Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Buruh - Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Harmoni Digital

29 Juli 2024   23:30 Diperbarui: 29 Juli 2024   23:33 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu malam yang tenang, di ruang tamu yang hangat, Utari duduk sambil menggulir layar ponselnya. Di sudut ruangan, ayahnya asyik membaca artikel di tablet, sementara tawa adiknya terdengar dari kamar sebelah, mungkin sedang menonton video lucu di media sosial. Ada kehangatan yang tak terkatakan di antara mereka, meski tak ada percakapan langsung. Di era digital ini, kehangatan keluarga bukan hanya tercipta dari obrolan di meja makan, tetapi juga dari interaksi di dunia maya.

Tidak bisa dipungkiri, hampir semua anggota keluarga,  kini memiliki akun media sosial. Media sosial telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari, tempat di mana mereka berbagi cerita, foto, dan pengalaman. Dari anak-anak hingga orang tua, semua terhubung dalam jaringan digital yang tak berujung. Media sosial bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga menjadi cermin kehidupan mereka sehari-hari.

Meski semua memiliki akun, pertanyaan menarik muncul: apakah mereka saling "berteman" atau mengikuti satu sama lain di media sosial? Ternyata, jawabannya tidak selalu ya. Beberapa keluarga memilih untuk saling terhubung di media sosial, merasakan bahwa ini bisa menjadi cara lain untuk tetap dekat. Namun, ada juga yang memilih untuk menjaga jarak digital. Mengapa demikian?

Beberapa merasa bahwa media sosial adalah ruang pribadi yang ingin mereka jaga terpisah dari pengawasan keluarga. Mereka mungkin merasa lebih bebas mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi oleh anggota keluarga yang lebih konservatif. Anak-anak muda, khususnya, mungkin tidak ingin orang tua mereka melihat setiap aspek kehidupan mereka di dunia maya. Ini bukan tentang menyembunyikan sesuatu, tetapi lebih tentang memiliki ruang pribadi.

Utari adalah salah satu yang cukup terbuka dengan keluarganya tentang aktivitas media sosialnya. Dia sering berbagi cerita menarik yang dia temukan di Instagram atau TikTok dengan adik dan orang tuanya. Namun, ada kalanya dia menahan diri untuk tidak mengunggah sesuatu karena tahu ayahnya yang konservatif mungkin tidak menyukainya. "Ada batasan yang harus dijaga," pikir Utari. Menahan unggahan bukan berarti menyembunyikan sesuatu, tetapi lebih kepada menjaga harmoni dan menghindari potensi konflik yang mungkin timbul.

Meskipun ada tantangan, saling mengikuti di media sosial juga membawa banyak hal positif. Orang tua dapat merasa lebih dekat dengan anak-anak mereka dengan melihat sekilas kehidupan sehari-hari mereka. Anak-anak pun bisa melihat sisi lain dari orang tua mereka yang mungkin tidak mereka sadari sebelumnya.

Saling mengikuti di media sosial bisa menjadi cara untuk saling mendukung. Ketika ibu Utari memposting foto hasil masakannya, komentar dan like dari anak-anaknya membuatnya merasa dihargai. Ketika adik Utari mengunggah video tarian, dukungan dari keluarga membuatnya lebih percaya diri. Dalam hal ini, media sosial menjadi jembatan yang menghubungkan hati dan perasaan antar anggota keluarga, membuat mereka merasa lebih dihargai dan dicintai.

Tentu saja, interaksi di media sosial dapat mempererat hubungan keluarga. Ketika Utari memposting foto perjalanan keluarga mereka, komentar-komentar dari anggota keluarga lain yang memberikan pujian atau mengingatkan momen-momen lucu, menciptakan ikatan emosional yang kuat. Media sosial menjadi alat untuk mengenang kembali kenangan manis dan merayakan momen penting bersama.

Lebih dari itu, saling mengikuti di media sosial juga memungkinkan anggota keluarga untuk tetap terhubung meskipun terpisah jarak. Kakak Utari yang kuliah di luar kota bisa merasa lebih dekat dengan keluarga karena bisa melihat update dari mereka setiap hari. Media sosial menjadi jembatan yang menghubungkan hati-hati yang mungkin terpisah oleh jarak dan waktu, membawa mereka kembali dalam kehangatan keluarga.

Utari ingat saat-saat di mana dia dan keluarganya benar-benar merasakan kehangatan melalui media sosial. Suatu kali, saat mereka merayakan ulang tahun ibu, Utari membuat sebuah video kompilasi berisi ucapan selamat dari seluruh anggota keluarga dan teman-teman dekat. Video itu diunggah dengan label "Media Sosial Keluarga" dan dibagikan ke grup WhatsApp keluarga. Melihat air mata haru di mata ibunya, Utari tahu bahwa media sosial telah membawa mereka lebih dekat.

Aktivitas sehari-hari di media sosial pun menjadi lebih berarti dengan adanya label "Media Sosial Keluarga". Setiap kali Utari mengunggah sesuatu yang berhubungan dengan keluarganya, dia menambahkan label ini. Tidak hanya membuat konten lebih terorganisir, tetapi juga memberikan sentuhan emosional yang lebih dalam. Setiap unggahan menjadi saksi bisu dari kehangatan dan cinta yang tercipta di antara mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun