Di era ini, perubahan iklim, polusi, dan kerusakan lingkungan tak lagi bisa diabaikan. Namun, di Indonesia, terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah, kepedulian terhadap lingkungan jarang menjadi fokus. Hampir di setiap kampanye, yang lebih banyak muncul adalah janji-janji terkait ekonomi, infrastruktur, dan kesejahteraan sosial. Sementara itu, kita tahu betul bahwa tanpa lingkungan yang sehat, semua rencana pembangunan akan rentan berujung bencana.
Inilah mengapa konsep "Pilkada Hijau" semakin relevan untuk diusung sebagai arus utama. Ini bukan sekadar slogan, melainkan gagasan mendesak yang mengusulkan agar calon kepala daerah tidak hanya berbicara soal pembangunan fisik, tetapi juga tentang bagaimana menjaga keberlanjutan ekosistem di tengah pertumbuhan tersebut. Dengan Pilkada Hijau, kita bisa mengharapkan agar isu lingkungan tidak hanya menjadi janji kampanye tetapi bagian dari program nyata yang diimplementasikan untuk menjaga daerah tempat kita hidup.
Pertanyaan yang muncul saat membahas tema lingkungan dalam Pilkada adalah, mengapa gagasan ini masih terdengar redup dalam perbincangan kampanye? Sebagian besar politisi cenderung menganggap isu lingkungan sebagai sesuatu yang rumit, tidak langsung terlihat dampaknya, dan tidak berhubungan langsung dengan suara pemilih. Namun, kenyataannya, kerusakan lingkungan---seperti banjir, pencemaran udara, atau hilangnya keanekaragaman hayati---sangatlah nyata dan langsung berpengaruh pada kehidupan kita sehari-hari.
Banyak calon kepala daerah memilih fokus pada isu yang mereka anggap lebih "akrab" bagi pemilih, seperti pembangunan ekonomi atau penyediaan infrastruktur. Padahal, tanpa kebijakan lingkungan yang kuat, dampak buruk terhadap infrastruktur dan kesehatan masyarakat akan segera kita rasakan. Namun, persepsi bahwa isu lingkungan hanya membawa dampak jangka panjang, yang tidak langsung berdampak pada elektabilitas, mungkin menjadi salah satu alasan mengapa masalah ini tetap menepi dalam narasi politik kita.
Apakah mungkin Pilkada kali ini kita jalani dengan mengutamakan Pilkada Hijau? Jawabannya bergantung pada kesadaran kolektif kita sebagai warga dan seberapa jauh kita bisa mengarahkan perhatian publik terhadap isu penting ini. Tantangan terbesar untuk mewujudkan Pilkada Hijau tidak hanya terletak pada calon kepala daerah, tetapi juga pada kita sebagai pemilih untuk menjadikan kepedulian lingkungan sebagai faktor utama dalam memilih.
Masyarakat sering menganggap isu lingkungan sebagai sesuatu yang perlu ditangani pemerintah pusat atau organisasi internasional. Padahal, kebijakan lingkungan yang baik bisa dimulai dari lingkup lokal. Kepemimpinan daerah yang peduli lingkungan dapat mengambil langkah konkret seperti melindungi kawasan hijau, mengelola sampah dengan baik, hingga mendorong penggunaan energi terbarukan di fasilitas publik. Dengan strategi yang tepat, daerah dapat menjadi benteng pertama dalam melawan kerusakan lingkungan.
Upaya menuju Pilkada Hijau bisa dimulai dengan mengingatkan calon kepala daerah bahwa memperjuangkan lingkungan juga berdampak baik bagi elektabilitas mereka. Hanya saja, kuncinya ada pada bagaimana mereka menyampaikan program lingkungan ini kepada masyarakat secara relevan, membumi, dan terasa langsung penting bagi kehidupan sehari-hari.
Jika ada calon kepala daerah dengan visi-misi yang mendalam terhadap lingkungan dan kelestariannya, pertanyaan berikutnya adalah apa strategi yang akan mereka terapkan?. Untuk sukses, pemimpin daerah harus berani membuat kebijakan yang berkelanjutan, tidak hanya mengejar hasil cepat demi popularitas. Sayangnya, banyak kebijakan saat ini masih berfokus pada keuntungan jangka pendek dengan pembangunan fisik yang merusak ekosistem.
Namun, ada beberapa daerah yang berhasil memperlihatkan cara mengatasi masalah lingkungan dengan pendekatan berkelanjutan. Contoh-contoh dari berbagai kota dan kabupaten di Indonesia menunjukkan bahwa pemimpin daerah dapat mengambil langkah inovatif, seperti pelestarian kawasan hutan, pengelolaan sampah berkelanjutan, dan penerapan urban farming untuk ketahanan pangan lokal. Keberhasilan ini, bagaimanapun, masih bersifat sporadis, karena minimnya koordinasi antara pemerintah, masyarakat, dan aktivis lingkungan.
Salah satu penyebab kebijakan lingkungan sering terhenti di tengah jalan adalah kurangnya kolaborasi antara masyarakat, aktivis lingkungan, dan pemerintah daerah. Padahal, kerja sama ini adalah kunci utama untuk menjaga keberlanjutan setiap program lingkungan yang sudah diluncurkan.