Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata `bodong` diartikan sebagai `tersembul pusatnya atau bujal (bahasa Jawa)`. Kata `bodong` dalam perkembangannya dirangkaikan dengan kata lain, seperti `motor bodong` yang dikonotasikan dengan kendaraan bermotor yang tidak ada STNK dan/atau BPKB-nya.Â
Selanjutnya, ada juga `investasi bodong`, yaitu investasi yang tidak jelas bagi hasil keuntungannya. Â Biasanya orang yang menawarkan menanam modal pada calon investor selalu mengiming-imingi bagi keuntungan yang cukup besar sehingga sang calon investor tertarik untuk menanam modalnya. Selang beberapa saat mulai tampak ada tanda-tanda yang patut dicurigai. Ternyata, orang yang mengajak sang calon investor tidak jelas belantaranya.Â
Sang calon  investor pun gigit jari karena `boro-boro` dapat keuntungan, modalnya pun raib. Itu jika kata `bodong` disandingkan dengan kata `investasi` yang berujung pada ketidakjelasan atau boleh dikatakan bohong atau palsu. Bagaimana jika disandingkan dengan kata `perilaku` sehingga menjadi `perilaku bodong`?  Â
Kalau kata `bodong` dalam frase `perilaku bodong` diartikan `tidak bermoral`, berarti frase tersebut bisa diartikan perilaku tidak bermoral. Jika di antara dua kata yang terdapat di frase itu diselipkan kata `bangsa` sehingga menjadi `perilaku bangsa (yang) tidak bermoral`.Â
Tulisan ini lebih menyoroti perilaku bangsa kita yang memang tidak bermoral. Atau boleh juga perilaku bangsa yang bermoral rendah. Apapun yang ingin dituju dalam tulisan ini lebih banyak menyoroti perilaku bangsa kita yang memang diakui atau tidak bermoral rendah.Â
Pasti ada pikiran-pikiran kritis yang muncul di benak kita: mana buktinya kalau bangsa kita bermoral rendah? Bisa juga ditambahkan mengapa bangsa kita bermoral rendah? Akhirnya, muncul pernyataan yang mengindikasikan jangan cuma omong doang (omdo). Beri dong, solusinya! Tentu saja pertanyaan terakhir yang diajukan: bagaimana jalan keluarnya agar bangsa kita tidak bermoral rendah?
 Bukti bangsa kita bermoral rendah bisa dilihat dari pemberitaan di sekitar Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Online tahun ini. Silakan disimak pemberitaan PPDB Online yang tahun ini diberlakukan sistem zonasi di Detik.com.Â
Di situ ada pemberitaan yang berjudul "Dulu Jual Beli Kursi, Kini Kartu Keluarga" yang isinya di antaranya tentang 36 laporan terkait kecurangan pendaftar yang menggunakan kartu keluarga (KK) palsu. Kok, bisa begitu ya? Ternyata, cuma gara-gara PPDB Online dengan sistem zonasi bisa-bisanya masyarakat melakukan tindakan tidak bermoral dengan membuat KK palsu ya? (https://x.detik.com/detail/investigasi/20190708/Dulu-Jual-Beli-Kursi,-Kini-Kartu-Keluarga/).Â
Di Rembang (Jawa Tengah) cuma gara-gara orang tua bernafsu agar anaknya diterima di sekolah negeri terpaksa membuat Surat Keterangan Domisili (SKD) invalid alias palsu. Silakan dibuka beritanya di Detik.com yang berjudul "Masih Ada yang Nekat Pakai Surat Domisili Abal-abal untuk PPDB di Rembang".Â
PPDB Online dengan sistem zonasi ini pun tidak luput dari jual beli kursi. Masalah ini pun telah diketahui dan diakui oleh Mendikbud kalau banyak terjadi jual-beli kursi (" Mendikbud Akui Tahu Ada Jual-Beli Kursi di PPDB"). Wajar saja jika lembaga seperti Ombudsman menyebutkan bahwa PPDB Online tahun ini tidak terhindar dari maladminitrasi karena ada banyak kasus dimulai dari pungli sampai dengan intervensi pejabat.Â
Karena itu, tidak usah gusar saja kalau warga Kota Bandung tabur bunga di Balaikota Bandung sebagai protes PPDB Online sistem zonasi yang merugikan.