Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Buruh - Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Bubur, Rasa, Cerita, dan Kenangan yang Tersaji dalam Semangkuk Tradisi

14 Oktober 2024   19:01 Diperbarui: 14 Oktober 2024   19:43 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Bubur, hidangan sederhana yang tampak biasa, nyatanya menyimpan keragaman rasa dan cerita di baliknya. Di berbagai sudut Indonesia, semangkuk bubur bukan hanya makanan untuk mengisi perut, tetapi juga pembawa kenangan dan simbol kekayaan budaya. Dari Sabang sampai Merauke, setiap daerah memiliki variasi bubur dengan keunikan tersendiri, mencerminkan karakter masyarakatnya yang beragam. Tak hanya itu, dalam setiap suapan, bubur menyentuh dimensi emosional, membangkitkan rasa nyaman dan memori masa lalu.

Namun, di balik kesederhanaan bubur, ada banyak pertanyaan tentang apa yang membuat seseorang jatuh cinta pada hidangan ini. Apakah teksturnya yang lembut? Rasanya yang gurih dan kaya? Atau mungkin kenangan masa kecil yang terjalin di tiap sendokan? Mari kita susuri berbagai perspektif tentang bubur dalam kolase cerita ini, sebuah perjalanan rasa, tempat, dan tradisi yang menyatu dalam semangkuk bubur.

Bagi Fahira, seorang pekerja kantoran di Jakarta, bubur adalah jembatan menuju masa kecilnya di Manado. Setiap kali cuaca di ibukota terasa dingin, ia teringat semangkuk Bubur Manado atau yang lebih dikenal dengan Tinutuan---kombinasi sayur-mayur, jagung, dan ikan cakalang yang disajikan dengan sambal roa. Bubur ini tidak seperti bubur ayam biasa yang dijual di pinggir jalan, tetapi lebih merupakan sajian yang mencerminkan kekayaan hasil bumi dan tradisi kuliner Manado.

"Bubur Manado itu lebih dari sekadar makanan; dia membawa saya kembali ke kehangatan rumah dan keluarga. Rasanya kaya, penuh dengan gizi, dan selalu membuat saya merasa dekat dengan kampung halaman," ucap Fahira dengan nada nostalgia. Bubur Manado, bagi Fahira, adalah simbol cinta keluarga dan kehangatan. Meskipun tinggal di Jakarta, Fahira masih sering mencari restoran yang menyajikan bubur khas ini, meski sulit menemukan yang autentik. "Ada satu tempat di Kelapa Gading yang cukup mendekati rasa asli. Meskipun harganya sedikit mahal, rasanya bisa membuat saya merasa seperti berada di rumah," tambahnya.

Kisah Fahira adalah bukti bahwa makanan seringkali lebih dari sekadar pengisi perut. Dalam semangkuk bubur, terkadang tersimpan rasa rindu yang begitu mendalam akan kampung halaman, kehangatan keluarga, dan masa kecil yang tak terlupakan.

Beralih dari Manado ke Jakarta, Taruna, seorang mahasiswa baru di ibukota, memiliki pengalaman berbeda dengan bubur. Setiap pagi, sebelum memulai aktivitas kuliah, ia selalu menyempatkan diri mampir ke gerobak bubur ayam di ujung gang kosannya di Mampang, Jakarta Selatan. Bagi Taruna, bubur ayam di sini bukan hanya sekadar sarapan, tetapi adalah bagian dari rutinitas yang memberikan kenyamanan di tengah kesibukannya sebagai anak rantau.

"Bubur ayam di sini benar-benar beda. Kuahnya gurih, ayamnya melimpah, dan kerupuknya selalu renyah," ujar Taruna dengan semangat. Bubur ayam memang menjadi salah satu hidangan yang paling umum dan mudah ditemukan di seluruh Indonesia. Topping yang bervariasi seperti cakwe, telur, ati ampela, atau suwiran ayam memberikan banyak pilihan sesuai selera. Taruna merasa bahwa selain murah---sekitar Rp15.000 per porsi---bubur ini juga menyuguhkan kehangatan tersendiri.

Namun, bukan hanya soal harga dan rasa, Taruna juga menikmati interaksi dengan penjual bubur yang ramah. "Penjualnya selalu ingat pesanan saya tanpa harus saya bilang. Ada kehangatan dalam setiap obrolan yang membuat buburnya terasa lebih spesial," ungkap Taruna sambil mengenang obrolan-obrolan pagi di warung bubur itu. Baginya, bubur ayam bukan hanya sarapan, tetapi juga jembatan untuk merasakan keakraban dan kehangatan yang kadang hilang dalam hiruk pikuk kota besar.

Tak jauh dari hiruk-pikuk Jakarta, di kota Bandung, Ayuning selalu menjadikan perburuan kuliner sebagai bagian dari hidupnya. Bubur bukan hanya sarapan baginya, melainkan sebuah petualangan rasa. "Saya suka mencari tempat makan bubur yang unik. Ada satu tempat di sini yang terkenal dengan Bubur Ayam Cikini. Sekilas memang terlihat seperti bubur ayam pada umumnya, tapi bumbunya lebih kaya dan topping-nya menarik," ujar Ayuning dengan antusias.

Pengalaman kuliner bagi Ayuning tidak hanya tentang rasa, tetapi juga tentang suasana tempatnya. Di Bandung, ia menemukan tempat yang modern, nyaman, dan ramai, di mana bubur disajikan dengan cara yang lebih inovatif. "Tempat ini punya suasana yang asyik dan dekorasi yang instagramable. Harganya juga ramah, hanya Rp20.000 per porsi. Rasanya sepadan dengan suasananya," tambahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun