mengharagai.

Jiak ia dibesarkan dengan kasihsayang dan persahabatan,

ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Akhir al-Kalam

Dalam Ushul al-Kafi, dikisahkan bahwa Imam Ja’far al-Shadiq menyapa sekelompok orang yang bertanya mengapa mereka mengecawakan Rasulullah saw.Seseorang bertanya kepada Imam, bagaimana mereka melakukannya.Beliau menjawab: apakah kalian tidak tahu bahwa perbuatan kalian dilaporkan kepadanya? Apabila beliau melihat kalian berdosa kepada Allah maka dia merasa tidak senang.Oleh karena itu janganlah kalian sakiti Rasulullah tapi senangkanlah dia. (Allamah Kamal Faqih Imani, 2003: 64) Rasulullah akan menatap dengan sedih dan tersakiti bila kita, yang mengaku umatnya ini, berakhlak buruk.Akhlak luhur adalah mahkota mu’minun dan bukti nyata bahwa kita adalah para pencinta ahl al-baitnya. Imam al-Shadiq As berkata,”sesungguhnya kami sangat mencintai orang yang berakal, memiliki pemahaman yang mendalam, bijaksana, sabar, jujur dan menepati janji.Allah Yang Mahaperkasa mengkhususkan para nabi dengan akhlak-akhlak yang mulia.Maka, barangsiapa memiliki akhlak seperti itu, hendaknya dia memuji Allah atas karunia-Nya, dan barangsiapa belum memilikinya maka hendaknya dia merendahkan diri kepada Allah dan memohon klepada-Nya agar dianugerahi akhlak tersebut,” (Musa Jawad Subaiti, 2001: 29). Pendidikan akhlak bermula dari lingkungan terdekat kita, yakni rumah kita, keluarga kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun