Sowan ke rumah seorang sastrawan Soesilo Toer sudah sejak lama saya rencanakan, namun niat tersebut baru terlaksana hari Minggu (22/3/2020) kemarin.
Ditemani dengan seorang kawan, kami pun berangkat menempuh perjalanan dari Bojonegoro sampai ke Blora bagian kota selama kurang lebih 2 jam, tentunya dengan dibantu aplikasi peta digital guna memudahkan kami menemukan lokasi.
Awalnya sempat bingung ketika sampai di tempat tujuan sebab pintu pagar tertutup amat rapat, namun setelah menghubungi contact person yang ternyata adalah putra beliau, maka melalui pesan singkat kami segera diizinkan untuk masuk.
Bangunan rumah dan perpustakaan itu mungkin tidak terlalu menarik perhatian seseorang yang lewat, sebab konstruksi bangunannya jauh dari kata modern dan megah. Namun dibalik itu semua menyimpan nilai-nilai kenangan historis yang luar biasa.
Rumah tersebut adalah tempat tinggal Pramoedya Ananta Toer saat masih kecil dan kini dijadikan sebagai perpustakaan Pataba (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua bangsa) yang dikelola oleh sang adik, Soesilo Toer.
Jika merujuk pada Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sudah selayaknya bangunan yang berdiri sejak 1925 itu ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya (BCB).
Beberapa kriteria bangunan disebut cagar budaya apabila berusia lebih dari 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah dan ilmu pengetahuan, serta mewakili gaya bangunan pada masanya.
Di antara kriteria tersebut, perpustakaan Pataba sudah cukup memenuhi syarat sebagai BCB, namun progres wacana penetapan yang sudah bertahun-tahun masih absurd hingga sekarang.
Tidak lama setelah kami memberi isyarat di depan pintu, seketika sang pemilik rumah langsung menyapa dan mempersilakan untuk masuk. Rasa senang dan bangga muncul bisa bertemu langsung dengan sastrawan sekaligus saksi sejarah, Soesilo Toer.
Di ruang tamu banyak berjejer koleksi buku mulai yang berbahasa Indonesia, Jawa hingga Rusia.
Sebelum kedatangan kami, aktivitas beliau sedang membaca majalah berbahasa Rusia yang suatu saat akan diterjemahkannya menjadi sebuah buku. Tidak heran, sebab selama 11 tahun pengalaman hidupnya pernah dihabiskan di negeri beruang putih untuk mengenyam pendidikan.
Soesilo menyelesaikan pendidikan master di Universitas Patrice Lumumba dan menyabet gelar doktor dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov di bidang ekonomi dan politik.
Dalam kesempatan tersebut kami mengawali dengan berbincang santai mengenai hobi beliau yang disebut sebagai rektor alias mengorek barang kotor (pemulung), terkadang juga berprofesi sebagai dekan alias dekem ning kandang (beternak).
Joke seperti itu membuat suasana menjadi gayeng dengan suara tertawa khasnya masing-masing.
Semua tamu yang berkunjung diperlakukan dengan sangat baik dan ramah, jika ada pengunjung yang ingin mencari sumber referensi di perpustakaan, beliau tidak segan-segan untuk membantu.
Seringkali mahasiswa mengunjungi perpustakaan Pataba guna menunjang kebutuhan menyelesaikan skripsi, tesis, hingga disertasi.
Apabila pengunjung membutuhkan tempat menginap maka disediakan kamar untuk beristirahat. Cerita beliau, kamar tersebut adalah tempat tidur Pram ketika masih kecil.
Sejak kecil Soesilo menganggap Pram sebagai orangtua, saudara, sekaligus rival. Pram sendiri adalah anak pertama dari sembilan bersaudara, dan Soesilo anak yang ke tujuh.
Sebagai saudara tertua, Pram selalu memberi perlindungan kepada adik-adiknya. Menurut penuturan Soesilo, Pram pernah memboyong dirinya beserta Koesalah (kakak ke-empat) pindah ke Jakarta, sebab setelah ditinggal kedua orangtuanya keadaan ekonomi di Blora sangat sulit.
Melihat Pram bisa dengan mudah mendapatkan uang dari menulis membuat Soesilo termotivasi untuk bisa seperti sang kakak. Jika Pram mulai menulis pada usia 15 tahun, Soesilo sudah memulainya di usia 13 tahun.
Soesilo menyebut keluarganya sebagai mafia sastra, sebab diantara sembilan bersaudara, enam diantaranya menjadi sastrawan.
Di antara adik-adik Pram, Soesilo pula yang dianggap sebagai saingan terberat karena ia cukup produktif dalam menulis buku dan berpendidikan sangat tinggi, bahkan jauh unggul dibanding Pram yang hanya tamat sekolah dasar.
Mengenai pengalaman pendidikan di Uni Soviet, beliau bercerita lebih banyak dan sempat membandingkan dengan pendidikan di dalam negeri. Di Indonesia, hanya mahasiswa tertentu yang mendapatkan beasiswa, itupun melalui tahapan yang cukup selektif.
Namun di Uni Soviet, hampir semua mahasiswa menerima beasiswa termasuk dirinya. Apabila mahasiswa kurang pandai ada konsekuensi khusus yaitu bekerja selama dua tahun bagi mahasiswa asing dan ikut wajib militer selama tiga hingga empat tahun bagi mahasiswa dalam negeri.
Beliau mengatakan, “Kalau di Uni Soviet, mahasiswa yang bodoh itu dimasukkan ke militer menjadi pasukan angkatan perang, mas. Sedangkan di Indonesia, justru anak-anak yang cerdas itu pada berobsesi masuk militer. Anda pun paham jika itu semua tidak lepas dari pengaruh militer yang pernah menguasai negara selama puluhan tahun,” tutur beliau.
Pengalaman paling mengesankan yang pernah dialami selama kuliah adalah ketika berkelana mengunjungi kutub utara. Ia mengaku, mungkin di antara seluruh Indonesia hanya dirinya yang pernah menginjakan kaki di kutub utara pada pertengahan abad 20.
Hal itu bisa ia lakukan sebab pendapatan yang ia sangat tinggi, kehidupan yang dijalani selama berada di Uni Soviet tidak pernah kekurangan sama sekali, “Biaya hidup di Uni Soviet waktu itu 1 rubel per harinya, berarti satu bulan ada 30 rubel, sementara pemasukan saya per bulan bisa sampai 400 rubel,” ceritanya.
Selain mendapat beasiswa Lenin, Soesilo juga bekerja sebagai penulis dan editor di tempat percetakan/penerbitan buku. Surplus pendapatan yang diterima, ia manfaatkan untuk mencari pengalaman sebanyak-banyaknya, termasuk bepergian hingga ke kutub utara.
Salah satu pengalaman mengesankan lainnya adalah ketika ia memiliki kenalan seorang perempuan ketika jalan-jalan di Leningrad, St. Petersburg.
Setelah saling mengenal lebih jauh, rupanya perempuan tersebut merupakan salah satu putri dari Raja Gypsy Polandia, tentu saja pengakuan tersebut membuat Soesilo kaget.
Walaupun berasal dari kelas sosial yang berbeda namun hubungan keduanya terjalin sangat baik, “Dia pernah kecewa dengan saya mas, waktu tahu saya lulus kuliah duluan, kan program doktoral saya selesai 1,5 tahun dari batas normal 2 tahun, sedangkan dia belum lulus,” cerita beliau sambil tertawa. Namun keduanya harus berpisah ketika Soesilo kembali ke tanah air.
Terkait kondisi pendidikan di dalam negeri, beliau kembali memberi komentar dengan nada yang lebih bersemangat. Bagi Soesilo Toer, seluruh permasalahan kaum intelektual di Indonesia bersumber dari institusi pendidikan yang justru membuat anak didik hanya berorientasi mengejar keuntungan pribadi, bukan untuk mengabdi kepada masyarakat.
Menurutnya, fenomena tersebut bermula sejak era Orde Baru, ketika beragam institusi pendidikan dibangun dengan tujuan komersial, yakni demi mengeruk keuntungan.
Kondisi seperti itu tidak pernah dirasakan selama dirinya menjadi kaum intelektual di era Orde Lama yang menurutnya masih berorientasi untuk memajukan masyarakat.
“Menurut saya, ada banyak perbedaan di tingkat penguasa. Pada zaman Bung Karno, pemerintah mendukung setiap kemajuan pengetahuan dan kebudayaan. Pendidikan ditujukan untuk memajukan bangsa. Karenanya, kaum intelektual bebas berpolemik, mengkritik, selama memiliki tujuan untuk memajukan bangsa,” jawab Pak Soes.
Beliau melanjutkan, “Tapi setelah era Bung Karno, terutama pada rezim Soeharto, pendidikan justru dikomersialkan. Hasilnya, iklim intelektualnya berubah. Tak ada yang berani berpolemik, mengkritik. Kalau polemik dalam suasana intelektual, kan harus dijawab secara intelektual juga. Tapi ketika era Orde Baru tidak, malah dibalas dengan represi. Misalnya, kantor Pramoedya Ananta Toer pernah digranat oleh oknum tak dikenal, artinya apa, intelektual dibalas dengan kekerasan,” tutur beliau.
Dahulu, setiap mahasiswa yang belajar di luar negeri, ada perjanjian ketika selesai kuliah harus pulang ke tanah air, berbakti kepada negara dan rakyat minimal 10 tahun.
Tetapi, ketika Bung Karno turun, banyak dari mahasiswa Indonesia di luar negeri yang tidak mau pulang, menurut Pak Soes alasannya adalah karena tidak mau menuruti kemauan penguasa.
Bahkan setiap mahasiswa yang belajar ke luar negeri dan dianggap “merah”, selalu berada dalam pengawasan intelijen. Puncaknya, Pak Soes pernah dipenjara selama 6 tahun sepulang dari Uni Soviet.
Menurut beliau, seharusnya ilmu tetaplah ilmu, jangan sampai ada yang menyangkut pautkan dengan politik. Inilah yang menyebabkan intelektualitas dan kreatifitas bangsa kita menurun, sebab tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk mengetahui segala pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang komunis dan sosialis.
Tidak semua ilmu yang dipelajari harus diterapkan, ada yang sampai pada tahap implementasi namun juga banyak yang hanya sampai di kepala saja. Meminjam istilah yang beliau sampaikan, tindakan seperti itu bisa dikatakan sebagai pemberangusan intelektual.
Dari analisis beliau, banyaknya intelektual Indonesia yang tidak mampu mengurai akar masalah bangsanya sendiri bisa jadi karena pelarangan mempelajari Marxisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai perangkat analisis ekonomi, politik dan budaya, sehingga kaca mata analisis kita telah pecah satu.
“Berbicara Marxis itu tidak ada habisnya, dulu itu menjadi mata kuliah wajib saya saat mengambil program doktoral, disertasi saya juga membahas tentang Marxis, lebih tepatnya mengkritik, yang sekarang sudah menjadi buku berjudul Republik Jalan Ketiga,” cerita beliau.
Tidak terasa diskusi yang begitu menarik tersebut telah berjalan hampir tiga jam, dan beliau masih saja bersemangat menuturkan pengalaman-pengalaman hidupnya. Sementara cuaca di luar semakin meredup.
Nampaknya Pak Soes senang sekali ketika ada tamu sebagai teman berdiskusi, ia bisa menceritakan segudang ingatan dan pengalaman yang ia miliki.
Pesan terakhir yang beliau sampaikan, “Sekolah sampai perguruan tinggi hanya akan membuat manusia menjadi pintar. Oleh karena itu carilah pendidikan di luar sekolah, itu akan membuat anda lebih cerdas dan bijaksana. Dan yang paling utama adalah mendidik diri sendiri yang pada akhirnya anda akan memiliki karakter. Ingatlah kalimat dari Einstein, satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman, maka perhatikan dan catat peristiwa itu, karena manusia akan belajar darinya,” tutup beliau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H