Mohon tunggu...
Yoanda Suastanti
Yoanda Suastanti Mohon Tunggu... Buruh - saya

selalu ada jalan untuk orang-orang yang masih menggenggam harapan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Dadu

1 Juni 2023   21:31 Diperbarui: 1 Juni 2023   21:32 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PEREMPUAN DADU

Perempuan ini bernama Latifa. Tifa begitulah ia dikenal sebagai perempuan dadu karena di tangannya selalu menggenggam dadu. Ia merupakan perempuan pemalu, istri yang manut, tetangga yang tidak pernah mengomentari atau marah pada tetangga lainnya, menantu yang kalem, adem dan tentram. Ia juga anak yang berbakti dan tak banyak menuntut, dia juga merupakan ibu yang selalu menyediakan segala kebutuhan anaknya. Namun, belakangan ini ia selalu membawa dadu kemana-mana. Ia hanya menggenggamnya diam, ia juga tak akan menjawab jika ada orang yang bertanya mengapa ia selalu membawa dadu kemana-mana, untuk apa dadu itu, dan dari mana ia mendapatkan dadu itu?

            Tifa tak pernah tersenyum, bahkan pada anaknya sendiri, apalagi pada suaminya. Ia tak pernah mendesah kala suaminya menjamah tubuhnya yang kurus kerontang, ia tak pernah menjerit kala tangan kekar sang suami mengelus lehernya kasar, atau menampar pipinya yang tirus dengan kulit yang semakin mengkerut entah dimakan usia atau pikirannya. Ia semakin tua diusianya yang ke 35 tahun. Anaknya yang seorang itu sudah 18 tahun, sikapnya tak ubah seperti bapaknya yang dungu. Tifa tak pernah mengeluh dengan kelakuan anaknya yang lebih dungu dari bapaknya. Baginya pekerjaan rumah merupakan hiburan, tak ada musik koplo di radio, tak ada acara gossip di tv, tak pula tifa senang dengan aktivitas ibu-ibu yang hobi bergosip, senam dan arisan. Hiburanya hanya pekerjaan rumah dan dadu yang selalu ia bawa kemana-mana.

            Suatu hari ibu mertuanya yang cerewet itu datang menginap tiga hari di rumahnya. Mertuanya itu sering mengunjungi suaminya yang merupakan anak laki-laki satu-satunya yang ia miliki meskipun ia memiliki 8 orang anak perempuan. Ibu mertuanya selalu mengatakan '' Kau Tifa, sudah seharusnya kau bersyukur banyak-banyak karena kunikahkan kau dengan anakku. Jadi, jangan banyak menuntut ini dan itu, sudah punya anak hanya satu apa kau tidak bisa memberikan anak lagi? Kalau kau tidak bisa, biarkan suamimu ambil istri baru.''.

Awalnya hati Tifa sungguh sakit, berbagi ranjang dengan peremuan lain membuatnya merasa ketakutan, apakah suaminya akan membuangnya dan ia akan jadi janda lalu ditertawakan tetangganya yang bermulut besar itu? Lalu bagaimana dengan dirinya? Ia melempar dadu di atas meja dan terlihat titik dua di dadu itu, Tifa mengerti lalu memasukan lagi dadu itu ke kantung dasternya yang lusuh itu. Ibu mertuanya hanya geleng kepala melihat apa yang dilakukan Tifa. Tifa tak pernah menjawab apapun pertanyaan ibu mertuanya selain pekerjaan rumah.

            Ayah mertuanya yang seorang pensiunan itu selalu diam. Ia akan menyeret Tifa jika ada perlu dan ibu mertuanya seolah tak mau tau. Dulu Tifa selalu merasa cemas kala mertuanya datang berkunjung namun tak ada yang dapat ia lakukan, bicara pada suaminya pun percuma. Tubuh ayah mertuanya yang tinggi besar itu seolah dapat memakan Tifa yang kurus kering kerontang. Ayah mertuanya selalu berkata di depan anaknya bahwa tubuh Tifa tidak membuat lelaki bernafsu, Tifa hanya tertawa dalam hati tak berniat membela diri. Ia hanya akan manggut-manggut atau geleng-geleng kepala.

            Sore itu Tifa memainkan dadu di belakang rumahnya ditemani beberapa ekor ayam dan bebek, Tifa sudah mengasah pisau daging sejak kemarin. Pisau itu mengkilat dan semakin tajam. Tifa hanya fokus melempar dadunya, tiga kali dadunya mendapat enam titik. Tifa tersenyum lebar karena baru sore ini Tifa mendapat dadu paling beruntung, enam tiga kali. Di matanya terpancar kebahagiaan, urat-urat di lehernya mulai melemas, ia menggerak-gerakan pergelangan tangannya seolah sedang pemanasan. Kaki Tifa mulai menari-nari seperti artis India yang menari di bawah guyuran hujan. Semasa hidupnya, hanya saat sore ini ia merasa cantik. Rambut panjangnya yang ikal dan lengket ia gerai, semilir angin membantunya menari.

            Tifa tau setelah keributan panjang sore ini, hanya tinggal ayah mertuanya di rumah karena suami dan ibu mertuanya pergi kerumah sanak saudara yang Tifa tau adalah seorang janda. Mungkin suaminya akan dinikahkan dengan janda itu malam ini juga. Anak lelakinya yang seorang itu juga pergi dari rumah karena sudah ketahuan berselingkuh dengan istri ketiga pak RT, Tifa sungguh tak peduli. Tifa hanya ingin menari karena hari ini adalah hari pembebasannya. Ya, sang dadu mengatakan bahwa hari inilah saatnya.

     ''Tifa! Latifa! Kemari, bantu aku!" Ah, ayah mertuanya sudah memanggil, Tifa tertawa terbahak-bahak entah apa yang Tifa tertawakan. Tifa lantas sudah siap dengan semua yang ia rencanakan selama beberapa tahun sejak ia menggenggam dadu itu. Tifa segera berjalan sambil menari kecil dan bersenandung penuh bahagia. Di tangan kanannya ia menggenggam pisau daging, di tangan kirinya ia menggenggam dadu. Ia ciumi dadu itu lalu mengetuk kamar mandi di mana sang ayah mertua sudah menunggunya.

            Dan ketika ayah mertuanya muncul dibalik pintu dengan telanjang, Tifa tersenyum untuk pertama kalinya selama ia menjadi menantu, ayah mertuanya seolah terhipnotis oleh senyum Tifa. Sebelum ayahnya bicara, Tifa mengayunkan pisau daging itu dengan indah kearah tubuh sang ayah mertua yang meraung kesakitan dan meminta pengampunan. Tifa tertawa, ekspresi puas terpancar dari wajahnya. Tifa menyayat nadi di leher dan tangan sang ayah mertua, lalu menyayat kemaluannya, Tifa juga merobek mulut yang selalu mengatakan bahwa tubuhnya tak membuat lelaki manapun bergairah hingga ayah mertuanya mati kehabisan darah. Kini dapur dan kamar mandi berlantaikan darah.

            Ketika ibu mertuanya pulang, Tifa bergegas mencuci tangan yang berlumuran darah itu, lalu mengambilkan air untuk ibu mertua dan suaminya dan bergegas. Tak lupa membawa pisau daging di atas nampan bersama air untuk suami dan ibu mertuanya. Saat ibu mertuanya minum, Tifa menebas leher ibu mertuanya hingga sekarat. Suaminya mencoba lari namun tak berhasil, justru suaminya lah sang target utama. Tifa yang sedang berbahagia itu tidak telah menunggu 18 tahun lamanya untuk membuat luka-luka indah di tubuh suaminya. Sejak kelahiran anak pertamanya Tifa berjanji bahwa hari ini akan tiba. Tifa tertawa melihat mereka meraung-raung kesakitan meminta pengampunan. Ia tak peduli pada sang ibu mertua yang matanya seperti akan terpental dari tengkoraknya dan suaranya seperti suara suaminya yang ngorok ketika tidur. Darahnya mengalir dengan tenang dari lehernya, ibu mertuanya kini memohon segera mengakhiri penderitaan ini, namun jelas Tifa tak sudi.

            Atensi Tifa hanya teruju pada sang suami yang berteriak ''Ampuni aku Tifa, kau istriku paling baik. Tolong ampuni aku dan biarkan aku hidup.'' Suaminya meraung-raung kesakitan karena sayatan demi sayatan di tubuh sang suami, Tifa menikmatinya seperti sedang melukis. ''Ah, tidak asik. Ku pikir hari ini akan ada perlawanan yang sepadan, ternyata kau hanya pengecut suamiku. Selalu jadi pengecut.'' Ucap Tifa dengan nada menggoda. Suaminya tak mampu melawan karena dengkulnya ditebas oleh tifa dan kedua tanganya terluka parah karena melindungi kepalanya dari serangan Tifa yang bertubi-tubi itu. Kini wajah dan kemaluanya dipenuhi sayatan, Tifa puas sekali.

''Kau suamiku, tau kah kau bahwa aku sudah menunggu saat-saat ini? Tapi daduku baru memberiku keberuntungan tadi sore. Kau ingin menikah dengan janda simpananmu itu? Karena menurutmu aku tak mampu memberikanmu anak lebih banyak? Hahahaha! Kau hanya pria impoten, lemah dan pengecut. Kau  tau kau tak bisa membuahiku lantas kau lampiaskan amarahmu padaku di atas ranjang seolah kau berkuasa dan gagah padahal tak kau miliki sedikit pun kemampuan dan kau menyalahkan aku atas ketidakmampuanmu! Padahal kata-kata ayahmu hanya omong kosong, dia menjamahku memperkosaku setiap ia datang kerumah ini, kau pikir anak itu adalah anakmu? Kasihan sekali kau membesarkan adikmu sendiri. Keluarga bajingan tak tau malu! Bahkan ibumu tau semua kebejatan ayahmu yang kau banggakan itu, ya dia tak ubahnya sampah! Sekarang nikmati kematianmu, perlahan, sedikit demi sedikit karena aku tak akan memberikannya dengan mudah!'' Kini rumah perempuan dadu berlantaikan darah, dipenuhi tawa puas, raungan dan teriakan meminta pengampunan, tapi wanita ini sudah kebas hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun