Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Buruh - Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dedikasi Alumni LPDP, Menjadi Cahaya Tak Padam untuk Bangsa

8 November 2024   01:00 Diperbarui: 8 November 2024   01:04 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Dandi menatap jauh dari balik jendela gedung perkantoran tempatnya bekerja, mengamati hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah tidur. Di sela-sela kesibukan itu, pikirannya melayang jauh ke masa-masa ia berada di negeri asing, menggenggam beasiswa LPDP sebagai jembatan menuju impiannya. Baginya, LPDP bukan sekadar beasiswa; itu adalah sebuah kesempatan besar untuk mendalami ilmu demi Indonesia. Namun kini, setelah pulang ke tanah air, satu pertanyaan mengusik hatinya: Apakah semua yang ia pelajari di sana sudah cukup untuk membawa perubahan di sini?

Pada awalnya, Dandi dan penerima beasiswa lainnya diwajibkan untuk kembali ke Indonesia setelah studi berakhir. Banyak yang menganggapnya sebagai batasan, sementara bagi Dandi, kewajiban ini adalah pengingat bahwa pendidikan ini adalah investasi negara. Di balik tuntutan tersebut, terletak janji yang ia buat sejak awal: berbakti untuk bangsa.

Namun, tidak semua lulusan berpikiran sama. Beberapa merasa perlu tinggal sementara di luar negeri untuk mencari pengalaman lebih lanjut. "Mungkin, fleksibilitas itu bisa membawa manfaat yang lebih luas,” pikir Dandi. Tapi, ia juga bertanya-tanya, "Bagaimana memastikan bahwa lulusan yang memilih untuk tetap di luar tetap memberi manfaat bagi Indonesia?"

Diskusi ini semakin tajam ketika ia bertemu kembali dengan rekan-rekan LPDP di tanah air. Mereka merasakan dilema yang sama: tanggung jawab kepada bangsa, berhadapan dengan aspirasi pribadi yang seringkali lebih kompleks. Mungkinkah aturan ini perlu dievaluasi? Atau justru harus dipertahankan demi memastikan bakat-bakat terbaik kita kembali untuk membangun negeri?

Dalam pertemuan reuni itu, Dandi kembali mendengar berbagai kisah perjuangan teman-temannya selama menimba ilmu di negeri asing. Berada di lingkungan baru, mereka belajar, beradaptasi, dan membuka diri terhadap wawasan yang luas. Brama, salah satu temannya, menceritakan kerinduan yang ia rasakan selama studi. "Setiap kali kita bahas studi kasus di kelas, aku selalu berpikir, 'Apakah ini bisa diterapkan di Indonesia?' Jadi, bagiku, pulang adalah kebutuhan, bukan sekadar kewajiban," ujarnya.

Bagi Dandi dan teman-temannya, pengalaman di luar negeri bukan hanya soal ilmu, melainkan juga tentang merenungi bagaimana setiap pelajaran bisa membawa manfaat bagi Indonesia. Mereka berbagi cerita tentang kerinduan, tantangan budaya, hingga cita-cita untuk kembali. Walau beberapa teman memilih tetap di luar untuk mengembangkan karier sementara waktu, mereka semua merasa ada panggilan batin untuk pulang.

Di sinilah mereka menyadari bahwa kontribusi nyata mungkin tak selalu langsung terlihat besar. Bahkan langkah-langkah kecil pun, jika dilakukan dengan tekad, akan memberikan dampak bagi masyarakat. Keinginan mereka untuk pulang dan mengabdi terus membara, terikat oleh satu benang merah: pengabdian.

Setelah kembali, Dandi dan Brama mulai mencari cara nyata untuk menerapkan ilmu yang mereka dapatkan. Mereka menyadari, sekadar menjalani rutinitas pekerjaan tidak cukup untuk mewujudkan visi besar yang pernah mereka impikan. Maka, setiap akhir pekan, mereka mendirikan kelas keterampilan digital untuk anak-anak muda di daerah terpencil, memberi pelatihan dan bimbingan sederhana.

Program ini memang kecil dan penuh tantangan. Waktu yang terbatas, fasilitas yang seadanya, semua itu adalah hal-hal yang harus mereka atasi. Namun, bagi Dandi, senyum dan semangat anak-anak muda itu adalah pengingat bahwa kontribusi bukan soal besar kecilnya langkah, melainkan ketulusan dalam menjalaninya. Ia tersenyum puas setiap kali melihat para peserta kelas belajar dengan antusias. Melalui program kecil ini, ia merasa bahwa cita-cita besarnya perlahan-lahan menjadi nyata.

Di salah satu kesempatan, Dandi dan beberapa alumnus bertemu dengan pihak pengelola dana LPDP untuk berdiskusi tentang arah program beasiswa. Dandi penasaran, apakah dana besar yang diinvestasikan ini sudah benar-benar sesuai dengan prioritas nasional? Ia mendengar penjelasan bahwa program LPDP berfokus pada berbagai bidang, seperti sains, teknologi, kesehatan, dan seni budaya.

Meskipun beragam, Dandi masih merasa ada ruang untuk menyelaraskan lebih baik dengan kebutuhan nyata masyarakat. "Apakah kita bisa lebih fokus pada pembangunan di daerah-daerah tertinggal? Atau mungkin, diarahkan ke sektor yang saat ini sangat membutuhkan SDM unggul?” tanyanya. Diskusi ini membuka wawasan Dandi bahwa pengelolaan beasiswa adalah usaha yang kompleks dan menuntut penyesuaian berkelanjutan agar dampaknya lebih terasa.

Dandi kemudian menyadari, meski ini bukan perubahan yang mudah, kritik dan masukan dari para lulusan bisa menjadi jembatan untuk perbaikan program di masa depan. Sebuah tanggung jawab baru muncul dalam benaknya: menjadi bagian dari perubahan, bahkan jika itu dimulai dari suara kecil seorang alumnus.

Merasa tak ingin diskusi ini berakhir hanya di ruang pertemuan itu, Dandi berinisiatif mengajak teman-temannya menulis opini dan berbagi cerita di Media sosial, platform yang diikuti banyak alumnus dan para pemikir muda. "Ayo kita buat tulisan, beri sudut pandang kita, ceritakan apa yang kita alami, dan beri label Alumni LPDP, agar lebih banyak yang bisa mengenal perjuangan kita,” serunya.

Dandi berharap, dengan berbagi pengalaman, mereka bisa membuka ruang diskusi lebih luas sekaligus mendorong perbaikan yang mungkin dibutuhkan. Ia percaya, kekuatan ide dan pengalaman bisa menjadi inspirasi besar jika dibagikan secara tulus dan terbuka. "Siapa tahu, kisah-kisah ini bisa menggugah hati orang-orang untuk lebih memahami, atau bahkan tergerak untuk berkontribusi," tambahnya penuh semangat.

Selesai menulis opininya di Media Sosial, Dandi merasakan kelegaan luar biasa. Ia tahu bahwa pengabdiannya sebagai alumnus LPDP bukan sekadar soal pulang atau tinggal, melainkan tentang upaya memberi dampak nyata bagi bangsa. Baginya, pendidikan dan pengalaman yang ia dapatkan adalah amanah, yang harus diwujudkan dalam tindakan.

Lingkaran pengabdian ini, pikir Dandi, akan terus berputar, melintasi generasi, dan menginspirasi mereka yang nanti akan menyusul. Setiap langkah kecil yang ia lakukan di negeri ini adalah bagian dari komitmen untuk Indonesia. Dengan keyakinan itu, ia melanjutkan langkahnya, tahu bahwa apa pun bentuk kontribusinya, ia tetap berpegang pada satu hal: menjadi cahaya yang tak akan pernah padam bagi bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun