Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Buruh - Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Kata Kiri dalam Angkutan Bus dan Angkot

22 Desember 2024   06:29 Diperbarui: 22 Desember 2024   06:29 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam kesibukan pagi yang menggeliat di jalan-jalan kota, para penumpang angkutan umum tampak sibuk mengejar waktu. Seorang pria dengan kemeja kusut berdiri di dalam angkot yang penuh sesak. Saat kendaraan mendekati tujuannya, ia berseru dengan lantang, "Kiri, Bang!" , setelah itu supir menepikan kendaraannya tanpa ragu. Adegan ini bukan sekadar rutinitas, melainkan gambaran kecil tentang bagaimana efisiensi komunikasi menjadi penentu kelancaran dalam transportasi umum. Adegan ini adalah potret kecil dari rutinitas masyarakat Indonesia, yang mungkin luput dari perhatian, tetapi mengandung makna mendalam tentang bagaimana budaya dan kebiasaan membentuk pola komunikasi kita.

Mengapa kata "kiri" lebih dipahami oleh supir angkot atau bus dibandingkan dengan kata "stop" atau "berhenti"? Pertanyaan ini membawa kita pada refleksi tentang bagaimana bahasa beradaptasi dengan kebutuhan praktis masyarakat dalam konteks sehari-hari.

Adegan sehari-hari di angkot yang menggambarkan efisiensi komunikasi membawa kita pada refleksi lebih dalam. Kata "kiri", dengan hanya dua suku kata, adalah bentuk komunikasi yang ringkas dan langsung. Dalam hiruk pikuk jalanan, di mana kebisingan klakson dan suara mesin bersaing dengan percakapan penumpang, komunikasi yang singkat menjadi kebutuhan utama. Bandingkan dengan kata "berhenti" yang memiliki tiga suku kata atau "stop" yang, meskipun singkat, kurang memberikan kejelasan arah. Kata "kiri" tidak hanya menyampaikan maksud untuk berhenti, tetapi juga memberikan arahan yang spesifik: menepi ke sisi kiri jalan.

Efisiensi ini adalah buah dari adaptasi yang terbangun melalui pengalaman kolektif masyarakat. Para supir angkot, yang berhadapan dengan puluhan hingga ratusan penumpang setiap hari, terbiasa dengan perintah yang sederhana dan langsung. Kata "kiri" menjawab kebutuhan itu dengan sempurna, menjadi semacam kode universal dalam dunia transportasi umum Indonesia.

Bahasa yang digunakan dalam transportasi umum tidak lepas dari konteks budaya setempat. Efisiensi komunikasi, sebagaimana terlihat dalam penggunaan kata "kiri", tidak dapat dipisahkan dari pengaruh budaya lokal yang membentuk kebiasaan ini. Di Indonesia, di mana aturan lalu lintas mengharuskan kendaraan untuk berjalan di jalur kiri, sisi kiri jalan menjadi tempat yang alami untuk menepi. Penggunaan kata "kiri", oleh karena itu, terasa lebih organik dibandingkan istilah seperti "stop" atau "next stop" yang sering digunakan di negara lain.

Dalam budaya Indonesia, spontanitas dan fleksibilitas adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Hal ini tercermin dalam komunikasi antara supir dan penumpang, yang sering kali berlangsung singkat tetapi sarat makna. Kata "kiri", meskipun sederhana, mencerminkan cara masyarakat Indonesia memprioritaskan kejelasan tanpa perlu membebani dengan kerumitan bahasa.

Di balik kesederhanaannya, kata "kiri" mengandung pelajaran tentang harmoni dalam interaksi manusia. Sebagaimana adaptasi budaya mencerminkan nilai-nilai lokal, penggunaan kata ini juga menunjukkan bagaimana komunikasi yang efisien mampu menciptakan keseimbangan antara tuntutan praktis dan nilai sosial. Supir angkot, dengan segala tekanan yang dihadapinya di jalanan yang penuh tantangan, mengandalkan komunikasi yang efisien untuk menjaga kelancaran perjalanan. Penumpang, di sisi lain, menyampaikan kebutuhannya dengan cara yang langsung dan mudah dipahami. Dalam konteks ini, kata "kiri" adalah jembatan yang menghubungkan kedua pihak dalam hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.

Keharmonisan ini adalah cerminan dari nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi gotong royong dan pengertian antarindividu. Meski dalam situasi yang penuh tekanan, seperti jalanan yang macet atau waktu yang terbatas, kedua belah pihak mampu menjaga kerjasama yang efektif melalui bahasa yang sederhana.

Dalam era globalisasi, di mana pengaruh bahasa asing semakin merambah kehidupan sehari-hari, keberadaan istilah lokal seperti "kiri" menjadi pengingat akan pentingnya mempertahankan identitas budaya. Pilihan kata ini tidak hanya mempermudah komunikasi, tetapi juga menjadi bagian dari tradisi yang merekatkan masyarakat dengan akar budayanya.

Sebaliknya, penggunaan kata seperti "stop" atau "berhenti", meskipun tidak salah, cenderung kehilangan dimensi lokal yang begitu penting dalam interaksi sosial. Dengan tetap menggunakan istilah "kiri", masyarakat Indonesia secara tidak langsung melestarikan elemen budaya yang unik dan kontekstual.

Kesederhanaan yang terwujud dalam kata "kiri" juga mengundang kita untuk merenungkan nilai-nilai filosofis yang melekat padanya. Dalam dunia yang semakin kompleks, kata "kiri" mengingatkan kita akan kekuatan kesederhanaan. Komunikasi yang efektif tidak harus rumit; sebaliknya, dengan memahami konteks dan kebutuhan lawan bicara, kita dapat menciptakan interaksi yang lebih lancar dan bermakna. Kata "kiri" adalah bukti nyata bahwa kesederhanaan dapat menjadi kunci dalam menjembatani perbedaan dan menciptakan harmoni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun