Jika harus memilih bagaimana aku harus hidup, maka satu-satunya hal yang tidak ingin kulakukan adalah satu yaitu lahir di dunia ini. Bagiku lahir di dunia ini adalah aib yang sangat besar. Aku merasa diriku sangatlah hina, bagaikan sebuah kotoran yang tidak dapat lagi disucikan itulah pandanganku pada diriku sendiri, dan hal itu tidak lain karena aku dilahirkan dari seorang ibu yang bengis, ibu yang kejam, diktator, gila dan kata-kata lain yang tidak mencerminkan seorang ibu bahkan mungkin seorang induk hewan lebih berperikemanuasiaan dari pada seseorang yang kini ku panggil ibu.
Dulu ketika aku kecil aku sering mendengar orang-orang berkata bahwa ibu itu adalah orang yang paling baik, paling menyayangi kita dan mengerti apa yang kita mau. Tapi apa? Ibu yang sering diagung-agungkan oleh semua orang sepertinya tidak berlaku pada diriku, ibuku sering memukulku, membentakku, menyalahkanku, mengejekku, berteriak kepadaku. Kadang ketika aku bermain bersama teman-temanku ia datang dan tanpa alasan yang jelas memarahiku, kadang pula ia berteriak sekencang-kencangnya di dekat telingaku “Emang dipikir aku budeg apa?” runtukku dalm hati, tapi satu hal yang paling kuingat dari kata-kata ibu “Anak setan, ga tahu diuntung, ga tau terima kasih, nyusahin orang tua terus, muak aku liat muka kamu, Nyesel aku ngelahirin kamu!” Kata-kata itulah yang paling kuingat dalam memoriku. Mungkin ibu sering sekali memukul dan membentakku, tapi hari ini tidak seperti biasanya aku sampai dikatai-katai seperti itu.
Mungkin perlu diketahui keluargaku bukanlah keluarga seperti kebanyakan orang dimana ada seorang bapak, seorang ibu dan seorang anak. Dalam keluargaku hanya aku dan ibu, itupun aku tidak tahu apa aku pantas atau tidak menganggap dia ibu, lah wong dia aja belum tentu menganggap aku anak. Buktinya dia terus aja memarahi dan memperlakukanku seperti budaknya, di dalam rumahku tidak ada ada seorangpun yang bisa kupanggil bapak disini. Aku tidak tahu bagaimana gambaran seorang bapak. Hingga waktu demi waktu kulalui dengan ibu mengais satu demi satu sisa rezeki manusia metropolitan. Hingga tiba suatu hari ada waktu dimana aku untuk sekian kalinya tidak diterima bekerja. Dan seperti yang sudah kuperkirakan ibuku marah lagi, membentakku lagi dan akhirnya tercetuslah kata-kata yang sangat menyakitkan itu. Pikirankupun semakin berat, kepalaku seaakan mau pecah memikirkan akan masa depan yang akan kuhadapi, bagaimana aku bisa hidup, bagaimana cara aku untk bisa makan ditambah lagi dengan kata-kata ibu tersebut, pikiranku pun semakn berat-berat dan berat hingga akhirnya aku seakaan mendengar suatu suara dari dekat telingaku “Ibu tidak menyayangimu, dia hanya memanfaatkanmu, dia yang selalu mengambil uang yang kamu dapatkan” Kata-kata itu semakin hari semakin keras dan keras. Aku berusaha untuk tidak mengindahkannya tapi semakin lama kata-kata itu semakin sering kudengar.
Sampai hari itu pun tiba…..
“Kamu ga diterima lagi? emang benar-benar ga ada gunanya kamu hidup ya dasar anak bawa sial anak haram kenapa dulu bapakmu ga bawa kamu sekalian biar sekalian aku hidup sendiri!” teriak ibu dan teriakan-teriakan lain di dekat telingaku pun semakin menjadi-jadi akhirnya kuambil sebuah pisau dan kuhunuskan ke tubuh ibuku yang telah lama kubenci itu. “Ibumu sudah mati, Ibu yang menganggapmu seperti binatang tidaklah pantas untuk kaupanggil ibu” suara-suara itu terdengar lagitapi entah kenapa hatiku seakan sangat puas, sangat gembira. Kutinggalkan tubuh ibuku yang sekarang sudah seperti bangkai yang sudah tidak berguna, kulihat sejenak tubuhnya, sejenak ada rasa bersalah dalam diri tapi aku tepis dengan menguatkan bahwa apa yang kuperbuat adalah sebuah kebenaran.
Malam Harinya…..
Aku tidak dapat tertidur pulas, ingin aku lihat mayat ibu yang tergeletak di dalam rumah, aku merasa takut, keringatku seakan mengalir tanpa henti, aku merasa seperti ada seseorang yang mengawasi aku, tapi kucoba untuk memejamkan mata seketika. Tapi semakin lama dan lama aku tidak bisa memejamkan mataku, dan tiba-tiba suara-suara aneh itu kembali tertangkap oleh telingaku “Hey kau anak durhaka, tega-teganya kau membunuh ibumu” kata-kata itu terdegar jelas di gendang telingangaku semakin lama suara itu semakin keras. Akupun berlari mengambil bantal agar aku aku bisa menutup telingaku agar suara-suara itu tidak terdengar, tapi semakin aku lari semakin kencang pula suara itu terdengar. Akupun mencoba untuk bersembunyi di berbagai tempat tapi tetap saja suara itu makin jelas dan makin jelas. Akhirnya akupun berteriak agar suara itu berhenti “Kamu yang disana, jangan ganggu aku, aku tidak takut kamu!” tapi tetap saja suara itu terdengar dengan lantangnya. Akhirnya aku menyerah “Iya aku yang membunuh ibu, maaf kan aku, tolong jangan ganggu aku” kataku mengiba, menangis, meratap dan minta ampun tapi tetap saja suara itu terdengar tanpa henti. Begitu seterusnya sepanjang malam.
Keesokan Harinya…
Pagi-pagi sekali ada orang yang datang ke rumahku, entah siapa namanya, menanyakan ibuku. Kujawab saja bahwa ibuku sudah mati tapi entah mengapa aku merasa sangat senang sehingga aku tertawa terbahak-bahak. Orang itupun menatapku aneh tapi aku tetap saja tertawa tapi semenit kemudian aku merasa bersalah dan sedih karena perbuatanku akhirnya ibuku meninggal, akupun menangis menjadi-jadi.
Orang itupun berlari dan memanggil orang-orang di sekitar rumah, akhirnya rumahkupun banyak dari warga dan semuanya menatap aneh dan takut ketika menatapku. Melihat itu akupun merasa puas dengan hal itu akupun tertawa terbahak-bahak lagi tapi kemudian beberapa waktu kemudian lagi-lagi perasaan bersalah itu muncul lagi, hingga akupun menangis sekencang-kencangnya dan suara-suara di dekat telingaku masih tetap menyerukan beberapa hal yang sangat meyakitkan mengenai diriku, aku sangat tidak terima dengan hal itu, akupun berteriak menantangnya tapi ia tetap tidak berhenti berceloteh. sampai ada beberapa orang yang berseragam putih datang menghampiriku “Ayo mas ikut saya” katanya tapi aku bingung, aku masih mau menikmati kematian ibu, tapi disisi lain aku merasa takut untuk melihat wajah tak berdaya ibu, akhirnya aku hanya menjawab dengan tertawa dan memainkan tanganku.
Akhirnya ada orang-orang berseragam itu menggenggam kedua tanganku dan menyeret tubuhku dari kerumunan aku lihat ke belakang, akupun kembali tertawa mengingat kematian ibu tapi sejenak kemudian aku menagis meratapi kemalangan ini. Akupun sudah tidak peduli dengan suara-suara yang tetap saja keluar masuk telingaku tapi dalam hati aku hanya tertawa sembari berkata “Awas kau ibuku saja kubunuh apalagi kamu” Sebelum masuk ke dalam mobil sekilas aku mendengar seseorang mengatakan “Wong edan, mosok ibuk e dewe dipateni” tapi aku hanya tertawa dan dalam hati aku berkata “Siapa yang gila, Aku?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H