Mohon tunggu...
Subagiyo Rachmat
Subagiyo Rachmat Mohon Tunggu... Freelancer - ◇ Menulis untuk kebaikan (titik!)

(SR Ways) - Kita mesti peduli dengan sekeliling kita dan bisa berbagi sesuai kapasitas, kadar dan kemampuan masing-masing sebagai bagian dari masyarakat beradab.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mana Lebih Penting, Ekonomi atau Kesehatan?

17 Juli 2020   02:00 Diperbarui: 17 Juli 2020   02:03 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanpa kita sadari datangnya pandemi covid-19 telah melahirkan dua pendekatan strategi dalam upaya menghadapinya. Dua model pendekatan ini saya lebih suka menyebutnya sebagai mazhab kepemimpinan covid-19, ini tercermin dari dua sosok-yang pertama Pak Jokowi Presiden Republik Indonesia, dan yang kedua adalah Bang Anies Bawedan Gubernur DKI Jakarta.  

Pak Jokowi bisa disebut sebagai penganut mazhab ekonomi, karena lebih menekankan tetap berjalannya aktifitas ekonomi dengan secara simultan melakukan upaya-upaya solusi dalam menghadapi wabah covid-19 ini. Sementara Bang Anies adalah penganut mazhab kesehatan, karena melihat urgensinya bahwa persoalan pandemi covid-19 adalah persoalan kesehatan dan nyawa manusia.

Sehingga perlu langkah-langkah ekstrim dalam sebuah time frame tertentu untuk mengatasi wabah ini, maka kemudian muncul istilah Lockdown (Penguncian wilayah) yang sebenarnya sudah banyak diterapkan di negara-negara lain- masing-masing tentu ada konsekuensinya. Akhirnya kedua mazhab itu melebur dalam sebuah kebijakan yang terkemas dalam istilah PSBB, PSBB transisi dan New Normal yang belakangan diakui pemerintah sebagai istilah yang salah, kemudian diganti menjadi AKB ( Adaptasi Kebiasaan Baru).  

Pandemi virus Corona atau covid-19 yang sedang terjadi ini memang sungguh merepotkan kita semua, merepotkan hampir semua negara di dunia, karena penyebarannya yang demikian cepat melalui human to human transmission, bahkan kini dikatakan berpotensi bisa menular melalui udara- demikian relesase terbaru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) merespon pernyataan resmi dari  WHO (Organisasi Kesehatan Dunia).

Kalau kita tarik “benang merah” sejak terjadinya kasus positif covid-19 pertama di dunia sekitar november 2019 di Wuhan Tiongkok, setelah itu menyebar ke seantero dunia dengan cepat.  Pemerintah Indonesia kemudian memutuskan menjemput pulang ke tanah air 245 wni di Wuhan awal februari 2020, namun demikian pemerintah waktu itu masih yakin covid-19 tidak akan masuk di Indonesia, sampai terjadinya kasus pertama positif covid-19 di Jakarta/ Depok pada awal maret 2020.

Sejak itu, jumlah kasus positif terus meningkat- kini jumlahnya menurut laporan dari Gugus Tugas Nasional per 16 April 2020, secara akumulasi  kasus terkonfirmasi positif COVID-19 secara nasional adalah 81.668, kemudian untuk pasien sembuh menjadi 40.345 ( 49.0%) dan kasus meninggal menjadi 3.873 (4.74%).

Sementara untuk DKI Jakarta total kasus positif 15.466 ( 18.93% nasional), pasien sembuh 9857 ( 24.43% nasional),  kasus meninggal 722 (18.64% nasional). Sinkronisasi dengan kebijakan pusat, pada april DKI menerapkan kebijakan PSBB, kurva angka kasus positif sempat landai dan menurun.

Kemudian menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah pusat- DKI Jakarta menerapkan PSBB transisi sebuah istilah yang senada dengan istilah pemerintah pusat sebagai New Normal, kini kurva kasus positif  di DKI kembali naik. Hari kamis kemarin (16 Juli 2020) ada kabar, bahwa Pemprov DKI memutuskan untuk memperpanjang PSBB transisi fase pertama selama 14 hari ke depan, 17-30 juli 2020. Sebuah langkah bijak mengingat jumlah kasus positive yang masih terus meningkat.

Sejak awal memang sudah menjadi warning untuk Batam, Jakarta dan Bali akan menjadi entrance gate masuknya penyebaran virus corona atau covid-19 ke Indonesia, mengingat ketiga wilayah ini adalah gerbang utama pergerakan manusia dari luar negeri masuk Indonesia. Ketika itu sudah muncul saran agar dilakukan Lockdown untuk tiga daerah ini, guna meminimalisir perkembangan dan penyebaran covid-19.

Marak dengan Istilah.

April 2020 pemerintah mumutuskan wabah covid-19 sebagai bencana nasional non alam. Kemudian mulailah masyarakat dikenalkan dengan istilah Lock down dan PSBB yang pernah menjadi polemik soal istilah tidak terlalu substansial, dan akhirnya  dipilihlah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang lebih merupakan pilihan kebijakan jalan tengah agar roda ekonomi tidak lumpuh total.

Kemudian masyarakat menjadi sedemikian familiar dengan kedua istilah tersebut, juga dengan istilah lain seperti Social distancing. Istilah baru terus bermunculan seperti PSBB, PSBB transisi, New Normal yang terakhir ini kemudian diganti lagi menjadi AKB ( Adaptasi Kebiasaan Baru).  

Dalam hal ganti-ganti istilah belum berhenti sampai disini, baru-baru ini Menteri Kesehatan mengeluarkan kebijakan penggantian istilah untuk  ODP, PDP dan OTG yang masyarakat sudah mulai familiar dengan istilah itu- Orang Dalam Pemantauan ( ODP), Pasien Dalam Pengawasan ( PDP), dan Orang Tanpa Gejala ( OTG) diganti dengan istilah baru- ODP berubah menjadi Kontak Erat, PDP menjadi kasus suspek, dan OTG menjadi kasus Konfirmasi Tanpa Gejala.

Soal ganti-ganti istilah ini, barangkali bisa menjadi gambaran kegamangan kita dalam menyikapi sebuah wabah pandemik bernama covid-19, yang sejak awal memang sudah terlihat ambigu- tapi kita pada akhirnya maklum karena keberadaan virus ini datang dan perginya memang tidak terlihat apalagi terjadwal, sehingga pendekatan yang disebut sebagai mazhab kepemimpinan covid-19 menjadi penting.

Bagi masyarakat, sebenarnya apapun mazhab kepemimpinan dalam menghadapi wabah pandemic covid-19 ini yang penting adalah pemahaman yang utuh tentang covid-19, fokus untuk kepentingan rakyat, independensi secara politik dalam menentukan kebijakan-kebijakan baik jangka pendek maupun jangka panjang, mindset tentang kebencanaan dan kedaruratan.

Mana Lebih Penting, Ekonomi atau Kesehatan?

Sebenarnya keduanya tidak perlu dipertentangkan, karena keduanya sama-sama penting baik untuk negara maupun masyarakat, keduanya menyangkut kebutuhan dasar manusia, persoalannya adalah pada mindset kita dan para penentu kebijakan tentang aspek kedaruratan dan kebencanaan dalam konteks pandemi covid-19 ini.

Jika kita berpikir bahwa pandemi covid-19 adalah tentang kedaruratan kesehatan, tentu semua pikiran dan resources kita bisa difokuskan untuk itu, kita bisa manage dalam timeframe tertentu untuk benar-benar focus mengatasinya dengan upaya menyetop penyebaran virus. Kita bisa lakukan kebijakan secara ekstrim dalam kurun waktu tertentu, misalnya 1-2 minggu. 

Lockdown (Isolasi wilayah) untuk daerah-daerah tertentu. Menerapkan protocol covid-19 secara ketat, menyetop sementara kedatangan warga negara asing dari negara-negara pandemic, seperti cina, dan sebagainya. Apalagi vaksin corona juga belum kunjung ditemukan, riskan untuk melepas bebas pergerakan masyarakat- baik domestik maupun asing yang masuk Indonesia.

Sampai saat ini kita masih seperti ada fobia dengan istilah dan kebijakan lockdown (isolasi wilayah), ada baiknya dicoba dengan segala konsekuensinya sebagai upaya mengakhiri penyebaran virus covid-19 yang masih belum ada vaksin penangkalnya.  Karena berbagai pilihan kebijakan selama ini terbukti kurva positive covid-19 masih terus menaik secara nasional, bahkan akhir-akhir ini kita banyak mendengar adanya klaster-klaster baru di banyak daerah!

DKI Jakarta ketika PSBB diterapkan, ada masa dimana kurva positive covid-19 melandai dan menurun, tapi ketika diteruskan dengan kebijakan New Normal yang diadopsi DKI Jakarta sebagai PSBB transisi, kurva positive covid-19 di Jakarta kembali naik. Menjadi sebuah pembelajaran buat kita semua baik penentu kebijakan, maupun juga masyarakat yang belum begitu displin dalam menjaga berbagai protocol covid-19.

Sudah saatnya kepemimpinan nasional bisa membangun kembali rasa solidaritas dan kebersamaan nasional untuk mengatasi secara bersama-sama pandemic covid-19 ini, semua maklum jika pertumbuhan ekonomi melambat, berbagai kerjasama dengan pihak-pihak asing mungkin sementara ditinjau ulang, dan sebagainya. Pemerintah tak perlu takut dikatakan gagal, jika ada transparansi dalam kebijakan-kebijakannya insyaallah semua kelar, dan rakyat bisa menerima.

Saatnya kita berpikir dan memulai lagi netbagai upaya dalam membangun kemandirian bangsa yang sering didengungkan oleh para founding fathers kita, sehingga kita bisa mengurangi berbagai ketergantungan dari negara-negara asing, apalagi untuk hal-hal yang sebenarnya kita bisa. Sektor hulu (pangan, energy, dll) mesti mulai digarap lagi.

Apakah Vaksin Corona sudah Ditemukan ? Menurut John Mascola, direktur National Institute of Health (NIH) Maryland- USA, jika semua berjalan baik, maka akhir tahun ini (=2020) kita akan mendapat jawaban vaksin mana yang akan bekerja untuk melawan Corona. Ada 3 jenis vaksin yang sedang dilakukan uji klinis untuk bebrapa bulan kedepan di Oxford University, di Cina dan di AS. (source www.cnbcindonesia.com). 

Pak Jokowi sendiri mangatakan bahwa kita akan mulai memproduksi vaksin Corona mulai awal 2021.

Jadi, kapan kita bisa memulai kehidupan normal atau bolehlah dimulai dengan Normal Baru?  Ya mestinya ketika kita sudah siap dengan vaksin corona, bukankan begitu?

Tapi- kini kita menjadi faham mengapa pemerintah kemudian mengoreksi istilah “New Normal” menjadi AKB ( Adaptasi Kebiasaan Baru). 

Wallahu A’lam Bishawab ( SR-Swasta, Tinggal Di Jakarta)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun