Mohon tunggu...
Money

Pertimbangan Riwayat Peristiwa Geologis dalam Pembangunan Infrastruktur

2 November 2017   19:45 Diperbarui: 2 November 2017   20:15 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penempatan suatu infrastruktur fisik pada ruang spasial tertentu akan menjadi bagian dari sejarah ruang tersebut. Keberadaannya dimaksudkan sebagai solusi serta kemudahan bagi kemajuan kehidupan. Kelak pun akan menjadi salah satu rujukan guna pengembangan kawasan terkait kemanfaatannya.

Penekanan pada keberadaan serta kemanfaatannya, oleh karena itu, "sesungguhnya" tak bisa dilepaskan dengan riwayat peristiwa geologis yang pernah terjadi. Yaitu yang terjadi di dalam kawasan di mana infrastruktur tersebut ditempatkan. Oleh karena itu pula kata "sesungguhnya" tadi tidak menunjuk pada realitas yang selalu demikian. Namun sesuatu yang seharusnya niscaya menyatakan demikian, bila yang dikehendaki adalah solusi dan kemanfaatan yang maksimal.

Realitas yang ada, mengenai hal tersebut bukan tidak mungkin acap luput dari perhatian. Boleh jadi peristiwa geologis dimaksud malah dipandang sebagai masa lalu yang tak penting kaitannya dengan kekinian. Lebih-lebih lagi dengan masa depan. Padahal sesungguhnya tentu sangat penting, baik dengan persoalan kekinian, terlebih dengan masa depan. Malah jangan-jangan bisa menjadi sumber sekaligus alat koreksi.

Sumber koreksi, bila kemudian disadari bahwa realitas masalah kekinian ternyata memang tak terlepas dari riwayat peristiwa geologis yang pernah terjadi. Alat koreksi, karena dengan disadarinya hal tersebut, pendekatan pemecahan masalah kekinian jadi dipandang perlu untuk menjadikan riwayat peristiwa geologis yang pernah terjadi sebagai pijakan dalam pengembangan infrastruktur wilayah.

Meski tampaknya masih berada di sekitaran ruang kesadaran bersama untuk terus saling ingat-mengingatkan akan keutamaannya, namun tak perlu ditunda bagi pewacanaannya. Bahwa lapisan atas tanah di Indonesia dominan berupa endapan material vulkanik, sudah diketahui umum. Di sinilah terdapat riwayat peristiwa geologis yang sangat penting dijadikan pertimbangan dalam pembangunan infrastruktur.

Ditekankan pendalaman kompleksitas kekawasanannya. Pendalaman secara komprehensif dan integralistik sebelum perencanaan dan perancangannya, dengan "pelibatan" bidang-bidang ataupun sektor-sektor terkait. Artinya juga, bukan hanya yang terkait dengan lokasi spasial di mana suatu infrastruktur ditempatkan, tetapi pun dalam lingkup kawasan. Mengapa? Karena semua pihak tentu berharap timbulnya sebesar-besar kemanfaatan.                                           

Jadi memang sangat memungkinkan pertimbangan riwayat peristiwa geologis dimaksud jadi sumber koreksi, alat koreksi, dan sesungguhnya juga bisa menjadi tujuan koreksi itu sendiri. Tujuan koreksi, misalnya dalam kaitan dengan upaya mencari solusi yang mendasar atas masalah-masalah yang cenderung berulang-ulang, dan kenyataannya memang selalu berulang-ulang.

Contoh kecil -- yang meski padahal sebenarnya sangat besar -- umpama terkait dengan warga di suatu kawasan yang kesulitan air. Namun kondisi alam sekitar menunjukkan, terdapat sumber atau mata air yang mengalirkan air tawar muncul di daerah pantai. Maka pikiran atau pandangan awam mengatakan, mengapa ketika membangun suatu ruas jalan tertentu tidak sekalian membuat bendungan bawah tanah untuk menaikkan muka air tanah, sehingga lahan yang gersang jadi subur dan masalah warga kesulitan air pun teratasi?

Pola pandangan seperti ini sebagai pandangan awam. Suatu pandangan yang umum, relatif bebas, dalam kebebasan bermimpi. Mungkin juga berbekal tak tahu banyak disiplin spesialisasi dan tak banyak tahu lika-liku birokrasi. Harapan kita, masih tersisa kemungkinan, sebaiknya, pandangan awam dikawinkan dengan pandangan spesialistis-birokratis ataupun pandangan teknis. Setidak-tidaknya pandangan teknis berkenan memperhatikan pandangan awam.

Namun pandangan teknis berada di dalam disiplin kesektoran, sehingga hal yang demikian barangkali hampir tak mungkin dapat dilaksanakan. Membuat bendungan dan membangun ruas jalan merupakan dua hal yang berbeda. Institusi yang menanganinya pun berbeda, walaupun berada di dalam kementerian yang sama.

Meskipun demikian, kata-kata "hampir tak mungkin dapat dilaksanakan" itu sesungguhnya juga mengandung arti mungkin dapat dilaksanakan, walaupun kemungkinannya sangat kecil. Atau, yang paling tepat adalah, kemungkinannya "masih" sangat kecil. Artinya, kelak bisa saja kemungkinannya menjadi sangat besar.

Pandangan awam tak tahu banyak disiplin spesialisasi dan tak banyak tahu lika-liku birokrasi, tetapi optimistis sistem informasi data yang makin maju akan dapat makin mendekatkan mimpi itu, jika pun dikatakan mimpi, ke arah kenyataan. Dalam arti, seiring dengan kian berkembangnya semangat saling mendukung bukan hanya demi konstruktifnya istilah koordinasi, tetapi juga kerjasama antarbidang antarsektor.

Lagipula masalahnya sangat sederhana, hanya soal mengakrabi kesemestian. Kalaupun belum dipandang begitu juga tak mengapa. Tetapi yang pasti, hanya mengenai riwayat peristiwa geologis kawasan hendaknya bisa dijadikan pertimbangan yang penting dalam pembangunan infrastruktur, yaitu bukan hanya pada titik lokasi penempatannya, melainkan dalam konteks kawasan. Semua itu demi kemanfaatan yang maksimal dan meluas. 

Contoh yang lebih spesifik lagi terkait dengan pembangunan Waduk Bajul Mati di daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Ternyata ada bagian dasar cekungan yang bakal jadi daerah genangan adalah bekas jurang teramat dahsyat, luas, dan dalamnya mencapai puluhan meter, yang tertimbun material letusan Gunung Ijen di masa lalu. Tentu terdiri atas bebatuan serta pasir dan bersifat sangat meresapkan air.

Perihal tersebut sudah terjadi, dan sudah diatasi. Tentu sempat merepotkan. Maka lalu diperlukan perubahan desain guna penanganan khusus bagian lahan bakal calon dasar waduk tadi, dengan mengatasi sifatnya yang sangat meresapkan air tersebut.

Pandangan awam meyakini, kira-kira dengan bayangan, niscaya di dasar timbunan material letusan gunung berapi tersebut terdapat alur badan air semacam sungai purba. Diantaranya pada sebelah hilir tentu terdapat bagian dengan lebar relatif tak seberapa. Tak berlebihan bila pandangan awam pun bertanya, mengapa di tempat tersebut tidak dibuat bangunan bendung sebegitu rupa, yang menancap hingga 40 meter ke dalam tanah, sehingga berdampak pula menopang ketersediaan air tanah dangkal bagi warga?

Kemudian juga, terkait dengan realitas warga kesulitan air bila musim kemarau dan karakter banjir sungai yang bila terjadi hujan cepat meluap tetapi juga cepat surutnya. Pada masa belakangan, kondisi sungainya niscaya relatif dangkal. Hal semacam itu kiranya dapat dijumpai di banyak tempat, khususnya di Pulau Jawa.  

Dapat dipastikan sungai yang demikian aslinya berbentuk jurang teramat dalam dan merupakan sungai lahar gunung berapi. Wujudnya yang sekarang, dasar sungai yang relatif dangkal itu tak lain bagian permukaan timbunan material letusan atau lahar gunung berapi, yang juga bersifat relatif mudah meresapkan air. Sementara dapat dipastikan pula, dari hulu mengarah ke hilir terdapat pergerakan air di dasar timbunan lahar tersebut, yang dalamnya mungkin mencapai puluhan meter.

Dua sisi mata uang "daya rusak" air adalah banjir dan kekeringan. Degradasi lingkungan yang antara lain akibat desakan demografi, telah menimbulkan kenyataan terjadinya kekeringan di musim kemarau bahkan sumur-sumur warga tak lagi dapat ditimba, dan banjir di musim penghujan, yang terkesan kian mencolok. Tiap musim terjadi, dan selalu berulang tiap tahun.  

Pertimbangan riwayat peristiwa geologis seperti tergambarkan di atas, bila diterapkan sebagai terobosan, sangat mungkin dapat diraih solusi yang relatif permanen pada sisi kekeringannya. Untuk sungai-sungai yang punya riwayat sebagai sungai lahar, dibuat bendung pada badan sungai yang sesungguhnya, menembus ke dalam tanah sampai ke dasar sungai aslinya sebelum tertimbun material letusan gunung berapi di masa lalu.

Sekedar mimpi? Mungkin, yang pasti tetap perlu diwacanakan. Untuk apa? Barangkali bisa dijadikan pijakan untuk mimpi-mimpi yang lebih besar. Boleh jadi jurus-jurus solusi menyeluruh dan pengoptimalan kemudahan-kemudahan menjalani kehidupan bisa muncul rangkai-berangkai, kelihatan jelas dalam suatu simulasi tertentu, umpamanya. Dampaknya pun bisa membesarkan kemungkinan terjadinya keintegrasian yang efisien, dan efektif, secara antarbidang antarsektor yang ada.

Tetapi bila demikian apakah tidak lalu timbul masalah banjir yang makin menggila? Ya, silahkan dihitung luasan "longstorage" dalam bentuk timbunan material lahar itu, kaitannya dengan rata-rata curah hujan setempat, bagaimana? Tetapi kan yang pasti masalah kekeringan pada bagian tertentu daerah aliran sungai tersebut teratasi secara relatif permanen.

Kalau ternyata, setelah dilakukan perhitungan, kemungkinannya memang bakal terjadi masalah banjir yang semangkin menggila? Ya, enggak apa-apa; barangkali memang perlu kembali ke rumah panggung!?!

Wow, yang penting, bermimpilah, selagi mimpi itu diperbolehkan. (sbr, 02112017)

Oleh Subekti Budhi R,perajin kata-kata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun