Mohon tunggu...
Subari
Subari Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Penyiaran

Praktisi Penyiaran tinggal di Batam, Kepulauan Riau. Ngompasiana sebagai ikhtiar mencari kebenaran. The first obligation of journalism is to the truth.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Film Pertamaku: 'Anak Seribu Pulau'

15 Juli 2010   00:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_194411" align="alignleft" width="300" caption="illustrasi (sumber www.exposuertv.com)"][/caption] Sebagai jurnalis,  saya sering risau menyaksikan maraknya penambangan pasir illegal di wilayah tempat saya bertugas.  Penambangan liar  telah mengakibatkan kerusakan lingkungan cukup parah. Puluhan kubangan bekas galian pasir yang mirip danau raksasa, sudah beberapa kali merenggut korban jiwa. Korban umumnya anak-anak yang sedang bermain dan tewas tenggelam di danau. Suatu hari, saya meluncur ke salah satu kawasan penambangan yang cukup parah untuk melakukan liputan. Berbeda dengan liputan biasa, liputan kasus seperti ini perlu ekstra hati-hati. Maklum banyak oknum pejabat dan pengusaha yang terlibat dan meraup keuntungan besar dari bisnis illegal ini. Pemberitaan penambangan liar, apalagi dilakukan berulang kali, dirasakan akan mengancam kelangsungan bisnis mereka. Karena itu, kedatangan jurnalis di lokasi penambangan, harus dicegah atau diusir. Setibanya di lokasi penambangan, saya bersama Saiful, rekan jurnalis televisi juga, langsung mengambil gambar suasana di lokasi. Diantaranya shoting sejumlah kubangan bekas galian pasir lengkap dengan peralatan penyedot pasir. Kami juga mengambil gambar deretan eskavator  yang sedang tidak beroperasi dan ditinggalkan operatornya. Kami mengambil gambar dengan santai, karena situasi di lokasi  memang nampak sepi dan lengang. Ketika asyik shoting, tiba-tiba dari balik hutan di pinggir danau, muncul seorang pemuda  berpakaian lusuh, mengacung-acungkan golok pambil berteriak lantang. “Hayo!  hentikan. Siapa yang nyuruh kalian ambil gambar di sini. Pergi! Pergi kau!” usir  pria itu sambil terus mengacungkan goloknya ke arah kami. Meski masih berjarak ratusan meter, teriakan dan acungan golok di tangan pemuda itu, membuat badan saya panas-dingin. Keringat dingin langsung mengucur dari pipi, sekujur badan hingga kaki. Yang terlintas dalam fikiran saya, hanya do’a minta perlindungan Tuhan. Dalam waktu bersamaan, tidak ada sikap paling tepat yang harus saya lakukan, kecuali menyelamatkan diri. Setinggi apa pun nilai berita yang dihasilkan jurnalis, tidak bisa melebihi nilai jiwa jurnalisnya. Dengan terus memperhatikan pria pembawa golok itu, saya masuk ke mobil yang kebetulan kami parkir tak jauh dari tempat mengambil gambar. Kamera langsung saya sembunyikan, sebagai langkah penyelamatan gambar hasil liputan. Dari dalam mobil, saya melihat pria pembawa golok, menuju ke arah teman Saiful. Pria itu masih terus marah-marah dan saya tak paham lagi kata-kata yang diucapkan. Maklum, pria itu lama-lama nampak kurang fasih bahasa Indonesia dan marah-marah dengan bahasa kampungnya. Meski diusir dengan acungan golok, teman Saiful ternyata cukup bernyali. Dia langsung mematikan camera dan melepaskannya dari trípode penyangga. Ditemuinya pria itu dengan ramah sambil mengajak jabat tangan sambil menyodorkan sebungkus rokok dan koreknya. . “ Assalamu’alaikum. Ada apa bang kok marah-marah sama kami,” kata Saiful. “Siapa nyuruh kalian wartawan shoting di sini. Saya penjaga di sini. Kalian jangan macam-macam.” kata pria itu dengan nada tinggi. “Siapa yang wartawan bang. Kami bukan wartawan,” kata Saiful dengan nada ramah. “Kalau bukan wartawan, kalian shoting ambil gambar di sini untuk apa?” tanya pria itu masih dengan nada tinggi. “ Kami crew dari perusahaan film di Nagoya. Di sini ngambil gambar untuk bikin film.” jelas Saiful. “Ha….bikin film? Film apa’an tuh?” tanya pria itu keheranan. “Judul filmnya : ‘Anak Seribu Pulau’.” Kata Saiful dengan nada mantap. “Dimana saja lokasi syuting filmnya,” tanya pria itu. Kali ini dengan nada rendah, tanpa mengacungkan golok lagi. “Lokasi syutingnya banyak bang. Di sini hanya salah satunya. Bintang filmnya juga cantik-cantik lho.” jelas Saiful. “Ha…bintangnya cantik-cantik. Saya boleh ikut tak?” tanya pria itu menghiba. “Boleh bang. Abang shoting di sini saja, nanti gambarnya kami gabungkan dengan gambar bintang-bintang cantik itu,” ajak Saiful sambil menyiapkan kamera di atas tripode. Dengan senyum kegirangan, pemuda berpakaian lusuh itu langsung nangkring ke atas eskavator yang biasa digunakan untuk mengeruk pasir. Ternyata, pemuda ini juga tahu tempat menyimpan kunci eskavator . Dan, crek…crek…crek. Asap hitam knalpot eskavator  itupun langsung mengepul dengan suara menderu-deru. “Saya harus akting gimana bang?’ tanya pemuda itu sambil menyalakan korek api untuk mengisap rokok. “Biasa saja bang. Abang berperan sebagai orang tua anak seribu pulau itu, yang bekerja sebagai pengemudi eskavator.” jelas  Saiful sambil menyetel ring focus dan angle kamera kea rah pemuda itu.. Melihat suasana mereda, saya pun keluar dari mobil untuk membantu rekan Saiful melaksanakan tugasnya. “Itu bapak sutradaranya, bang.” Kata Saiful menunjuk ke arah saya. “Roll camera, … action!” teriak saya dari samping mobil. Pemuda itu pun langsung mengemudikan escavator dengan lihai. Sedangkan rekan Saiful asyik mengabil gambar. Layaknya sutradara  beneran, saya pun beberapa kali minta pemuda mengulang adegan dan rekan Saiful yang memegang camera juga tanggap mengabadikan dengan berbagai angel. Shoting film perdanaku berjudul ‘Anak Seribu Pulai’, hanya berlangsung kurang sepuluh menit.  Setelah menjelaskan proses pembuatan film dan shoting  selanjutnya, kami pun berpamitan dengan alasan itu segera shoting di lokasi lain. Dengan senang hati, pemuda itu melepas kepergian kami dengan senyum ramah. Meski  bukan shoting film beneran,  kejadian ini mengingatkan saya dengan istilah “dosa putih” yang cukup populer di kalangan jurnalis. Kami yakin, bahwa berbohong yang dilakukan dengan tujuan baik, seperti menyelamatkan diri, tidak akan mendapat dosa dari Tuhan. Pasalnya, perbuatan itu meski dilakukan dengan sadar, namun dilakukan dalam keadaan darurat atau bahaya. Setujukah anda? Hingga kini saya tidak tahu, bagaimana respon pemuda itu, karena esoknya, liputan itu tayang di dua stasiun televisi nasional. Mudah-mudahan postingan singkat ini tidak membuat anda kecewa tapi minimal bisa menjadi hiburan. Syukur-syukur ada yang bisa diambil hikmahnnya. Salam Kompasiana. Salam hangat dan tetap semangat. Imam Subari

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun