(Pandangan awam tentang Krisis Ekonomi)
Ditengah pandemi covid-19 yang melanda dunia disertai pergerakan ekonomi dunia yang melambat dan mengalami kontraksi tajam, kini issue terjadinya krisis ekonomi, resesi bahkan mengarah pada keadaan depresi global begitu menguat. Indonesia sendiri pada kuartal II-2020 mengalami pertumbuhan negatif -5,32%, terburuk sejak kuartal I-1999 -6,13%.
Diantara Negara Asia Tenggara, Singapura dan Filipina mengalami keadaan lebih buruk dengan pertumbuhan minus pada kuartal II 2020, Singapura minus 41.2% dan Filipina minus 16.5%, juga banyak negara lain di dunia mengalami kontraksi ekonomi yang buruk, seperti Korea Selatan, Hong Kong, Amerika Serikat, Spanyol, Jerman, Prancis, Italia- tentu dengan analisis secara detail tentang kondisi yang berbeda-beda pada masing-masing negara.
Singapura misalnya, sebuah negara kecil berpenduduk sekitar 6 juta, perekonomian negara sangat bergantung pada negara-negara lain melalui sector jasa, perdagangan dan Pariwisata- Singapura menjadi pusat global supply chain dan menjadi negara penghubung (hub) pada sektor penerbangan dan jasa keuangan-sehingga dengan adanya pandemi covid-19 yang melanda dunia, perekonomian Singapura mengalami kontraksi tajam bahkan konon terburuk sejak 1965.
Politik Pangan dan Kemandirian
Indonesia sebenarnya mempunyai kekuatan ekonomi alami yang bisa menjadi basic dan landasan pacu dalam pembangunan ekonomi nasional - seperti jumlah penduduk yang besar, kekayaan berbagai sumber alam, potensi-potensi pariwisata berbasis alam, potensi kelautan dan Pertanian dengan iklim tropis-nya-namun dalam perkembangannya semua kekauatan ekonomi alami tersebut kurang dikelola dengan baik sehingga tidak menjadikannya sebagai basic kekuatan ekonomi nasional yang tangguh.
Integritas dan komitmen kita akan kemandirian bangsa juga kurang menjadi spirit dan pedoman dalam menentukan arah kebijakan pembangunan, sehingga menjadikannya bangsa ini seperti bangsa yang seperti hilang rasa kesabarannya untuk membangun sector hulu, utamanya di sector pangan dan pertanian kemudian terkoneksi dengan industry hilirnya yang juga kita bangun yang disupport oleh industry hulu dari kita sendiri.
Pangan adalah kebutuhan dasar rakyat, mestinya untuk urusan kemandirian pangan, negara mesti menjadikannya sebagai salah satu pilar utama dalam kebijakan politik pembangunan ekonomi-sebagai politik pangan untuk rakyat dengan strategi “Indonesia incorporated”.
Ketergantungan kepada impor menjadikan bangsa ini terlena akan kemandirian, di samping juga boros devisa. Jika terlambat kita membangun sector hulu dalam industry pangan, jangan-jangan kita akan menjadi bangsa terbelenggu untuk selalu “terpaksa” impor, karena membangun sector hulu-hilir sector pangan dalam Indonesia incorporated butuh strategi dan kesabaran-tidak bisa instant. Beras, kedelai, gula, jagung,garam, susu sapi (milk skim), dan sebagainya.
Korupsi.
Kofi A. Annan, mantan Sekjen PBB menggambarkan dampak korupsi sebagai berikut (UN, 2004):“Korupsi ibarat penyakit menular yang menjalar pelan namun mematikan, menciptakan kerusakan yang sangat luas di masyarakat.
Korupsi merusak demokrasi dan supremasi hukum, mendorong pelanggaran terhadap hak azasi manusia, mendistorsi perekonomian, menurunkan kualitas kehidupan dan memungkinkan organisasi criminal, terorisme dan berbagai ancaman terhadap keamanan untuk berkembang” (cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id)
Seorang ahli ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Rimawan Pradiptyo menyebut, berdasar data yang dimiliki UGM hingga 2015, kerugian negara akibat korupsi di Indonesia sebesar Rp 203,9 triliun.
Namun, total hukuman finansial hanya Rp 21,26 triliun atau setara sekitar 10 persen. "Kalau kita perhitungkan dengan biaya sosial korupsi, katakanlah 2,5 kali lipat maka biaya sosial korupsi kita itu minimum Rp 509,75 T. Kerugian negara Rp 203,9 T, tapi total hukuman finansial sekitar Rp 21,3 T, ada gap Rp 488,5T.(https://news.detik.com/berita).
Bahkan disinyalir bahwa Kebocoran dalam anggaran negara sudah terjadi sejak 10 tahun setelah Indonesia merdeka, kebocorannya 30-40 persen, seperti halnya kata Prof Soemitro Djojohadikusumo.
Bagaimana pula dengan kebocoran-kebocoran yang terjadi di perusahaan-perusahaan BUMN kita, juga BUMD di daerah-daerah? Walau belum ada angka yang pasti, tapi secara spekulatif bisa dikatakan angkanya sangat tinggi, bukankah sudah menjadi stigma atau stereotype public atas bumn-bumn kita sebagai “sapi perah” ada juga yang menyebut sebagai lahan bancakan dan bagi-bagi kue? Perlu diteliti lebih lanjut secara akurat.
Krisis Ekonomi.
Secara sederhana bisa dikatakan sebagai penurunan kondisi ekonomi suatu negara secara drastis, tercermin pertumbuhan ekonomi melambat, kenaikan harga bahan-bahan pokok, penurunan nilai tukar rupiah, pengangguran meningkat, daya beli masyarakat menurun, pemerintah mulai kesulitan membiayai belanja.
Krisis ekonomi dimasa pandemi Covid-19 saat ini tentu lebih pelik, karena masalah yang dihadapi tidak hanya masalah ekonomi dan keuangan, namun juga masalah kesehatan. Pemerintah terlihat sedang berupaya keras untuk mengatasi persolan ekonomi, juga persoalan kesehatan dan pandemi covid-19.
Faktor daya beli masyarakat yang menurun juga mendapat perhatian dari pemerintah, yaitu dengan rencana memberikan bantuan 600 rb per bulan bagi karyawan swasta bergaji di bawah 5jt rupiah, dengan syarat terdaftar di BPJS- sebagai upaya stimulasi meningkatkan konsumsi dan daya beli masyarakat- bagi PNS juga ada gaji ke 13- dengan demikian diharapkan akan terjadi geliat aktifitas ekonomi di masyarakat utamanya umkm.
Hal lain yang patut dicermati adalah meningkatnya Utang Pemerintah dan BUMN, dan terjadinya deficit transaksi berjalan sejak sebelum pandemi covid, juga nilai tukar rupiah yang selalu terdepresiasi terhadap dolar AS
Imunitas Perekonomian Indonesia.
Sebagai seorang awam, saya tentu tidak bisa detail dalam membahas persoalan perekonomian nasional, namun sebagai bagian dari masyarakat pasti punya “indera perasa” dan sedikit logika untuk menilai situasi perekonomian secara makro dan berbagai hubungan kausalitas berbagai aspek dalam perekonomian nasional.
Namun, ada satu hal yang ingin saya sampaikan bahwa Indonesia perlu meningkatkan imunitas perekonomian nasional yang bisa menjadi benteng agar tidak terjadi krisis ekonomi yang dalam. Yang pertama adalah komitmen kuat pemberantasan korupsi, kedua membangun spirit kemandirian dan yang ketiga adalah menanamkan spirit minimum utang luar negeri.
Dengan tingkat korupsi minimal berarti kita punya saving, dengan kemandirian atau mengurangi ketergantungan impor artinya kita menghemat devisa dan dengan spirit minimum Utang LN artinya kita sedang tidak “bermain api” dengan situasi kemungkinan terjadinya gagal bayar, terkurasnya devisa untuk bayar bunga dan cicilan, yang berarti juga kita sedang mewariskan utang kepada anak-cucu kita.
Kita, negara harus bisa mengamankan sumber-sumber keuangan negara terbebas dari korupsi, misalnya korupsi dari sektor Pajak, Keuntungan dari perusahaan-perusahaan BUMN dan BUMD (untuk daerah), dan korupsi atas sumber-sumber lain keuangan negara.
Sebisa mungkin sumber keuangan negara tidak berasal dari mencetak uang karena kan menimbulkan inflasi, juga seminimal mungkin menggunakan alternatif dari Utang Luar negeri karena ada resiko gagal bayar jika tidak terkontrol, dan menguras devisa ketika jatuh tempo pembayaran- dan lebih konyol lagi sudah Utang, duitnya dikorupsi lagi.
Kita yakin, imunitas perekonomian kita akan kuat jika negara punya komitmen tinggi atas 3 hal diatas, yaitu spirit dan komimen tertinggi untuk memberantas korupsi pada semua sektor, membangun spirit kemandirian yang kuat dengan semangat berdikari, dan membangun negara dengan spirit minimum Utang Luar Negeri atau Melakukan Pinjaman LN dengan Perhitungan paling aman.
Wallahu A’lam Bishawab (SR-Swasta, Tinggal Di Jakarta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H