Seorang teman pernah mengajak saya untuk kopdar di sebuah tempat makan di wilayah limboto, beliau menantang saya, selama kopdar dilarang untuk membuka gadget, bahkan hanya untuk sekedar menengok recent updates BBM dan Timeline di twitter pun dilarang, yang melanggar ganjarannya adalah mentraktir makan. Kemudian saya mengiyakan tantangan teman saya tersebut, saya berpikir bahwa saya mampu untuk jauh dari gadget walau hanya untuk menengok BBM dan twitter.
Lama kelamaan saya mulai gelisah, bahkan kelihatannya teman saya juga sudah mulai gelisah terlihat dari raut wajahnya. Gelisah bukan karena ketiadaan uang untuk mentraktir atau ada yang mau menelpon dan sms, tapi karena sudah tidak tahan ingin bermain sosial media, walaupun itu hanya sekedar menengok BBM dan twitter.
Akhirnya saya pun mengaku kalah dan menyerah atas tantangan teman saya tersebut. Tanpa disadari saya mengambil gadget dari kantong celana, dan secara spontan langsung mengecek timeline twitter. Sehingga saya berhipotesa, saya kecanduan bermedia sosial.
Dulu, ketika media sosial belum se-ngetop sekarang ini, seseorang yang ingin berkomunikasi dengan orang lain yang jaraknya puluhan, ratusan, bahkan ribuan kilometer jauhnya harus menggunakan media surat yang sering diantarkan oleh pak pos yang biasanya menggunakan sepeda motor. P
ada tahun 200o-an, gadget pun masih berupa barang langka dan belum terkoneksi dengan internet, apalagi ditambah biaya telpon dan sms kala itu masih tergolong mahal (Rp.350/sms). Opsi kedua kala itu adalah saling berkirim surat dan tidak heran mendapatkan sahabat pena ketika itu betapa menyenangkan.
Si pengirim dan penerima surat bisa merasakan bagaimana deg - degannya membungkus ataupun membuka surat kala itu, sehingga ada rasa penghargaan terhadap surat yang dikirim atau diterima, biasanya disimpan baik - baik pada kotak surat khusus.
Kini, kegiatan saling berkirim surat itu semakin ditinggalkan oleh orang - orang, seiring berkembangnya teknologi. Handphone Blackberry maupun android bisa kita dapatkan dengan harga murah. Era berkirim surat itu digantikan dengan era sosial media, kita bisa bercakap - cakap dengan orang yang berada di berbagai pelosok indonesia hanya dengan ketikkan tombol di gadget, tinggal klik 'send/kirim' kita bisa saling bertukar informasi. Apalagi sekarang ini semakin boomingnya sosial media, berupa BBM, Facebook, Twitter, Path, semakin mempercepat pertukaran arus informasi sehingga menghapuskan sekat teritorial antar sesama pengguna sosial media.
Sosial media memberikan ruang yang bebas kepada penggunanya untuk berinteraksi antar sesama sehingga sosial media yang digadang - gadang sebagai medium yang mampu 'mendekatkan yang jauh' memang benar dirasakan, kita bisa mengetahui kabar seorang teman di ujung aceh dan papua sana.
Batasan umur, pekerjaan, status sosial pun semakin bias jika di sosial media, tiap orang mempunyai hak untuk saling bertukar informasi. Bahkan untuk melakukan aktifitas sehari - hari pun kita tidak lupa untuk menupdatenya di sosial media, tidak sempurna beraktifitas jika tidak diupdate di sosial media.
Sosial media menjadi sebuah identitas baru tiap individu sekarang ini. Bisa dipastikan tiap orang tidak hanya aktif pada satu sosial media saja, tapi beberapa sosial media. Dari mau tidur sampai bangun tidur yang paling sering dilakukan adalah berselancar di sosial media, entah itu hanya sekedar mengecek recent updates BBM, pembaruan Facebook, Timeline di twitter. Aktif di sosial media menjadi sebuah keharusan dewasa ini.
Gejala kecanduan menggunakan sosial media semakin menjangkiti setiap pengguna seiring dengan semakin aktifnya orang - orang di sosial media dan berdampak juga pada kondisi sosial mereka, sosial media yang sebelumnya dikatakan mampu 'mendekatkan yang jauh' kini semakin 'menjauhkan yang dekat'. Orang - orang lebih asyik ngobrol menggunakan sosial media ketimbang berdiskusi secara face to face.
Coba lihat di cafe, tempat makan, atau di ruang publik, orang - orang lebih sibuk memainkan sosial media ketimbang sekedar bercuap - cuap dengan orang - orang sekitar di dunia nyata. Apalagi budaya indonesia dikenal dengan budaya nongkrong dan ngobrolnya.
Justru nongkrong anak muda sekarang ini adalah nongkrong dan ngobrol di facebook, twitter, maupun di path ketimbang di dunia nyata. Yang ditakutkan adalah sosial media justru akan mengakibatkan seseorang menjadi anti sosial di dunia nyata.
Menggunakan sosial media dengan seperlunya menjadi sebuah solusi yang bijak. Aktif di sosial media sah - sah saja, namun jangan lupa berinteraksi dengan orang - orang di dunia nyata.
Salam Kompasiana
Gorontalo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H