Mohon tunggu...
Muhammad Eko Subagtio
Muhammad Eko Subagtio Mohon Tunggu... Freelancer - History Educator

Historia Est Magistra Vitae, Nuntia Vetustatis..!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

NU Harus Puasa dari Jabatan Menteri Agama

24 Oktober 2019   22:50 Diperbarui: 7 November 2019   21:19 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Source : Editan Dokumen Pribadi

Tuntas sudah rasa penasaran publik terhadap formasi Kabinet Jokowi Jilid II. Pada Rabu (23/10/2019) pukul 08.30 WIB, presiden mengumumkan nama-nama menteri yang akan membantu kinerjanya selama satu periode mendatang, dua jam berselang sekitar pukul 10.30 WIB, presiden resmi melantik para menteri dan pejabat setingkat menteri tersebut di Istana Negara. Tentu tidak semua nama-nama yang muncul bisa memuaskan publik, pasti ada pihak-pihak yang merasa tidak puas bahkan meragukan kapasitas menteri dalam memimpin kementerian yang telah ditugaskan, tidak terkecuali Nahdlatul Ulama.

Hampir selama satu dekade terakhir posisi menteri agama selalu diduduki oleh tokoh-tokoh yang memiliki background NU dan berasal dari PPP, bahkan muncul stigma jika jatah menteri agama pada kepemimpinan Jokowi jilid II ini akan diberikan pada PPP, namun seperti yang kita ketahui bersama jika prediksi tersebut telah terpatahkan. Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi resmi dilantik sebagai Menteri Agama menggantikan Lukman Hakim Syaifuddin. Nama Fachrul Razi tidak terendus oleh media jauh-jauh hari sebelum pelantikan, dan baru ramai muncul sekitar sepekan terakhir. Tentu saja keputusan tersebut mengagetkan banyak warga Nahdliyin khususnya para sesepuh/kiai NU. Fachrul Razi dikenal sebagai seorang ahli strategi militer. Dia juga dikenal sebagai salah satu arsitek militer di kabinet Jokowi. Alasan yang diungkap oleh Razi sendiri mengapa ia ditunjuk sebagai menteri agama adalah untuk meredam radikalisme dan intoleransi yang menjadi musuh besar negara saat ini. Ada kemungkinan besar, Jokowi ingin membersihkan unsur-unsur radikalisme di segala instansi pemerintahan yang sudah kronis. Namun alasan tersebut belum dapat diterima dengan baik oleh beberapa kalangan tokoh NU.

Menurut KH Rabikin Emhas (Ketua Pengurus Harian Tandfidziyah PBNU) seperti yang diberitakan regional kompas (23/10/2019), Rabikin menyatakan jika banyak kiai yang berada di daerah merasa kecewa dengan keputusan Jokowi dalam memilih menteri agama. Menurut Rabikin, para kiai paham jika menteri agama menjadi garda terdepan dalam menangkal radikalisme dan ekstrimisme di Indonesia, namun ternyata tokoh yang menempati posisi tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Resistensi serupa juga ditunjukkan oleh Rizal Darmawan (salah satu pengurus RMI PBNU) yang mengatakan jika seharusnya pos menteri agama diberikan kepada kader NU, baik yang berada di struktur maupun yang tersebar di partai politik. Apalagi kontribusi NU dalam kampanye pemenangan Jokowi-Ma'ruf tidak bisa dipandang sebelah mata, banyak kiai/masyayikh yang rela turun gunung demi membantu memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Jika dikalkulasikan jumlah menteri pada Kaibnet Indonesia Maju yang berasal dari kalangan NU sangatlah minim, dari tiga puluh empat menteri yang dilantik, hanya tiga tokoh yang memiliki background  NU, mereka ialah Ida Fauziah yang terpilih sebagai  Menakertrans, Abdul Halim Iskandar yang menduduki posisi Menteri PDT, dan Mahfud MD  yang menjabat Menkumham. Bahkan oleh kalangan tokoh yang tergabung dalam struktural NU, Mahfud MD sudah lama dianggap "bukan NU/tidak cukup NU" atau "tidak memiliki komitmen terhadap NU". Jumlah ini tentu lebih kecil dibandingkan pada saat pelantikan kabinet Jokowi Jilid I. Setidaknya ada enam tokoh NU yang dipercaya mengemban amanat sebagai menteri, diantaranya yaitu Imam Nahrawi, Hanif Dhakiri,  Lukman Hakim Syaifuddin, Khofifah Indar Parawansa, Muhammad Natsir, dan Marwan Ja'far. 

Menurunnya jumlah menteri dari NU (yang mayoritas sebelumnya berasal dari PKB) banyak yang mengartikan karena masuknya Partai Gerindra  ke dalam gerbong koalisi, dan itu mampu diterima oleh para politisi maupun tokoh-tokoh NU. Namun ada ketidak puasan yang muncul ketika pos menteri agama tidak lagi diduduki oleh tokoh NU dan lebih dipercayakan kepada militer. Memang tidak hanya sekali ini saja jabatan menag diduduki oleh unsur militer. Pada masa Kabinet Pembangunan III, Soeharto menunjuk Letjen. Alamsyah Ratu Prawiranegara sebagai menag, kemudian Kabinet Pembangunan VI diduduki oleh Laksamana Muda Tarmizi Taher. Banyak yang mengatakan jika saat itu adalah eranya para purnawirawan mengisi jabatan strategis di pemerintahan, sehingga tidak terlalu banyak muncul penolakan dari berbagai pihak (disamping kebijakan politik Orba yang sangat akomodatif).

Ketidak puasan NU terhadap posisi menag mengingatkan kita pada peristiwa keluarnya NU dari Masyumi tahun 1955. Sebagai ormas pendukung partai, NU lebih sering berkonflik dengan orang-orang Masyumi yang mayoritas berasal dari kalangan modernis. Kekecewaan NU terhadap Masyumi dimulai ketika terjadi pergeseran fungsi dan peran Majelis Syuro, dan mengalami klimaks pada saat pembahasan kursi mentri agama. Sebagian besar anggota DPP Masyumi menghendaki agar NU rela melepaskan jabatan tersebut, sebab NU sudah tiga kali berturut-turut memegang jabatan menteri agama. Sementara NU sendiri tetap menghendakinya, sebab dengan jalan itu eksistensi politik NU dapat tetap terjamin. Di pihak unsur lain, Muhammadiyah juga menghendaki jabatan itu lantaran NU sudah memimpin kementrian agama selama tiga kali kabinet, setidaknya jabatan menteri agama tidak dipegang NU terus menerus. Alasan inilah yang kemudian membawa NU mengambil keputusan keluar dari Masyumi. (Ali Haidar : 1994)

Berkaca dari peristiwa diatas bisa dijadikan sebagai warning bagi pemerintah agar lebih akomodatif terhadap NU, mengingat peran NU yang begitu besar dalam mengawal pemerintahan dan kebhinnekaan. Begitu juga sebaliknya, NU perlahan-lahan juga harus mulai membangun kepercayaan terhadap menteri agama yang baru ditunjuk. Sebab pemerintah memiliki strategi tersendiri dalam upaya mengatasi radikalisme. Dapat dikatakan jika kebijakan ini termasuk salah satu terobosan baru dari pemerintahan Jokowi, namun akan lebih bijaksana dan efektif apabila ada unsur NU yang ditempatkan sebagai wakil menteri agama sehingga akan terjalin sinergitas antara NU dan militer, ini akan menjadi formasi ideal yang diciptakan pemerintah dalam menangani radikalisme, ekstrimisme maupun intoleransi di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun