Kebijakan stop impor pangan selalu menjadi perhatian publik dan juga sempat menjadi isu penting dalam beberapa putaran debat calon presiden 2019. Dalam beberapa kesempatan, calon presiden Prabowo Subianto menyatakan jika terpilih, memiliki kebijakan tidak akan impor bahan pangan. Calon Presiden Joko Widodo juga menyinggung pentingnya membangun kedaulatan pangan nasional.
Gagasan nol impor bahan pangan bagi Indonesia perlu diulas apakah cukup realistis  dan feasible untuk semua bahan pangan atau hanya realistis untuk bahan pangan strategis tertentu.Â
Swasembada bahan pangan pokok seperti beras, jagung, gula dan daging sangat relatistis dengan prasyarat konsistensi dukungan kebijakan terkait pembiayaan, Â inovasi teknologi dan peningkatan skala usaha.Â
Namun, nol impor tidak realistis untuk kedelai dan gandum karena komoditas tersebut merupakan tipikal komoditas pangan yang sangat sesuai dikembangkan di negara empat musim dan kurang sesuai dikembangkan di negara beriklim tropis.
Impor Kedelai dan Gandum
Indonesia mengimpor kedelai  dengan jumlah lebih besar dibandingkan  produksi nasional. Total kebutuhan kedelai per tahun sebesar 3,4-3,6 juta ton. Namun kapasitas produksi kedelai nasional hanya  mendekati 1 juta ton, sehingga setiap tahun diperlukan impor sebanyak 2,4-2,6 juta ton.
BPS (2019) melaporkan tahun 2017 impor kedelai sebesar  2,67 juta ton yang bernilai US$ 1,15 miliar. Laporan Detik (2019) menunjukkan total impor 2018 sebesar 2,58 juta ton bernilai US$ 1,10 miliar dengan  pemasok utamanya AS sebanyak  2,52 juta ton bernilai US$ 1,07 miliar.
Produksi kedelai Indonesia tahun 2015 sebesar 963.183 ton (BPS, 2019). Namun produksi menurun menjadi 859.653 ton dan 538.728 ton pada tahun 2016 dan 2017 dan mengalami peningkatan menjadi 982.528 ton pada tahun 2018 (Kementerian Pertanian, 2019).
Dragan dkk (2018) melaporkan rerata produktivitas kedelai tertinggi di dunia adalah Amerika (3,1 ton/ha), disusul Oceania dan Eropa sebesar 2,14 Â ton/ha dan 2,08 ton/ha. Rerata produktivitas di Asia hanya mencapai 1,45 ton/ha. BPS (2019) melaporkan produktivitas kedelai nasional pediode 2005-2015 berkisar 1,3-1,5 ton/ha.
Selain kedelai, Indonesia memiliki kemampuan sangat rendah memproduksi gandum. Budidaya  gandum sudah dicoba dilakukan di beberapa tempat seperti daerah pegunungan Jawa tengah dan Malang Jawa Timur namun kapasitas dan skala produksinya sangat rendah.
Impor gandum oleh Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir menurut laporan Businesstimes (2018) mengalami kenaikan sekitar 5 persen per tahun. Indonesia mengimpor gandum 10,5 juta ton  pada tahun 2017/2018 dan merupakan  negara importir terbesar kedua setelah Mesir.
Kebijakan Ekspor dan Impor  Pangan
Kebijakan impor bahan pangan tertentu realistis namun harus diimbangi dengan penguatan kapasitas ekspor bahan pangan yang memilki keunggulan komparatif seperti produk-produk turunan kelapa sawit, buah-buahan topis dan beberapa komoditas perikanan-kelautan.
Impor kedelai dapat ditekan dengan program penguatan inovasi produksi dan pemanfaatan lahan perhutanan sosial serta pengembangan komoditas subtitusi.Â
Inovasi pengembangan berbagai jenis kacang koro telah diinisiasi sebagai subtitusi kacang kedelai, namun cita rasa dan kekhasan olahan tempe dan tahu berbahan kedelai dipandang berbeda dibandingkan olahan dari bahan substitusi. Isu perubahan taste dan preferensi konsumen juga menjadi hal yang tidak mudah.
Pengembangan komoditas substitusi gandum dapat dilakukan dengan pemanfaatan berbagai umbi-umbian khas tropis yang dapat diolah menjadi tepung seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu, gembili, dll.Â
Meskipun beberapa ahli pangan menyatakan gandum mengandung komposisi bahan tertentu seperti glutinous yang relatif jarang dimiliki jenis umbi-umbian yang lain. Bagaimanapun prospek pengembangan komoditas substitusi tetap menjadi alternatif yang terbuka, Â meskipun tidak bisa menggantikan sepenuhnya bahan pangan impor.
Strategi penguatan kapasitas ekspor bahan pangan yang khas tropis akan menjadi penyeimbang impor bahan pangan yang tidak bisa diproduksi dengan efisien. Industrialisasi produk turunan kelapa sawit sangat prospektif diekspor.Â
Selain itu, Â buah-buahan topis dan beberapa komoditas perikanan-keluatan juga sangat potensial sebagai komoditas ekspor. Buah tropis seperti durian, pisang, nenas, manggis, salak, duku dan srikaya mulai dikenal masyarakat global.
Bagaimanapun masyarakat global tidak terisolasi dan saling terhubung satu negara dengan negara lain. Setiap negara saling membutuhkan karena memiliki potensi dan keunggulan yang berbeda-beda.Â
Yang terpenting adalah bagaimana kemampuan negara Indonesia  untuk  menjaga dan mengembangkan komoditas unggulan nasional sehingga bisa digunakan untuk menutup kekurangan kemampuan untuk memproduksi bahan pangan tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H