KESEDIHAN DURYODHANA
Radheya telah tewas, tak ada lagi yang tersisa lagi di bumi setelah kematian Radheya. Semua yang indah telah pergi. Langit tiba-tiba gelap, matahari tenggelam dalam kesedihannya, semua gelap seperti malam yang akan segera datang.
Saat itu tengah hari, namun cahaya matahari begitu redup seperti cahaya bulan, begitu bersedih atas kematian putranya. Salya pergi kehadapan Duryodhana dengan air mata yang berlinang. Duryodhana sangat sedih atas kematian Radheya sahabatnya. Radheyanya telah mati. Ia kembali teringat dengan saat-saat ia bersama Radheya, saat Radheya menjadi penyemangatnya. Kini Duryodhana benar-benar lunglai. Salya berusaha menenangkannya.
Di lain pihak, di dalam tenda Pandava, Arjuna dan Krsna menghadap Yudhisthira, mereka larut dalam kegembiraan atas kematian musuh yang paling kuat. Kekhawatiran Yudhisthira telah menghilang sekarang. Yudhisthira keluar dan melihat mayat Radheya. Ia melihat Radheya tidur dengan tenang setelah ia menderita sakit yang begitu berat bernama ’kehidupan’.
DURYODHANA DAN BHISMA
Duryodhana tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Ia hanya bisa memikirkan Radheya. Tentang bagaimana ia pertama bertemu dengannya, tentang kebersamaan mereka. Ia melihat semua orang di tendanya telah tidur, ia melangkah menuju medan perang sekarang. Duryodhana menemui kakeknya, Bhisma. Bhisma meletakkan tangan tuanya di atas kepala Durydhana yang bersujud di hadapannya dan berkata: ”Anakku, jangan menyesali kematian Radheya, ini memang harus terjadi. Ia adalah seorang Ksatriya dan ia mati selayaknya seorang Ksatriya”.
Duryodhana tercengang mendengarnya, jadi firasatnya selama ini bahwa Radheya adalah seorang Ksatriya benar adanya. Duryodhana meminta Bhisma menceritakan semuanya tentang diri Radheya dan siapa dirinya. Bhisma akhirnya menceritakan semua tentang Radheya, yang sebenarnya Radheya tidak mau siapapun orang yang tahu kecuali ia telah mati. Bhisma mengingatkan Duryodhana agar menjaga rahasia itu dan bersiap untuk terkejut.
Bhisma berkata, ”sahabatmu itu bukanlah Radheya tetapi ia adalah Kaunteya”. Duryodhan begitu terkejut mendengarnya.
Duryodhana bertanya sekali lagi, ” Apa? Kaunteya! Apakah Pandava adalah saudara Radheya? Katakan padaku semuanya kakek”.
Bhisma menceritakan semuanya pada Duryodhana, tentang cerita yang menyedihkan yang terjadi pada hidup Radheya. Ia bercerita tentang dewa matahari yang mendatangi Kunti, tentang kotak kayu dan Atiratha yang menemukan kotak itu.
Ia juga bercerita tentang Radheya, bagaimana ia memutuskan memakai nama itu seumur hidupnya. Bhisma memberitahu tentang dua cinta dalam hidup Radheya: cinta pada Radha, ibunya dan cintanya pada Duryodhana. Duryodhana mendengarkan semua tentang bagaimana cintanya Radheya pada dirinya.
Duryodhana duduk terdiam, air matanya berlinang. Dengan suara parau ia berkata: ” Radheya tahu tentang semua ini, tapi ia tidak mau membela saudaranya karena ia sangat mencintaiku. Tuhan mangapa aku tak mati saja, aku tak bisa hidup tanpa sahabat yang begitu mencintaiku. Radheya tunggulah aku akan segera menyusulmu”.
Duryodhana berdiri dan melangkah dengan pasti. Ia kini hanya menginginkan satu hal, kematian. Ia ia hanya ingin berbagi dengan sahabatnya. ”Aku akan mempersiapkan kematianku, aku akan mati selayaknya Ksatriya, kau akan bangga padaku kakek”. Ia berjalan tanpa menoleh lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H