Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Buruh - Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Musim Hujan, Kehangatan Keluarga yang Tak Tergantikan

22 November 2024   20:27 Diperbarui: 22 November 2024   20:49 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup sering kali membawa kita pada rutinitas yang tampak biasa, namun dalam setiap detiknya, ada kehangatan yang bisa kita rasakan---terutama ketika kita bersama orang-orang terkasih. Perjalanan pulang setelah seharian bekerja atau beraktivitas adalah salah satu momen di mana kebersamaan keluarga terjalin erat. Walaupun jarak dan cuaca kadang menguji, setiap langkah bersama keluarga selalu memberi rasa aman dan cinta yang mendalam. Kisah ini adalah perjalanan pulang, sambutan hangat, dan bagaimana kita merayakan kebersamaan dengan penuh makna.

Setiap sore, tepatnya pada pukul 14.00, saat hujan mulai mengguyur jalanan, aku menerima pesan dari Satria, anak keduaku yang berusia 17 tahun. "Ayah, jemput aku ya, hujan turun deras di sekolah," begitulah biasanya isi pesan yang datang. Aku tahu, ini adalah momen yang sederhana, tetapi sangat berarti baginya. Tanpa berpikir lama, aku segera mengenakan jaket, helm, dan keluar menuju motor bebek tua yang sudah setia menemani perjalanan kami. Jarak sekitar 15 kilometer yang harus ditempuh tak pernah menghalangiku untuk menjemputnya, karena aku tahu betapa berartinya bagi Satria jika aku menjemputnya pulang, terutama di saat hujan yang sering kali menghalangi banyak orang untuk bergerak cepat.

Aku langsung menghubunginya untuk memastikan posisi Satria. "Ayah, aku sudah keluar kelas," katanya dengan suara tergesa.

"Baik, aku segera jalan, tunggu sebentar," jawabku, memastikan bahwa aku akan segera sampai.

Meskipun perjalanan itu terasa panjang, di atas motor, aku merasakan kedekatan dengan Satria. Hujan yang turun deras membuat perjalanan menjadi lebih menantang, namun di sinilah makna perjalanan sebenarnya---bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi tentang kedekatan yang terjalin di setiap detiknya. Sebagai ayah, aku merasa ini adalah bagian dari tanggung jawab dan cinta yang harus kutunjukkan dengan cara yang sederhana, seperti menjemput Satria pulang, apapun cuacanya.

Sambutan Hangat dari Keluarga: Rumah yang Penuh Kasih

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya aku sampai di rumah bersama Satria. Maia istriku, sudah menunggu dengan senyum hangat yang menyambut kepulanganku. Maia selalu punya cara untuk membuatku merasa tenang dan nyaman, seperti tatapannya yang penuh makna setiap kali aku pulang. Ketika aku menurunkan helm dan meletakkan motor, ia berdiri di depan pintu, seolah-olah ingin berkata, "Selamat datang kembali, kamu sudah selamat sampai rumah."

"Akhirnya kamu sampai juga, Ayah," ujar Maia dengan senyum yang memancarkan rasa cinta dan perhatian.

Aku melepas jas hujan yang basah, sepatu yang juga basah kuyup, dan jaket yang sudah mulai berat karena hujan. Di setiap langkahku menuju pintu, aku merasakan betapa rumah bukan hanya sebuah tempat untuk berlindung dari hujan, tetapi juga tempat di mana cinta dan kehangatan selalu menunggu. Di dalam rumah, air hangat sudah menanti untuk membasahi kerongkonganku yang kering.

"Minum dulu, Ayah. Biar hangat," ujar Maia, sambil menyodorkan segelas air teh manis hangat yang benar-benar menyegarkan setelah perjalanan yang melelahkan.

Setiap tegukan air itu adalah simbol rasa syukur---untuk keluarga yang selalu ada, untuk rumah yang selalu memberi kenyamanan, dan untuk cinta yang terus mengalir tanpa henti. Satria, yang sudah terlebih dahulu mengganti pakaiannya, juga merasakan kehangatan yang sama. Kami bersama-sama melepaskan kelelahan dan menyambut kehangatan yang ada di rumah.

Setelah sedikit beristirahat, aku merasa bahwa waktu untuk menyegarkan diri telah tiba. Mandi sore dengan air hangat adalah ritual kecil yang aku nikmati setelah seharian beraktivitas. Selain membersihkan tubuh dari debu dan keringat, mandi sore memberiku kesempatan untuk menyendiri sejenak, mengistirahatkan tubuh, dan memulihkan semangat.

"Yuk, mandi dulu, Ayah," ajak Satria, yang sudah lebih dulu mencuci tangan di dapur.

"Aku nanti dulu, kamu duluan," jawabku sambil tersenyum, menikmati waktu tenang yang masih ada.

Mandi sore ini memberikan kelegaan fisik, namun lebih dari itu, ini adalah saat untuk menenangkan pikiran sebelum melanjutkan aktivitas lain di rumah. Setelah mandi, aku mengganti pakaian dan merasa lebih siap untuk menikmati sisa waktu bersama keluarga.

Sambil menunggu kedatangan putriku, Ayumi, yang baru pulang bekerja, aku merasa bersyukur atas setiap momen yang kami bagi. Meskipun cuaca kadang tak mendukung, aku tetap berusaha untuk selalu ada. Jika cuaca cerah, aku sering menjemput Ayumi pulang kerja. Menjemput Ayumi bukan hanya sekadar rutinitas, tetapi juga bentuk perhatian yang sederhana namun sangat bermakna. Menunjukkan bahwa meski kami sibuk dengan kegiatan masing-masing, kami tetap saling mendukung dan peduli satu sama lain.

Menunggu kedatangan Ayumi adalah waktu yang penuh harapan. Sebagai ayah, aku merasa bertanggung jawab untuk memastikan setiap anggota keluarga pulang dengan selamat. Setiap kali menjemput Ayumi, aku merasa bahwa ini adalah cara kecil untuk menunjukkan kasih sayang, memastikan dia pulang dengan tenang, dan memberi ruang bagi kami untuk berbagi cerita setelah seharian beraktivitas.

"Ayumi sudah sampai belum, Ayah?" tanya Satria, yang tak sabar ingin mendengar cerita kakaknya.

"Belum, tapi sebentar lagi," jawabku sambil menepuk-nepuk pundaknya, memberi rasa tenang.

Menjemput Ayumi adalah bagian dari tanggung jawab yang kuemban sebagai seorang ayah. Tetapi lebih dari itu, ini adalah cara untuk terus menunjukkan perhatian dan kasih sayang, walaupun dalam bentuk yang sederhana. Setiap momen menjemput atau menunggu adalah peluang untuk mempererat hubungan keluarga, untuk berbagi cinta yang tak terucapkan dengan cara yang nyata.

Saat Ayumi akhirnya tiba di rumah, aku merasa lega. Kami semua berkumpul di meja makan, tempat di mana semua cerita dibagikan, tawa terdengar, dan kenangan terjalin. Makan bersama bukan hanya tentang makanan yang terhidang, tetapi tentang kebersamaan yang menghangatkan hati kami. Di meja makan, setiap cerita tentang aktivitas kami seharian dibagikan, baik yang menyenangkan maupun yang menantang.

Satria, dengan penuh semangat, mulai bercerita tentang kegiatan di sekolah. "Tadi di sekolah, aku menang lomba cerdas cermat, Ayah!" ucapnya dengan bangga.

Maia tersenyum, bangga mendengarnya. "Wah, Satria! Ayah pasti bangga banget!"

Aku tersenyum, merasakan kebanggaan yang sama. "Tentu saja, Satria. Kamu sudah membuat hari-hari kami lebih berwarna," jawabku sambil memandangi anak-anakku dengan penuh cinta.

Makan malam adalah saat yang sangat kami nantikan, karena di situlah kami merasa kembali lengkap, berbagi kisah dan kenangan, serta merayakan kebersamaan yang tercipta sepanjang hari. Setiap hidangan yang terhidang di meja adalah simbol dari rasa syukur dan kebersamaan yang tak ternilai.

Kisah ini bukan hanya tentang perjalanan pulang yang jauh, hujan yang turun deras, atau kegiatan sehari-hari yang tampak biasa. Ini adalah tentang kehangatan yang tercipta dari setiap langkah yang kita ambil bersama orang-orang terkasih. Kebersamaan dalam perjalanan, sambutan hangat di rumah, ritual kecil seperti mandi sore, serta momen makan bersama, semuanya membentuk ikatan yang kuat dalam keluarga.

Perjalanan pulang bukan hanya soal jarak atau waktu, tetapi tentang hubungan yang terus tumbuh dan berkembang. Kehangatan yang kita rasakan bukan hanya datang dari rumah yang aman dan nyaman, tetapi juga dari perhatian dan kasih sayang yang kita berikan satu sama lain. Inilah yang membuat setiap momen menjadi berarti, setiap langkah yang diambil bersama keluarga adalah langkah menuju kebahagiaan yang tak ternilai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun