Atensi Tifa hanya teruju pada sang suami yang berteriak ''Ampuni aku Tifa, kau istriku paling baik. Tolong ampuni aku dan biarkan aku hidup.'' Suaminya meraung-raung kesakitan karena sayatan demi sayatan di tubuh sang suami, Tifa menikmatinya seperti sedang melukis. ''Ah, tidak asik. Ku pikir hari ini akan ada perlawanan yang sepadan, ternyata kau hanya pengecut suamiku. Selalu jadi pengecut.'' Ucap Tifa dengan nada menggoda. Suaminya tak mampu melawan karena dengkulnya ditebas oleh tifa dan kedua tanganya terluka parah karena melindungi kepalanya dari serangan Tifa yang bertubi-tubi itu. Kini wajah dan kemaluanya dipenuhi sayatan, Tifa puas sekali.
''Kau suamiku, tau kah kau bahwa aku sudah menunggu saat-saat ini? Tapi daduku baru memberiku keberuntungan tadi sore. Kau ingin menikah dengan janda simpananmu itu? Karena menurutmu aku tak mampu memberikanmu anak lebih banyak? Hahahaha! Kau hanya pria impoten, lemah dan pengecut. Kau  tau kau tak bisa membuahiku lantas kau lampiaskan amarahmu padaku di atas ranjang seolah kau berkuasa dan gagah padahal tak kau miliki sedikit pun kemampuan dan kau menyalahkan aku atas ketidakmampuanmu! Padahal kata-kata ayahmu hanya omong kosong, dia menjamahku memperkosaku setiap ia datang kerumah ini, kau pikir anak itu adalah anakmu? Kasihan sekali kau membesarkan adikmu sendiri. Keluarga bajingan tak tau malu! Bahkan ibumu tau semua kebejatan ayahmu yang kau banggakan itu, ya dia tak ubahnya sampah! Sekarang nikmati kematianmu, perlahan, sedikit demi sedikit karena aku tak akan memberikannya dengan mudah!'' Kini rumah perempuan dadu berlantaikan darah, dipenuhi tawa puas, raungan dan teriakan meminta pengampunan, tapi wanita ini sudah kebas hatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H