(Tanggapan atas Wacana Pungutan Pajak Sepeda)
Maaf saya agak sedikit menahan nafas ketika membaca berita sebuah surat kabar baru- baru ini tentang wacana Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan Darat, yang disampaikan Dirjend Perhubungan Darat Bapak Budi Setiyadi untuk memungut pajak sepeda dari masyarakat. Hal ini disampaikannya dalam sebuah diskusi virtual berkaitan maraknya kegiatan bersepeda masyarakat belakangan ini.Â
Sebenarnya apa hubungan maraknya masyarakat bersepeda dengan wacana pungutan pajak sepeda?
Walau masih sekedar wacana, patut membuat kita bertanya-tanya apa sebenarnya alasan substantif dari pewacanaan pungutan pajak sepeda tersebut?Â
Apakah faktor kebutuhan alternatif sumber pendapatan daerah/negara kah? Atau adanya keinginan pemerintah membatasi masyarakat untuk memiliki dan melakukan aktifitas dengan sepeda? sama sekali tidak jelas. Juga tak disinggung sepeda dalam kaitan issue lingkungan hidup, seperti sebagai kendaraan ramah lingkungan, bebas polusi udara maupun dalam issue pemanasan global yang sudah menjadi issue dunia maupun nasional.
Tapi banyak pula yang kita perlu apresiasi dari pernyataan pak dirjend. Maraknya masyarakat bersepeda dikatakannya perlu diatur dengan menyiapkan infrastruktur jalan, dan sebagainya- mengingat sekarang ini begitu bervariasinya jenis moda transportasi di jalan raya.Â
Dijelaskan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan di Jalan raya, sepeda termasuk dalam kategori kendaraan yang tidak digerakkan oleh mesin- karenanya masuk dalam kelompok bukan kendaraan bermotor, maka pengaturannya berada di pemerintah daerah. Selain itu, pengelompokan angkutan juga harus direvisi dalam UU Nomor 22 tahun 2009- karena semakin beragamnya jenis angkutan, termasuk angkutan listrik, seperti sepeda listrik, skuter, hoverboard, dan lainnya.
Masyarakat Indonesia masa kini, menggunakan sepeda kebanyakan hanya sebagai hobby, rekreasi, olahraga atau mungkin hanya trend followers, terlampau sedikit yang benar-benar menjadi alat transportasi utama seperti untuk kerja, ke kantor, sekolah, belanja, dan sebagainya. Beda dengan penggunaan sepeda di era 70-80an dan era-era sebelumnya, dimana memang masih  menjadi alat transportasi utama masyarakat.
Namun begitu, jika pemerintah konsisten dalam merespond issue-issue soal lingkungan hidup, mestinya marak dan bergairahnya bersepeda masyarakat bisa ditangkap sebagai sebuah kampanye dan sosialisasi gratis atas pentingnya sebuah alat transportasi ramah lingkungan dan menyehatkan, seperti sepeda. Masyarakat sehat, lingkungan sehat pula.
Disamping itu maraknya masyarakat bersepeda, membuat multiplier effect ekonominya juga hidup, seperti bengkel sepeda, toko sepeda, pedagang informal di sentra-sentra aktifitas pesepeda. Pemerintah, pusat atau daerah tinggal mendukung masyarakat dengan menyiapkan infrastruktur-nya, seperti lajur khusus untuk sepeda, area parkir, dan sebagainya.
Kembali ke soal pajak sepeda, ini jadi mengingatkan kita pada tahun 70-80an ketika setiap sepeda ada tempelan peneng- nya. Peneng adalah sebuah stiker sebagai bukti telah bayar pajak sepeda, kira- kira sebagaimana stnk untuk kendaraan bermotor jaman sekarang.Â