Mohon tunggu...
SUBHAN AKBAR SAIDI
SUBHAN AKBAR SAIDI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis; Jalan menuju kemerdekaan sesungguhnya

Selanjutnya

Tutup

Financial

Masa Suram

22 Juni 2023   20:30 Diperbarui: 22 Juni 2023   20:34 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: tehrantimes.com

Kabut mulai mengintip, memberi kejutan setelah ekonomi sebagian perlahan merangkak pasca pandemi.  Begitulah situasi Jerman saat ini, mencemaskan akibat resesi. Data PDB Jerman menunjukan ekonomi Jerman, pada kuartal I tahun ini menyusut 0,3%, penurunan ini adalah kontraksi Kuartal ke II secara berturut-turut.

Jerman telah menjadi salah satu mesin perekonomian Eropa selama beberapa dekade. Itulah sebabnya, Jerman tidak sendiri. kondisi ini akan disusul oleh 19 negara lainnya yang merupakan bagian dari zona euro.

Tanda-tanda resesi itu muncul akibat konsumsi rumah tangga yang tertekan akibat inflasi dan kenaikan suku bunga bank central yang melemahkan prospek pertumbuhan masa depan kawasan itu. Terlepas dari itu, resesi ekonomi Jerman juga dipicu dari perang Rusia-Ukraina yang belum usai. Ketergantungan yang tinggi pada Rusia untuk pasokan energi menyebabkan resesi, yang akhirnya membebani rumah tangga dan bisnis.

Sebetulnya, IMF dan Bank Dunia telah berulang kali memperingatkan kemungkinan resesi tahun ini dan terjadi pada seluruh negara global

Resesi dunia memang sudah di ruang tamu, bukan lagi di depan pintu dan sebentar lagi akan menyasar ke dapur. Kondisi itu akan kian menguatkan prediksi berbagai analisis pada tahun lalu yang menyebutkan ekonomi global akan dilanda kemurungan pada 2023.

Fakta terjadinya resesi dunia makin terkonfirmasi saat Presiden Joko Widodo diberi tahu IMF ihwal jumlah 'pasien' negara-negara di dunia di lembaga keuangan internasional tersebut.

Saat ini, ada 96 negara yang menjadi 'pasien' International Monetary Fund atau dana moneter internasional. Presiden mengetahui hal itu ketika bertemu dengan Managing Director IMF Kristalina Georgieva dalam konferensi tingkat tinggi G-7 di Hiroshima, Jepang, Mei 2023. Jumlah itu lebih dari separuh total anggota IMF  yang mencapai 190 negara.

Bagaimana dengan Indonesia?

Bagi indonesia, resesi ekonomi global dan sulitnya perekonomian dunia itu kian memukul ruang-ruang lapangan pekerjaan di dalam negeri yang masih sesak. Itu terjadi karena jumlah industri manufaktur berbasis ekspor pasti kesulitan memasarkan produk mereka. Karena itu, perumahan pekerja hingga pemusutan hubungan kerja (PHK) bakal kian masif.

Apalagi, konfigurasi perekonomian kita masih kurang ramah terhadap tenaga kerja. Kontribusi dua sektor utama ekonomi kita, yakni pertanian dan manufaktur, terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional terus menurun dari waktu ke waktu. Padahal, dua sektor itulah yang mampu menyerap 44% total tenaga kerja.

Sebaliknya, kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB nasional naik. Padahal, sektor itu hanya bisa menyerap 1% tenaga kerja kita.

Pada satu dekade lalu, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional masih 21%. Namun, kini porsi pertanian terhadap PDB nasional tinggal 18,6%. Sektor manufaktur sami mawon. Sepuluh tahun lalu, sektor itu masih berkontribusi hampir 15% terhadap PDB nasional. Kini, kontribusinya ambles menjadi 11,8%.

Situsi ini berbeda dengan sektor pertambangan. Sektor itu kini sanggup berkontribusi 11,9% terhadap PDB nasional karena booming harga komoditas. Padahal, satu dekade yang lalu, sektor pertambangan berkontribusi kurang dari 10% terhadap PDB.

Tinjauan Kritis

Setelah melihat situasi itu, wajar belaka banyak yang mengkritik Indonesia seperti terjebak dalam ekonomi ekstraktif untuk mendapatkan pendapatan negara dan jadi modal pembangunan. Strategi warisan pemerintah kolonial Belanda itu, selain membuat lingkungan jadi rusak dan memicu konflik tenurial yang mengorbankan masyarakat adat dan komunitas lokal, juga membuat sektor pertanian dan manufaktur tergerus. Alhasil, ruang pekerjaan menyempit.

Hasil ekonomi ekstraktif ialah krisis iklim dan ruang lapangan kerja yang sempit. Ekonomi ekstraktif ialah jenis pembangunan ekonomi dengan jalan mengeruk sumber daya alam: tambang, kayu, dan laut. Ekonomi ekstraktif membuat negeri ini juga terus-terusan berada dalam jebakan pendapatan menengah selama tiga dekade.

Karena itu, ruang transformasi ekonomi mesti segera dibuka lebar. Kurangi kemanjaan terhadap ketergantungan atas komoditas. Lakukan kebijakan radikal yang lebih mendorong tumbuhnya sektor pertanian dan manufaktur dengan beragam teknologinya. Kalau sekedar mengandalkan komoditas, apa bedanya pemerintahan saat ini dengan pemerintahan 30 tahun lalu?

Tugas pemangku jabatan ialah merumuskan masa depan agar anak-anak negeri ini punya mimpi indah. Bukan mengalir tak tentu arah. Seperti lagu Doris Day Que Sera Sera yang penggalan liriknya; 'I asked my mother, what will I be. Here's what she said to me. Que sera, sera whatever will be, will be. The future's not ours to see (aku bertanya kepada ibuku, akan jadi apa aku kelak. Ibuku berkata, apapun yang akan terjadi, terjadilah. Kita tak  tahu yang akan terjadi di masa depan)'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun