Menonton sebuah film di sela-sela istirahat kerja bagi saya merupakan sebuah kemewahan tersendiri. Terlepas dari film tersebut telah diproduksi puluhan tahun yang lalu, ataupun baru saja dirilis. Kelayakan sebuah film untuk dapat ditonton adalah faktor penunjang utama dalam menikmatinya. Kelayakan tersebut dapat ilihat dari berbagai segi yang mendatangkan keindahan bagi mata dan tentu saja menggugah rasa dan jiwa penonton. Meskipun hal ini merupakan sesuatu yang bisa dibilang sangat subyektif, sebuah film bagi saya haruslah dapat menyampaikan suatu pesan yang kuat, menjadi media pengantar pesan isu-isu sosial kemasyarakatan kepada saya sebagai penikmatnya.
Salah satu film yang baru saja saya tonton adalah film produksi Irak yang berjudul Son of Babylon, atau Ibn Babil dalam versi aslinya. Film ini dibuat pada tahun 2009 dan berhasil mendapatkan beragam penghargaan internasional. Film ini bagi saya cukup istimewa karena dapat membuat saya tertawa sekaligus menangis saat menyaksikannya. Dengan akting yang piawai dari pemeran utamanya yaitu Shazada Hussein dan Yasser Talib, film ini berhasil menghadirkan keharuan sekaligus gambaran peristiwa dan sekilas fakta mengenai kekejaman seorang diktator, Saddam Hussein.
Film ini mengambil latar waktu tiga (3) minggu setelah kejatuhan Saddam di Irak akibat gempuran tentara Amerika Serikat. Cerita dimulai ketika seorang nenek bersama cucunya sedang mencari anaknya yang juga merupakan ayah dari cucunya tersebut, Ahmed. Si nenek yang relijius dan cucu yang agak nakal namun sangat penyayang menjelajah bersama mencari sosok yang mereka rindukan, setelah terpisah selama 12 tahun. Mereka berdua mencarinya ke Baghdad namun karena mereka adalah orang Kurdi sehingga terkendala bahasa. Untungnya cucunya memiliki kepandaian berbahasa yang baik sehingga dia menjadi penghubung antara neneknya dan orang lain.
Pencarian mereka kemudian berujung pada beberapa tempat kuburan massal. Sayang, upaya mereka yang gigih tidak membuahkan hasil sebagaimana yang mereka harapkan. Ahmed yang baik selalu saja menghibur dan membesarkan hati neneknya untuk terus mencari keberadaan ayahnya. Si nenek pada akhirnya menjadi kelelahan dan putus asa, lalu kemudian meninggal.
Film ini memperlihatkan banyaknya warga Irak yang menjadi korban kekejaman pemerintahan Saddam, termasuk masyarakat Kurdi. Mereka yang meninggal tidaklah mendapatkan pemakaman yang baik, namun dikubur secara massal begitu saja. Jatuhnya Saddam membuat kuburan-kuburan massal tersebut dibongkar dengan menggunakan alat berat. Kesulitan terjadi dalam mengidentifikasi mayat yang telah termakan usia dan hanya tinggal tulang belulang saja. Sebanyak kurang lebih satu juta orang yang hilang di Irak dalam kurun waktu 40 tahun, dan total ada 300 kuburan massal yang ditemukan pada tahun 2009.
Demikian banyaknya warga sipil yang hilang dan terbunuh akibat kepentingan sesaat dari orang-orang tertentu yang mengendalikan kekuatan militer dan pemerintahan. Demi mempertahankan kursi yang empuk, mereka rela menghabisi nyawa orang lain yang bahkan innocent. Atas nama ideologi, agama, politik, dan materi, kesadaran dan kewarasan dapat ditenggelamkan. Yang tak pernah terpikirkan bagi para pelaku adalah luka yang menganga sepanjang waktu yang diderita oleh korban.
Saya lalu teringat dengan kekejaman serupa yang dialami oleh anak bangsa sendiri akibat propaganda politik di masa pemerintahan Soeharto. Sudah sepantasnya negara, dalam hal ini pemerintah, meminta maaf kepada para korban dan memulihkan nama baik, kebebasan, serta hak-hak hidup mereka. Dan semoga cerita kelam yang serupa tidak lagi terjadi di muka bumi ini.***
Â
Sumber foto: laceysfilms.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H