Mohon tunggu...
Subari
Subari Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Penyiaran

Praktisi Penyiaran tinggal di Batam, Kepulauan Riau. Ngompasiana sebagai ikhtiar mencari kebenaran. The first obligation of journalism is to the truth.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Puasa yang Mematikan

15 Agustus 2010   14:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_227281" align="alignleft" width="300" caption="Upin dan Ipin (sumber : cartoon1world.blogspot.com)"][/caption] Bagi sebagian orang, menjelaskan pengertian ajaran agama kepada anak kecil, tentu bukan perkara mudah. Termasuk saya, ketika harus menjelaskan pengertian ibadah puasa Ramadhan kepada Zuhdan, anak  saya yang baru berumur empat tahun. Si bungsu ini belakangan memang rajin bertanya, karena baru sebulan saya masukkan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Sejak memasuki hari pertama Ramadhan, bungsu saya ini terus menerus bertanya tentang puasa, ketika melihat kedua kakaknya sering makan sahur dan berbuka puasa bersama selama Ramadhan. Bocah ini mungkin melihat pemandangan yang tidak biasa di rumah dan setiap kali bertanya kepada kedua kakaknya, selalu dijawab bahwa mereka sedang menjalankan ibadah puasa. Agar si bungsu lebih cepat memahami pengertian dan kaifiat ibadah puasa, saya berusaha mencari media yang memudahkan penyampaian pesan, sesuai daya tangkap fikiran kanak-kanak. Mulailah saya browsing sebentar di internet, dan ketemulah video Upin dan Ipin episode memasuki Ramadhan. Setelah saya download, langsung saya suruh ketiga anak saya menyaksikan  video itu. Begitu gambar Upin dan Ipin muncul di layar computer, dengan girang si Kecil Zuhdan menyimak tayangan video itu dengan seksama. Tayangan video berdurasi sekitar lima menit itu diawali dengan kepulangan Ipin dan Upin ke rumah, setelah bermain goli. Setibanya di rumah, Upin dan Ipin makan malam bersama ditemani sang nenek. Saat makan malam itulah, siaran televisi di belakangnya memberi tahu bahwa esok sudah memasuki puasa Ramadhan. Berdasar siaran televise itulah, sang nenek langsung memberitahu Upin dan Ipin bahwa kedua bocah itu juga harus ikut berpuasa. “Ha…kau orang berdua pun kene puasa”, kata sang nenek sambil melirik kedua cucunya. “Ha…puasa?,” jawab Upin heran. “Ha…boleh, boleh, boleh.” jawab Ipin sok tahu ketika Upin meliriknya “Puasa itu apa kah?” Tanya Upin kepada sang nenek. “Puasa tuh, kita tak boleh makan, tak boleh minum, mulai pagi hingga petang. Paham?” jawab sang nenek sambil melahap makanan di piring. “Ha…tak boleh makan? Matilah…” jawab Upin dengan nada tinggi. Jawaban Upin tersebut ternyata membuat ketiga anak saya tertawa riang. Selain karena ekpressi jawaban Upin yang lucu, kalimat bahwa puasa dapat mengakibatkan kematian, dinilai sebagai kalimat baru yang belum pernah mereka dengar. Puasa kok mematikan, mana pernah ada. He..he..he… Sayangnya, dengan kalimat tersebut, Zuhdan, anak bungsu saya malah kurang pas dalam menangkap pesan puasa. Setiapkali ditanya apa itu puasa? Anak bungsu saya dengan tangkas langsung menjawab :”Matilah aku!” dengan nada tinggi meliuk mirip suara Upin. Demikian juga kalo ketemu temannya sesama murid PAUD dan ditanya puasa atau tidak. Si bungsu pasti akan menjawab dengan tangkas :”Matilah aku!” kembali menjawab mirip suara Ipin.  Ibunya yang mendengar jawaban anaknya, kadang malah ikut ketawa. O...alah. Untungnya, kelanjutan dari dialog tersebut, sang nenek panjang lebar menjelaskan kaifiat puasa Ramadhan mulai makan sahur hingga berbuka puasa. Termasuk keharusan anak-anak belajar puasa sejak dini agar mereka terlatih merasakan lapar yang dialami kaum tak mampu. Kelanjutan penjelasan nenek inilah, yang akhirnya saya putar berulang-ulang agar si kecil paham. Sejak itulah saya berkesimpulan, ternyata pemilihan media yang sesuai dengan nalar anak, tidak selamanya cocok untuk menyampaikan pesan kepada anak sesuai keinginan orang tua. Media yang selama ini kita anggap cocok sebagai tontonan anak, tidak selamanya harus diputar sendirian, tapi perlu pendampingan orang tua. Tujuannya agar orang tua bisa meluruskan bila anak kurang memahami atau salah memahami pesan yang disampaikan lewat media. Hingga kini saya belum menemukan cara yang pas memahamkan ajaran puasa kepada anakku yang masih empat tahun.  Sebagai gantinya, saya bersama istri sudah sepakat  untuk membangunkan si bungsu agar ikut sahur dan buka puasa bersama kakak-kakanya yang kini kelas 4 SD dan kelas 9 SMP. Mudah-mudahan contoh sederhana ini bisa menanamkan nilai-nilai puasa Ramadhan kepada anak sejak usia dini. Anda mempunyai cara lain yang lebih baik? Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan 1431 H.*** Salam hangat dan tetap semangat Imam Subari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun