Mohon tunggu...
AR. Sholikul HaDI
AR. Sholikul HaDI Mohon Tunggu... Editor - adalah sebuah abnalisa ekspresi Billie ekfish - poengamat sosial kemasyarakatan , tinggal di Pasti jawa Tengah

Aquarius

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menafsir Syair Ronggowarsito

1 Juli 2021   18:43 Diperbarui: 1 Juli 2021   18:50 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hamenangi Zaman edan ( dokrpi)dokpri

Analisnews_ Opini _ edukasi _ ddf- Hamenangi jaman edan, awuh aya ing pambudi.Yen Melu edan nora tahan yen tan melu anglakoni, soya kaduman melik, kaliren wekasanipun. O ilallah, kersa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada.Saya mencoba terjemahkan dalam bahas Indonesia sebagaia berikut;


(Saaat  dimana kita Mengalami jaman edan, sangat sulit untuk menegakkan akal budi. Ikut edan tidak tahan, tapi bila tidak ikut, hilang kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan materi, bisa berakhir dengan kemiskinan, terpinggir. Kembali pada Allah, seberuntung-beruntungnya mereka yang lupa diri, lebih beruntung mereka yang senantiasa sadar  dan waspada).Tidak mudah bagi saya menemukan padanan kata 'edan' di sini. Yang jelas, istilah 'edan' ini menyatu sebagai idiom dengan kata 'jaman'; jaman edan, mengandung pengertian kondisi umum yang berbeda maknanya bila menyebut 'edan' untuk pribadi.  Karena tentang kondisi umum ini, ke-edan-an di sini berbeda dengan istilah 'kegialaan' nya Foucoult, sebagai  narasi peminggiran pada ekpresi pilihan individual yang dianggap nyeleneh karena berbeda dari perilaku yang dianggap normal dari tatanan sosial yang ada. Edannya pribadi belum tentu berpengaruh pada orang lain. Sementara yang disebut oleh Rangga Warsita adalah jaman edan, kondisi umum,yang sangat  berpengaruh pada kehidupan pribadi-pribadi.


R.Ng. Rangga Warsito seorang Pujangga asli jawa yang mampu  menghubungkan jaman edan dengan melemahnya daya Guna , kesaktian kemandragunaan  ditengah tengah krisi dan pandemi , bahkan pemilik kapital besarpun kalang kabut menghadapinya ; ewuh ing pambudi daya . Dizaman itu  penggunaan akala sehat sirna atau hilangnya peran akal budi sebab budiaya politik yang serba paradogs (ewuh aya ing pambudi) dalam penguasaan -sumber daya materi. Hilangnya penggunaan akal budi yang berlasung secara masif ini, membuat umumnya orang tidak berdaya, tak dapat berbuat lain kecuali mengikutinya. Karena perilaku memburu penguasaan sumber daya materi ini sedemikian masif sehingga orang tidak lagi mempertanyakan, melainkan menganggapnya sebagai kewajaran, tidak lagi manusia sekarang ini peka pada relasi-relasi dalam kehidupan karena terpaku pada penguasaan materi ini , disseminasi sudah tidak dapat dikuasai , jika sedang emosi tidak terkendali, namun jika terlanjur baik melebihi segalanya kebaikannya .


Sebagian orang menganggap ungkapan Terminologi atau istilah "'jaman edan'" tersebut  mengacu jaman masa ketika Rangga , Namun kehadiran makna itu abadi hingga sekarang , Jika ditilik  dengan RW Warsita hidup yang kala itu, di mana keraton tunduk pada pada kekuasaan kolonial Belanda dan diwarnai oleh gaya hidup foya-foya dan penuh intrik.  Sebagaia orang lainnya menganggap 'jaman edan' itu suatu masa yang akan datang. Tapi buat saya, jaman edan bisa kapan saja.
Rangga Warsita memberi alat pembacaan, yaitu ketika masyarakat secara masif sudah sulit menegakkan akal budi karena arus besar narasi yang membiasakan penghambaan pada penguasaan materi dengan cara apa pun. Tata krama, nilai-nilai kebaikan dan kebenarana dan norma sebagai hasil usaha akal budi untuk menjagai tatanan hidup bersama, sudah hanyut oleh arus narasi besar tersebut.


Dalam kondisi umumnya  yang disebuat jaman edan ini, meski tidakan analisa , narasi  mengikuti arus narasi  arus besar besar tetap saja sulit dihindari dampak bencana itu , para profesor, agamawan , Budayawan  semua kocar kacir dinbuatnya ; pranata Nilai pun kocar kacir berubah makna , menurut Sang Punjangga  tindakan apapun jika dilakukan jadi serba perkewuh atau ngewuhi ,terutama bagi  yang kurang  beruntung posisinya , karena yang beruntung  saja pada saat ini justru pada hal lain  jadi sasaran tembak  pageblung mayangkoro ini , sekalipun tidak terkait langsung dengan penguasaan materi tetap saja berdampak  , misalnya yang bergerak di bidang jasa seperti perhotelan dan kosmetika ; yang Beruntung adalah ketika seseorang tidak dikuasai oleh keadaan di luarnya, melainkan mempertahankan kondisi mental yang eling lan waspada. Sadar pada tanggung jawab hidup yang disematkan oleh Allah dan mewaspadai kelemahan.

hal ini terafiliasi dengan Pemikiran dan karya karya Klasik Khasanah buday dan kekayaan illustrasi jawa , Dekolonisasi dan dewestenisasi juga tak mampu , apalagi de arabiscue ,saya menulis tentang 'Korstluiting dan Pengendalian diri', saya merasa apa yang saya tulis ini masih terkait. Tidak harus langsung tentang tindakan berupa ujaran atau sikap, tetapi sangat mungkin seseorang mengalami kehilangan pengendalian diri dalam cara pikir -- yang pada akhirnya berhubungan dengan situasi tidak dapat bersikap lain kecuali mengikuti arus.

Mungkin, dalam konteks saat ini, jaman edan bukan sesuatu yang berwujud perilaku berfoya-foya yang mesum secara rendahan atau murung karena intrik yang kasar, tetapi sesuatu yang halus dan bahkan terkesan elegan. Justru arus narasi besar yang 'halus' ini membuat banyak orang kehilangan kediriannya karena masuk dalam arus  yang menjadikannya obyek untuk menyokong pemilik kepentingan pengejar kekuasaan politik, ekonomi, sosial-budaya. Kampanye gaya hidup konsumtif, bukankah dilakukan dengan halus dan elegan  namun sangat membius? Meski halus dan terkesan 'elegan', dampak edan pada perusakan lingkungan hidup maupun kesenjangan sosial saat ini tetap sama atau bahkan lebih merusak.


Orang menggunakan akal budi dan berfikir kritis di tengah arus ini --sebagaimana ditulis RW) -- 'akan terlindas' suaranya dianggap suara yang tak menarik dan pilihan sikap kritis akan meposisikannya sebagai yang terpinggirkan secara ekonomi maupun sosial.

Bukankan saat ini jual beli gelar atau jabatan, perilaku konsumtif dan pemujaan pada idola sampai pada tindakan tak masuk akal, pergunjingan yang bertransformasi menjadi beragam upaya framing pada pribadi, kelompok atau institusi dalam media sosial yang memutarbalikkankebenaran untuk suatu kekuasaan atau orang banyak tidak lagi peka pada perilaku koruptif, banyak yang tidak berdaya untuk memprotesnya akan dikemanakan Visi dan missinya  semuanya Bingung .Situasi sudah berubah total  semua  rencana mangkrak dan berputar arah , ketika akal budi sulit ditegakkan dan semua laternatif rekayasa pemikiran , teori, retorika , ide ide sudah buntu , inilah  dikatakan jaman edan oleh temen saya tadi . Rasa  term  jawa  dalam kata 'edan' atau edyan edyanan ini sebagai penggedor kesadaran publik di segala bidang , semua harus dirombak total, Revolusi mental, Revormasi birokrasi , dan refotma reforma lainnya  musti di tempuh untuk bertahan di Zaman edan itu .


Akal budi  membutuhkan  pemilik yang selalu  harus sadar diri  untuk mempertahankan kedaulatannya, kemerdekaannya , keautentitaknnya ,  dengan demikian  harus  cukup energi untuk mempertahankan pikiran kritis, nalar sehat dan logika  sewajarnya yang samawa , tidak usah aeng aeng , mengkedepankan  sikap  merdeka dan  nilai-nilai  Bijaksaan , Ketulusan , kejjujuran , Keadilan kebaikan untuk hidup bersama . Ini kembali menjadi urusan pendidikan, rupanya kematangan seseorang ditandai kemampuan menggapai hal-hal substansial. Sebaliknya ketidakmatangan dalam hal ini umumnya ditandai oleh orientasi, penghambaan yang bersangkutan pada hal-hal yang bersifat instrumental, atau sarana. Apakah dengan demikian untuk konteks saat ini jaman yang edan adalah kondisi sosial yang diwarnai gagal tumbuh kepribadian sehingga yang menjadi orientasi kebanyakan orang adalah hal-hal instrumental, sarana-sarana yang bersifat meterial. Apa bila yang menjadi orientasi atau tujuan hidup adalah hal-hal subtansial, kedamaian, cinta, Tuhan, tentu tidak ada perebuatan penguasaan yang menghasilkan  "peminggiraan", kesenjangan, ketidakadilan dan hilangnya perdamaian.

Sumber : listya  Suprobo , kelompok  Kajian Ilmiyah papyrus Yogyakarta , juga alumnus IAIN Sunan kalijaga AF-2 1996

editor : Sholikul HaDi , Alumnus Filsafat IAIN sunan Kalijaga Yogyakarta , 1991 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun