Melihat foto-foto relief Candi Borobudur terkait kegiatan bercocok tanam padi, langsung tertarik pada tikusnya. Ternyata tikus 1.200 tahun yang lalu sama dengan tikus zaman sekarang. Itu pasti tikus sawah, yang tugasnya menghama padi, sama dengan tikus sawah zaman sekarang, yang juga bertugas menghama padi. Tetapi dapat dipastikan tikus sawah zaman dulu terkendali secara alami, karena ular sawah pemangsanya masih terjaga sebagai sahabat manusia. Kini manusia yang bukan petani menganggap ular sawah sebagai musuh, meskipun ular tersebut tidak berbisa, dan tikus-tikus pun banyak kehilangan musuh besar utamanya.
Namun tikus sawah dan ular sawah tak bisa dijadikan ukuran kemajuan ataupun kemunduran suatu sub-unsur kebudayaan bercocok-tanam padi, atau dalam hal ini kita sebut pertanian pangan. Ini merupakan bagian dari unsur kebudayaan sistem ekonomi atau matapencaharian hidup. Kemajuan kebudayaan ditentukan oleh keserempakan pergerakan unsur-unsur kebudayaan yang niscaya saling berkaitan. Yaitu meliputi sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi/matapencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.
Pertanian pangan kita tampaknya tidak bergerak dalam keserempakan, meski dengan sub-unsur dalam sistem ekonomi, lebih-lebih lagi dalam kaitan dengan seluruh unsur kebudayaan yang lain. Bahkan jauh tertinggal dari derap simbolitas kesakralannya, sebut misalnya berupa ritual kesuburan pesta panen yang berkembang menjadi kesenian tari Ketuk Tilu, dan selanjutnya telah berkembang menjadi kesenian tari pergaulan Jaipongan. Kenyataan tersebut mengisyaratkan, sesungguhnya terjadi keadaan yang berbahaya.
Traktor Tangan Belum Menunjukkan Kemajuan
Mengapa pertanian pangan kita masih seperti zaman Borobudur? Itulah pertanyaan yang di dalamnya terkandung kekhawatiran adanya keadaan yang berbahaya tadi. Pertanian pangan dalam hal ini secara spesifik adalah tatalaksana kegiatan bercocok-tanam padi. Perhatikanlah gambar relief Candi Borobudur yang terkait dengan hal tersebut. Membajak sawah dengan dua ekor lembu yang tergambarkan pada relief Candi Borobudur itu, apa bedanya dengan di masa kini? Bila sekarang orang membajak sawah dengan traktor tangan, itu pun pada dasarnya belum menunjukkan pergerakan kemajuan yang berserempak dengan unsur-unsur kebudayaan secara keseluruhan. Juga relief yang menggambarkan orang menanam padi pada petak-petak sawah begitu rupa, menggambarkan keadaan pada masa sebelum dibangunnya Candi Borobudur, tak berbeda pula dengan di zaman sekarang.
Pertanian pangan bagi orang Indonesia mempunyai makna yang sangat strategis. Dalam kaitan dengan banyak segi yang sangat penting. Segi politik, segi budaya dan kesenian, segi alat integrasi negara, segi filosofi dan prinsip bekerja demi Tuhan dan negara, serta segi kejayaan negara. Dalam perkembangannya, nilai-nilai mendasar terkait hal-hal tersebut hingga kini masih ada, dengan modifikasinya bisa ditarik pada ranah kita bicara soal desa-kota atau mengenai kedesaan dan kekotaan. Hal ini sungguh sangat luar biasa, harus bersyukur, dan mensyukurinya juga dengan mendudukkan kembali harkat pertanian pangan sebagaimana seharusnya.
Kejayaannya dan Prinsip Bekerja demi Tuhan dan Negara
Kejayaan negara dengan kehormatan pertanian pangan, pernah ditunjukkan oleh Majapahit yang dikenal dunia sebagai negara yang berjaya di lautan. Kejayaan Majapahit di lautan itu didahului dengan membangun kejayaan pertanian pangan. Majapahit yang berpusat di Jawa Timur, mengembangkan pasar internasional di Maluku. Armada-armada Majapahit menjelajahi lautan hingga ke tempat yang jauh mendistribusikan produk-produk pertanian, khususnya pertanian pangan, yaitu beras.
Nilai-nilai mendasar tersebut tetap dimiliki oleh masyarakat (:rakyat) meskipun pembangunan irigasi pertanian rakyat sempat terabaikan dalam waktu sedemikian lama. Dalam perkembangannya di era penjajahan, pihak Kompeni banyak membangun bendung, tetapi untuk kepentingan industri perkebunan. Bendung untuk irigasi pertanian rakyat baru dibangun tahun 1852, yaitu Bendung Glapan di Kali Tuntang, setelah Gubernur Jenderal J.J. Rochussen menulis surat kepada Minister van Kolonien (Menteri Daerah Jajahan) tertanggal 28 Oktober 1847, yang menyampaikan: "Kita tidak boleh membiarkan penanaman padi lebih lama lagi tergantung kepada curah hujan, tetapi seharusnya mengusahakan jaminan keberhasilan lebih baik dengan mengadakan irigasi."
Hal itu demi melihat kondisi buruk yang dikhawatirkannya, yang terbukti menjadi kenyataan ketika kemarau panjang melanda pada 1848 dan 1849 sehingga gagal panen sampai-sampai terjadi bencana kelaparan yang mengakibatkan lebih dari 200.000 orang meninggal dunia di daerah Demak dan sekitarnya. (Abdullah Angoedi, "Sejarah Irigasi di Indonesia I", 1984). Pembangunan Bendung Glapan yang dimulai tahun 1852 itu pun baru selesai pada 1859.
Namun kita tak hendak bicara soal sejarah irigasi. Justru penekanannya di sini, kemunduran prasarana-sarana irigasi bukan alasan untuk tidak bisa meraih kemajuan ke depan. Faktanya, memang, pada saat memasuki Pelita I (1969---1974) pun sekitar 60% jaringan irigasi yang ada dalam keadaan rusak, rusak berat, bahkan hancur. Sekarang juga, sampai 2017, mengenai penyelenggaraan OP (Operasi dan Pemeliharaan) yang optimal masih relatif jadi persoalan.
Memahamkan pada petani bahwa padi bukanlah tanaman air, pun hampir-hampir tak mungkin, dan prinsip sawah harus tergenang air berlimpah-limpah, ibaratnya dari zaman Borobudur sampai sekarang tetap tak berubah. Sampai-sampai harus membuat proyek demplot sistem intensifikasi penanaman padi tanpa genangan air. Artinya apa? Artinya, kalau saja pengelolaan tanaman pangan itu sudah dengan sistem korporasi, maka pengoptimalan segala potensi niscaya akan jauh lebih tepat sasaran. Air bisa dihemat dan dimanfaatkan untuk memperluas areal panen. Konsentrasi bisa diarahkan untuk pengembangan teknologi menekan tumbuhnya rumput daripada menangani petani rebutan air untuk menggenangi petak sawah masing-masing dengan air yang berlimpah-limpah.
Harus terjadi lompatan sejauh mungkin dalam penyikapan serta pendekatan pengelolaan pertanian pangan agar kemajuannya tak jauh tertinggal melainkan bergerak dalam keserempakan dengan sub-sub unsur serta dalam unsur-unsur kebudayaan yang lain. Itulah rumusnya. Kalau dikatakan revolusi, ya memang perlu revolusi, dan bila revolusi butuh biaya besar, itu risiko. Khususnya di Pulau Jawa, atau pelaksanaannya dimulai dari Pulau Jawa lebih dulu.
Orang Indonesia tak perlu terpengaruh dengan fakta kesejarahan di belahan dunia lain, yang untuk membangun kota diperlukan budak-budak, yang diperoleh dengan penaklukan ataupun dengan penculikan-penculikan serta perdagangan manusia. Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan kondisi alam dan kultur yang menumbuhkan semangat orang kebanyakan untuk ikut membangun dengan prinsip bekerja demi Tuhan dan negara. Pada dasarnya seperti itu.
Fokus Perhatian pada Fenomena Lebaran
Maka tak layak, umpamanya, menerapkan politik beras murah untuk mendapatkan buruh murah guna mendukung pembangunan kota dan industri perkotaan. Tidak baik pula bila, seandainya, membiarkan desa relatif tak tumbuh sehingga mengalir urbanisan untuk jadi buruh kasar dalam pembangunan kota, ataupun sebagai buruh pabrik di kota dengan impian kebahagiaan yang tak jelas.
Jangan sampai prinsip dalam kultur yang kental itu, prinsip bekerja demi Tuhan dan negara, tidak dimaksimalkan potensinya, padahal niscaya bisa sangat efektif hanya dengan mewujudkan secara optimal kebahagiaan masyarakat dalam pesta rakyat. Oleh karena itu masih kurang juga, kalau saja, berbagai kemudahan dalam mendukung kegiatan mudik lebaran diadakan, tetapi THR (Tunjangan Hari Raya) hanya satu bulan gaji, seperti yang sudah-sudah.
Di dalam ruangan inilah kunci segalanya tersimpan, yaitu di dalam ruangan fenomena lebaran. Bersyukurlah Tuhan telah berkenan dengan bergesernya pesta rakyat yang membahagiakan dari sentralnya di istana, sekarang adanya di masyarakat. Inilah sesungguhnya alat integrasi negara yang utama, termasuk hal-hal yang membahagiakan masyarakat yang dihadirkan oleh negara ataupun negara hadir di dalamnya, dan inilah yang utama. Fokuskan perhatian ke sini.
Perihal ini pula  bila di bagian atas tadi ada tertulis begini: "Dalam perkembangannya, nilai-nilai mendasar terkait hal-hal tersebut hingga kini masih ada, dengan modifikasinya bisa ditarik pada ranah kita bicara soal desa-kota atau mengenai kedesaan dan kekotaan." Sesungguhnya secara kultur Indonesia tak mengenal dikotomi desa-kota, tak mengenal dikotomi buruh-majikan, semua bekerja demi Tuhan dan negara, baik untuk kepentingan kota maupun untuk kepentingan desa.
Dari dulu seperti itu, dan sampai sekarang "ruh"nya tetap sama. Perhatikanlah dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, bagaimana orang desa bekerja di kota, orang kota yang orangtuanya juga di kota, buruh dan majikan yang bekerja keras sepanjang tahun, pada dasarnya punya tujuan yang sangat jelas, yaitu memperoleh kebahagiaan di saat lebaran.
THR Golongan I Sebesar 5 x Gaji
Jelas sekali, buruh adalah simpul kekotaan dan kedesaan. Majikan bagi buruh adalah partner untuk mendapatkan Kebahagiaan Lebaran. Majikan jangan mendefinisikan buruh Indonesia secara tidak pas, kudu sesuai dengan kultur Indonesia. Buruh bisa menjadi partner majikan untuk memerangi pungli dan sebagainya, demi meningkatkan daya saing serta kesejahteraan dan lain-lain, asalkan majikan mau menempatkan dan memandang buruh Indonesia sesuai kultur Indonesia.
Di dalam kebahagiaan buruh saat mudik lebaran bisa terdapat semangat sekaligus tindakan nyata menghidupkan kembali konsep lumbung di setiap rumah petani di zaman dulu yang selalu berisi padi sepanjang musim. Jelas sekali segi ini memperkuat ketahanan budaya nasional, dan menopang kekuatan negara. Konsep lumbung padi itu di masa kini dapat berupa perhiasan-perhiasan emas yang disimpan oleh ibu-ibu di desa-desa.
Ibu-ibu itu, ya Tuhan, senang sekali kalau menerima THR dari anaknya, dari keponakannya, dari anak teman-temannya, dan setelah untuk menyenangkan cucu-cucunya, kalau masih ada lebihan biasanya akan dibelikan perhiasan-perhiasan emas. Oleh karena itu strategi pengupahan buruh perlu menjadikan THR sebagai komponen sangat penting yang diformatkan dapat diwujudkan secara maksimal. THR bagi golongan I sebesar 5 x gaji, golongan II adalah 4 x gaji, golongan III lebih kecil perbandingannya, yaitu 3 x gaji, dan golongan IV THR-nya cukup 2 x gaji. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Desa tak perlu lagi dipandang sebagai desa zaman dulu. Desa zaman sekarang lahan persawahannya terancam alih-fungsi jadi mall, apartemen, dan lain-lain. Petani zaman sekarang pun banyak petani gurem dengan lahan di bawah 0,5 hektar, punya anak empat orang dibagi empat, dan seterusnya, akhirnya jadi persil-persil dan dijual juga.
Tata Ulang Petak Sawah Secara Korporasi
Alih fungsi lahan persawahan di Pulau Jawa harus dihentikan. Mencetak sawah baru terlalu mahal, dan bukan hanya karena itu, tetapi terutama berkaitan dengan menjadikan pertanian pangan dapat bergerak dalam keserempakan dengan sub-sub unsur serta dalam unsur-unsur kebudayaan secara keseluruhan. Dengan demikian dapat ditetapkan luasan sawah yang ada dan tak akan lagi berubah.
Lalu dilakukan penataan ulang petak-petak sawah disesuaikan dengan kebutuhan penggunaan traktor kendara yang besar-besar, baik untuk pengolahan lahan maupun pemanenan hasil pertaniannya. Petak-petak sawah yang kecil-kecil itu dilebur, dan pemilikan petani diganti dengan semacam nilai saham, dengan penunjukan lokasi lahan sesuai koordinat geografisnya. Nilai saham tersebut dapat diwariskan. Sementara traktor-traktor tangan hanya digunakan di daerah-daerah perbukitan, yang petak-petak sawahnya tak mengapa tetap seperti sediakala. Apartemen-apartemen sederhana dibangun di pinggiran kota-kota kecil, guna penyediaan rumah murah bagi keluarga petani.
 Mengenai teknis pelaksanaan pengelolaan pertanian pangan secara semacam korporasi itu niscaya bisa dirumuskan oleh para ahli dengan sebaik mungkin. Jangan sampai lengah berlama-lama membiarkan kondisi yang berbahaya berlangsung, akibat pertanian pangan tidak bergerak dalam keserempakan dengan sub-sub unsur serta dalam unsur-unsur kebudayaan secara keseluruhan. (sbr, 6-9-2017)
Oleh Subekti Budhi R, perajin kata-kata  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H