Mohon tunggu...
Subari
Subari Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Penyiaran

Praktisi Penyiaran tinggal di Batam, Kepulauan Riau. Ngompasiana sebagai ikhtiar mencari kebenaran. The first obligation of journalism is to the truth.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mereka Tewas di Pangkuan Pelacur ?

6 Desember 2009   18:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:03 2934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_34351" align="alignleft" width="298" caption="illustrasi (kompas.com)"][/caption] Sedikitnya 20 orang dilaporkan tewas dalam musibah kebakaran hebat yang melanda sebuah tempat hiburan malam di kota Medan Sumatera Utara, Jum’at malam (4/12). Kobaran api dengan kepulan asap hitam, tiba-tiba mengejar dan menjebak para pengunjung tempat hiburan malam itu. Dari 20 korban tewas, 9 diantaranya wanita. Apakah ke-9 wanita yang tewas itu semuanya sebagai pelayan yang tergolong wanita baik-baik, atau sebagian diantaranya adalah pramuria atau wanita malam? Belum didapat kepastian akan profesi ke-9 wanita itu, namun musibah ini mengingatkan saya akan sisi buram tempat hiburan malam. Di daerah tempat saya bertugas dulu, tempat hiburan malam umumnya terdiri dari diskotik dan karaoke. Diskotik digunakan untuk berjoget dan bersenang-senang secara terbuka. Sedangkan karaoke umumnya dirancang secara tertutup dengan ruangan kamar khusus VIP.  Meski ada karaoke khusus untuk keluarga, namun karaoke umumnya digunakan untuk melampiaskan nafsu birahi para lelaki . Sambil bernyanyi karaoke di kamar VIP, para tamu pria biasanya ditemani wanita muda yang populer dengan sebutan pramuria. (cantik ya namanya.). Wahai para ibu yang terhormat, tahukah anda tugas para pramuria itu?  Pada awalnya, para pramuria dipanggil di ruangan VIP bertugas memesan makanan kecil dan minuman (umumnya minuman beralkohol) untuk tamu pria yang didampinginya. Sambil menyanyi dan menenggak minuman keras. para tamu pria akan menghabiskan malam panjang didampingi para pramuria. Dalam kondisi mabuk atau setengah teler, mereka tak pernah protes dengan suara pramuria yang umumnya sudah parau karena digeber nyanyi tiap malam. Para pramuria akan terus menyanyi sekenanya sambil mengisap rokok yang asapnya mengepul sesak di ruangan sempit VIP. Dalam kondisi itulah, peran pramuria yang awalnya untuk mendampingi menyanyi, lambat laun berubah menjadi obyek pemuas nafsu syahwat. Endingnya, bisa tebak sendiri. Para wanita pramuria itu, umumnya lantas menyodorkan diri ‘seutuhnya’ kepada pria yang didampinginya. Bisa kontrak jangka pendek, mulai jam-jaman hingga kontrak jangka panjang sehari semalam. Tergantung tebal tipisnya kocek, juga tergantung hasil negosiasi singkat di ruang remang-remang berlabel VIP itu. Karena itulah, dalam prakteknya, peran pramuria itu sebenarnya sama persis dengan pelacur atau pekerja seks komersial (PSK). Tempat hiburan malam di daerah saya, tidak hanya dipadati para pengunjung lokal, tapi juga para turis asing. Maklum posisi geografis daerahnya sangat strategis, berbatasan langsung dengan negara tetangga, khususnya dari Malaysia dan Singapore. Warga Singapore, banyak yang mengisi malam akhir pekannya dengan menikmati makan-makan yang dilanjutkan dengan bersenang-senang di tempat hiburan malam. Maklum, di daerah saya, tarif harga makanan maupun ‘harga’ pramurianya, jauh lebih murah dibanding di Singapore. Sekitar sepertiganya. Kalau di Singapore dapat satu, di daerah saya bisa dapat tiga bahkan lebih. Mengapa banyak warga Singapore yang sering menikmati hiburan malam di daerah saya? Selain faktor tingginya disparitas harga ‘kebutuhan pokok’ tadi, saya melihat ada gejala alienasi yang berjangkit di sebagian warga Singapore. Mereka hidup di tengah kekayaan materi yang berlimpah, namun tak cukup mampu memberi ketentraman dan ketengan jiwa. Ada juga mereka yang terjebak dalam rutinitas kehidupan sehari-hari yang membosaan kan. Rutinitas hidup yang masuk dalam siklus bajing loncat. Pagi dari rumah berangkat kerja, seharian sibuk dengan pekerjaan menumpuk, malam pulang ke rumah dan esok kembali bekerja lagi dan seterusnya. Tak banyak waktu yang tersisa untuk keluarga. Kalaupun ada hiburan, paling-paling ke mall dan alternative ini tidak mungkin dilakukan terlalu sering karena bisa mengancam cash flow keuangan keluarga. Di tengah kehidupan yang serba mahal di Singapore, efisiensi keuangan keluarga menjadi mutlak. Tanya tuh sama Pak Boy, hampir semua sopir taksi di jalanan Singapore, selalu membawa botol berisi air putih rebus dari rumah. Tidak seperti di Indonesia, haus sedikit saja ketika nyetir mobil, langsung beli air mineral botol yang harganya sama dengan harga premium. [caption id="attachment_34357" align="alignleft" width="300" caption="illustrasi (equator.com)"][/caption] Warga Singapura yang dalam kondisi itulah, yang selama ini mendominasi tempat hiburan malam di berbagai daerah di Indonesia yang berbatasan dengan Singapore.  Mereka terlanjur tejebak mencari kesenangan semu, temporer, dan melenakan. Lucunya, ada sebagian warga Singapore yang tergolong warga miskin, seperti buruh angkut pelabuhan atau kuli pasar, menikmati hiburan malam dengan penampilan layaknya ‘raja minyak’ dari Timur Tengah. Mereka sering datang bedua hingga berlima, menikmati hiburan malam bersama ditemani pramuria pilihannya. Konon, ketika pesta minum-minuman berakhir, ada satu orang di antara mereka yang beperan sebagai ‘bos besar’. Tugasnya membayar semua makanan dan minuman yang telah dikonsumi bersama. Setelah esoknya tiba di Singapore, mereka baru hitung-hitungan untuk iuran mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan ‘bos besar’. Peran ‘ bos besar’ ini biasa dilakukan secara bergantian sesuai kesepakatan. Lucunya lagi, (yang ini diskon ya), dibalik penampilan sandiwara itu, terkadang di antara mereka benar-benar ada yang terjebak dengan ulahnya sendiri. Tergiur dengan penampilan bos, ada sebagian pramuria yang terkadang nakal dan meminta servis tambahan, diluar transaksi yang telah disepakati. Ada yang minta berdandan di salon atau diajak jalan-jalan ke mall atau super market. Akibatnya, setibanya di depan kasir, tidak mungkin pramuria itu membayar barang belanjaanya. Ya dompet si ‘bos besar’ itulah yang akhirnya terkuras tanpa ada keberanian untuk menolaknya. Kali ini, orang kita yang lebih pandai dan lihai dibanding turis kelas sandal jepit asal Singapore itu. Mungkin ada sebagian Kompasianer, khususnya ibu-ibu, yang menilai cerita ini sebagai isapan jempol. Saya tegaskan tidak. Ini benar-benar realita kehidupan dunia malam di derah saya sejak belasan tahun silam dan saya yakin masih belum banyak berubah hingga saat ini. Buktinya, tiap akhir pekan warga Singapore terus datang silih berganti.  Cerita ini tidak hanya hasil pengamatan, tapi juga sekaligus pengakuan sebagian pramuria yang pernah saya kenal. Di komplek apartemen tempat tinggal saya waktu masih bujangan dulu, saya bertetangga dengan sejumlah pramuria. Mereka umumnya memang mengaku tak pernah merasakan kenikmatan bercinta dengan para tamu yang kebanyakan warga Singaporee itu. Mereka hanya mengincar kocek, tak lebih dari itu. Kalo hubungan badan gimana? “ Ya, pura pura ngos-ngosan ajalah mas. Macam tak tahu aja. Mereka sebenarnya tak ubahnya berhubungan intim dengan guling” ujar seorang pramuria suatu ketika sambil tertawa ngakak. Apakah daya tarik kesenangan semu dunia malam itu bisa berjangkit terhadap keluarga atau lingkungan terdekat kita? Menurut saya sangat mungkin. Dan kalau hal itu terjadi, dampaknya tentu akan menjadi awal bencana yang bisa mengancam keutuhan keluarga bahkan masa depan anak-anak kita. Oleh karena itu, pagar harus ditancapkan, upaya pencegahan harus dilakukan.Menurut saya, solusi pencegaha paling efektif adalah kembali kepada tujuan hakiki membangun keluarga yang dijalin lewat tali pernikahan. Masing-masing pasangan suami-istri harus terus berusaha mewujudkan keluarga sakinah yang tenteram dan bahagia. Suami-istri harus mampu mewujudkan “rumahku adalah surgaku” bagi semua anggota keluarga. Selain didasari nilai-nilai moralitas yang kuat, upaya ini biasanya bisa diwujudkan dengan interaksi dan komunikasi yang intensif antar semua anggota keluarga. Bahkan juga antar keluarga dengan masyarakat sekitarnya. Bagi para wanita yang memilih berkarier di luar rumah misalnya, lebih bagus hanya menyediakan waktunya selama tiga hingga lima jam perhari kepada anak-anak, namun dengan waktu yang minimal itu, mampu terjalin komunikasi dan interaksi yang intensif. Rasa cinta dan kasih sayang dapat tersalurkan dengan sepenuh hati. Ini lebih baik dibandingkan dengan ibu-ibu rumah tangga yang seharian berkumpul dengan anak-anaknya, namun komunikasi dan interaksi yang dijalin kurang intensif. Rasa cinta dan kasih sayanng kurang tercurah sepenuh hati. Kehadiran sang ibu selama seharian, seolah kurang bermakna bagi anak-anak. Tentu saja, intstnsitas komunikasi ini juga berlaku untuk suami-istri. Tak kalah pentingnya, komunikasi yang intensif juga harus terus menerus terjalin antar suami-istri, khususnya menyangkut interaksi dalam bercinta. Ada suami yang punya selera melakukan hubungan cinta di dalam kamar, ada yang senang melakukannya di ruang terbuka. Demikian juga sang istri, ada yang memiliki selera bercinta dengan gaya dan posisi tertentu. Kuncinya, semua keinginan dan selera antara suami-istri itu harus dikomunikasikan secara intensif dan transparan . (Ah… nggak fasih saya cerita yang satu ini. Lebih baik baca aja seluruh postingan seks education Mariska Lubis di Kompasiana) Tujuannya, agar hubungan yang terjalin antar suami-istri, benar-benar hubungan yang berkualitas karena dijalin tali cinta dan kasih sayang. Bukan hubungan yang mati rasa, seperti dilakukan sebagian turis Singapore, yang berhubungan intim dengan guling itu.  Komunikasi intensif terkait urusan bercinta ini penting, karena kegagalan dalam urusan ini bisa memicu sang suami (bisa juga istri) mencari pelampiasan kesenangan di luar rumah. Faktor lain yang mungkin bisa menjadi pemicu seseorang terjebak dalam kenikmatan semu dunia malam adalah kebiasaan perilaku distruktif yang memberi penghasilan illegal bagi keluarga. Ya bisa korupsi, kolusi, pemerasan, penipuan, tukang tilep hingga berbagai perilaku distruktif lainnya yang merugikan orang lain. Seperti kita tahu, dalam diri manusia itu terdapat bisikan malaikat berupa hati nurani yang cenderung mengarahkan manusia untuk selalu berbuat baik. Namun bisikan hati nurani itu kadang bisa dilumpuhkan dengan berbagai perilaku distruktif yang berlangsung terus menerus. Selain berpengaruh terhadap kualitas hubungan sosial, perilaku diestruktif seperti itu juga sangat berpengaruh dalam hubungan keluarga, khususnya terhadap hubungan suami istri. Hubungan antar anggota keluarga, terutama antar suami-istri, yang awalnya dijalin dengan tali cinta dan kasih sayang, lama kelamaan bisa rapuh sehingga sang suami atau sang istri mencari pelampiasan di luar rumah. Oleh karena itu, agar perilaku baik yang sejalan dengan suara hati nurani itu bisa dominan, perlu kesadaran latihan terus menerus sehingga pada akhirnya menjadi kebiasaan. Kalau sudah menjadi kebiasaan, perbuatan baik yang awalnya sulit dilakukan, akan menjadi sangat mudah bahkan otomatis akan terlaksana tenpa beban. Pasangan suami-istri yang belum terbiasa memotong pajak atau zakat dari gaji bulanannya, mungkin akan sangat berat kalau belum pernah atau baru pertama kali melaksanakannya. Atau pasangan suami-istri yang hidup berkecukupan sekalipun, biasanya akan terasa berat untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk kaum dhuafa seperti fakir miskin dan yatim piatu. Tapi kalau membayar pajak, zakat dan infak itu sudah menjadi kebiasaan, sudah menjadi pola hidup, maka justru akan menjadi beban fikiran dan bisa memicu perasaan was-was kalau belum melaksanakan. Was-was karena mereka sadar, dari harta melimpah yang dikaruniakan Tuhan, ada bagian hak kaum du’afa yang melekat di dalamnya.. Akhirnya, kembali ke musibah kebakaran, apakah fungsi tempat hiburan malam yang ludes terbakar di Medan itu sama persis dengan tempat hiburan di daerah saya itu? Apakah wanita yang menjadi korban tewas itu diantaranya adalah pramuria yang perannya sama dengan pramuria di daerah saya? Apakah sebagian pria korban kebakaran itu juga sedang menikmati hiburan malam sehingga ada kemungkinan di antara mereka tewas dalam pangkuan pramuria atau pelacur? Saya tidak tahu persis karena saya tidak pernah menikmati tempat hiburan malam di Medan itu. Mudah-mudahan peran tempat hiburan yang terbakar, termasuk peran tamu dan pramurianya tidak sama dengan yang ada di daerah saya. Semoga.*** Salam Kompasiana Imam Subari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun