Mohon tunggu...
Subari
Subari Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Penyiaran

Praktisi Penyiaran tinggal di Batam, Kepulauan Riau. Ngompasiana sebagai ikhtiar mencari kebenaran. The first obligation of journalism is to the truth.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompasiana di Dadaku

15 November 2010   09:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:35 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_75372" align="alignleft" width="300" caption="SDM Kompasiana saat Kompasiana Gathering (kompasiana.com)"][/caption] Namanya memang unik dan menarik. Mirip nama gadis cantik dan ayu . Ketika pertama kali membaca nama itu, saya langsung penasaran. “Mungkin ini nama rubrik yang berisi kisah atau berita ringan yang unik dan menghibur,” pikirku sambil membayangkan   dengan nama rubrik di sebuah majalah mingguan terkenal. Nama itu adalah Kompasiana. Agar tidak penasaran berkepanjangan, saya langsung meng’klik’ nama itu. Isinya, teryata lebih dari sekedar yang saya bayangkan. Ada rubrik peristiwa, polhukam, filsafat, ekonomi, politik, sosial budaya hingga tekologi dan media, Sedangkan rubrik yang berisi berita ringan yang unik dan menghibur, malah hanya menjadi bagian isi dari rubrik hiburan. “Mirip toko serba ada,” pikirku menganalogikan Kompasiana dengan toko retail modern yang menyediakan barang sesuai kebutuhan pengunjungnya. Lantas, apa beda Kompasiana dengan Kompas.com? Bila Kompas.com menyajikan  laporan atau reportase wartawan profesional pilihan redaksi, maka Kompasiana menyajikan reportase dan opini karya warga atau Kompasianer. Kompasiana ternyata blog pribadi yang dikelola dan ditampilkan secara bersama (social blog). Bahkan belakangan semua tulisan yang diposting bisa langsung tampil tanpa moderasi terlebih dahulu. Sejak itulah saya mulai akrab dengan istilah netizen, interaktif dan citizen journalisme atau jurnalisme warga. Bagi saya, manfaat penting Kompasiana, awalnya hanya sebagai media pemberi informasi tambahan sebagai pelengkap.Maklum, sebagai pekerja media, tiap hari saya sudah terbiasa memperoleh informasi dari sejumlah media arus utama, yang akurasi dan validitasnya lebih bisa diandalkan dibandingkan dibandingkan reportase warga. Meski harus diakui, opini maupun reportase jurnalis warga yang tersaji di Kompasiana, kadang tampil lebih cepat, unik dan menghibur, sesuai gaya penulisan dan kapasitas intelektual  masing-masing penulisnya. Manfaat terpenting yang hingga kini membekas dan susah dilupakan adalah peran Kompasiana sebagai media [caption id="attachment_75376" align="alignright" width="300" caption="sharing dan connecting (kompasiana.com)"]

1289813953539204794
1289813953539204794
[/caption] untuk berbagi (sharing) dan mencari persahabatan (connecting). Beberda dengan media lain, blog bersama yang bersifat interaktif, membuat semua tulisan yang saya posting, langsung mendapat respon puluhan, ratusan bahkan ribuan pembaca. Ada tanggapan yang isinya sekedar memuji, memberi kritik, saran hingga masukan yang mampu memperkaya wawasan. Meski proses komunikasi timbal balik ini berlangsung di dunia maya, efek psikologis dan intelektual  yang saya rasakan tak jauh berbeda dengan diskusi di dunia nyata. Terus terang, sebagai bagian masyarakat urban, saya sudah puluhan tahun kehilangan tradisi berdiskusi untuk saling berbincang tentang berbagai masalah. Sifat dan kharakteristik masyakarat urban yang cenderung individualis dan kadang terjebak dalam rutinitas pola hidup yang menganut “siklus bajing loncat” ( rumah-tempat kerja-mall-rumah dsb), terbukti menyulitkan saya menemukan komunitas atau partner diskusi yang hangat dan intens seperti pada zaman mahasiswa dulu. Oleh karena itu, kehadiran Kompasiana benar-benar membuat saya seolah menemukan kembali ‘dunia’ saya yang hilang. Kompasiana menawarkan ajang diskusi yang hangat bahkan bisa menambah persahabatan dan persaudaraan di dunia nyata. Saya yakin, apa yang saya rasakan, juga dialami oleh banyak Kompasianer lain, baik  mereka yang tergolong sebagai penggagas dan pelopor (Pak Pray CS) hingga para Kompasianer pendatang baru. Ini ditandai dengan makin banyaknya masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri, yang membuka akun dan menjadi warga Kompasiana. Tak aneh rasanya, di usaianya dua tahun ini, Kompasiana telah berhasil menarik lebih 50 ribu orang untuk bergabung dan memiliki unique visitor 3 juta perbulan. (sumber :  Kompas.com) Terus meningkatnya minat masyarakat terhadap Kompasiana, tentu menawarkan peluang dan potensi bisnis yang cukup besar. Namun menurut saya, ada tujuan mulia lain yang menjadi sasaran Kompasiana dan menjanjikan keuntungan yang tak ternilai dengan kalkulasi bisnis. Yakni membangun masyarakat baru yang mampu merespon fenomena masa kini dan masa depan dengan mengandalkan kekuatan akal fikiran dan hati nurani, bukan mengandalkan kekuatan otot dan kekerasan. Berbeda dengan blog lain, ciri sekaligus kekuatan utama Kompasiana antara lain terletak dalam konsistensi menerapkan etika dan aturan terhadap semua Kompasianer dalam menulis laporan, mengutarakan pendapat dan fikirannya.  Entah berapa banyak tulisan atau tanggapan yang dihapus oleh admin, dengan alasan tidak sesuai aturan atau melanggar etika. Singkatnya, dengan mengobarkan tradisi ini, Kompasiana telah memiliki andil membangun masyarakat Indonesia baru yang mengedepankan peradaban otak dan hati. Mungkin ada sebagian diantara kita yang menilai tujuan yang saya ungkapkan di atas terlalu muluk atau berlebihan. Tapi menurut saya tidak berlebihan dan cukup realistik. Walau hanya saling sapa dan tukar fikiran lewat dunia maya, ribuan Kompasianer yang selama ini sudah aktif ternyata memiliki beragam profesi dan tingkat pendidikan. Mulai ibu rumah tangga, karyawan biasa seperti saya, pengusaha, professional, pegawai , pejabat pemerintah hingga keluarga diplomat dan saudara-sudara kita para TKI di luar negeri. Tingkat pendidikan mereka pun beragam, mulai dari lulusan SMA hingga lulusan S2 dan S3 bergelar professor dan doktor. Modal SDM yang cukup besar bukan?  Tentu saja, moda SDM yang besar ini baru akan menjadi kekuatan yang mampu menghasilkan perubahan yang positif kalau kecerdasan intelektual mereka dalam menulis selalu dibimbing hati nurani. Memang harus diakui, diantara ribuan Kompasianer, tentu ada yang tulisannya belum  berbobot dan kurang enak dibaca. Ada yang memang baru belajar menulis atau mungkin ada yang menulis dalam suasana bathin dan kondisi fisik yang kurang prima. Saya selalu berfikir positif bahwa tidak ada satu pun Kompasianer yang menorehkan tulisannya di rumah sehat ini dengan niat main-main, mau mengganggu bahkan menyakiti hati orang lain. Sebagai bagian dari kaum intelektual yang berhatinurani, setiap Kompasianer pasti akan memposting tulisan yang diyakini akan memberi manfaat bagi pembaca, sekecil apa pun. Dengan demikian, semua Kompasianer harus konsisten miliki semangat belajar dengan Kompasianer lain yang dinilai tulisannya lebih berbobot dan enak dibaca. Bukankakah belajar adalah sebuah proses yang harus terus terjadi sepanjang hayat? Dengan semangat seperti ini, Kompasianer yang berani coba-coba memposting tulisan yang kurang sehat, akan malu sendiri dan lama kelamaan tersingkir oleh seleksi alam. Pada akhirnya, Kompasiana hanya menjadi rumah sehat bagi orang-orang terpilih yang mengedepankan kecerdasan akal dan hati nurani. Sejalan dengan visi tersebut, rencana admin Kompasiana mendorong profesionalisme para blogger anggotanya dengan menerapkan konsep jurnalisme hybrid, layak disambut dengan antusias. Saya yakin, admin Kompasiana sudah memiliki konsep pembelajaran, baik lewat pelatihan tatap muka maupun pelatihan interasktif lewat dunia maya, untuk meningkatkan profesionalisme itu. Apalagi, pihak admin menjanjikan imbalan insentif bagi jurnalis warga yang laporan atau opininya dimuat di Kompas.com. Sungguh ini sebuah tentangan baru yang menarik dan belum pernah ditawarkan pengelola social blog mana pun (setahu saya lho!). Jika tawaran ini terealisasi, saya yakin, tak hanya akan menarik minat banyak blogger ikut berpartisipasi, tapi juga akan membuat liputan karya jurnalis warga, memiliki kualitas yang setara dengan media arus utama. Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa meski baru berusia dua tahun dan masih dalam tahap mencari bentuk, Kompasiana sebenarnya telah memiliki konsep, materi  dan visi yang cukup jelas dan bisa terus menarik banyak orang. Hanya saja, secara teknis masih banyak kekurangan yang perlu terus disempurnakan. Saya termasuk orang yang masih gagap soal teknologi, tapi saya punya harapan  yang mungkin juga menjadi harapan  semua Kompasianer. Yakni apa pun jenis teknologi yang dipilih dan apa pun langkah penyempurnaan yang dilakukan, saya berharap Tim IT Kompasiana mampu menampilkan semua tulisan dengan tampilan atraktif dan interaktif, serta  mudah diakses dengan beragam media. Langkah penyempurnaan ini akan membuat tulisan apa pun yang diposting akan memberi kepuasan penulisanya karena mampu memberi banyak manfaat kepada orang lain. Semoga langkah penyempurnaan ini secepatnya dapat dinikmati  dan syukur-syukr ditambah dengan fitur-fitur baru yang makin memudahkan proses sharing dan connceting antar sesama Kompasianer. Jika harapan ini segera dapat dinikmati, jelas akan membuat Kompasiana terus bergelora di dadaku. Juga terus brgelora di dada anda semua penghuni rumah sehat Kompasiana. Salam hangat dan tetap semangat Imam Subari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun