Mohon tunggu...
wacana_rakyat
wacana_rakyat Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Money

Ekonomi Indonesia dalam Perspektif Aswaja

18 Juli 2022   15:41 Diperbarui: 18 Juli 2022   15:50 1799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soeharto  dan Gus Dur (Gambar Kompas.com)

 Aswaja Sebagai Metode

              Ahlusunnah Waljamaah atau disingkat Aswaja merupakan aliran pemikiran dalam Islam terutama berkaitan dengan akidah, fiqih dan tasawuf. Islam kala itu terpecah menjadi beberapa golongan, ada golongan rasionalis dan juga ada golongan tradisonal, ada golongan liberalis dan ada juga golongan fundamentalis. Akibat dari perbedaan aliran pemikiran tersebut kemudian munculah beberapa golongan yang kita kenal sebagai Qodariyah, Jabariyah, Mu'tazilah, Khawarij, Murji'ah dan masih banyak lagi.

            Aswaja lahir dari  banyaknya pemikiran tersebut, terutama dari aliran pemikiran golongan Mu'tazilah yang terlalu mengedepankan akal, sehingga segala sesuatu diserahkan kepada Allah SWT, yang dalam hal ini kurang melibatkan akal atau pengetahuan manusia. Aswaja menurut saya adalah sintesis (kesimpulan) dari berbagai pemikiran tersebut, baik dalam akidah, fiqih maupun tasawuf. 

            Aswaja adalah golongan terbesar dari umat Islam yang mengaku sebagai pengikut dari Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dalam hal akidahnya. Hal ini seperti dituliskan oleh Syekh Murtadha Az-Zabidi dalam syarah kitab Ihya Ulumudin karya Imam Al-Ghozali. Ia mengatakan ketika diucapkan istilah Ahlusunnah Waljamaah, maka maksudnya adalah para pengikut Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi. Sementara itu dalam fiqihnya, Aswaja bermazhab kepada empat iman yaitu Hanafi, Maliki, Hanbali dan Imam Syafi'i. Sedangkan dalam tasawufnya bermazhab kepada Imam Junaedi Al-Baghdadi dan Al-Ghozali. 

         Sebenarnya, perbedaan dalam akidah, fqih dan tasawuf tidaklah terlalu esensi, karena perbedaan itu adalah anugerah, tinggal bagaimana kita memaknai perbedaan tersebut. Selama kita bisa berdampingan, saling menghargai, dan tidak mengganggu satu sama lain perbedaan itu tidaklah menjadi masalah. Tapi memang tidak terbantahkan, karena perbedaan itu sendiri juga seringkali menjadi sumber penyebab konflik. Disinilah kita perlunya metode berpikir dan bertindak, yang alam Aswaja disebut Manhajul Fikr dan Harokah.

          Nursayid Santoso Kristeva dalam bukunya Materi Kaderisasi Awal PMII, mengungkapkan bahwa Manhajul Fikr dan Manhajul Harokah itu ada empat yaitu tawasuth (moderat),  tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan taadul (adil). Keempat point ini adalah metode dalam berpikir maupun dalam berbuat, keduanya harus didasarkan pada prinsip-prinsip ini. Metode ini hingga saat ini menjadi dasar untuk menciptakan kehidupan yang selaras baik dalam kehidupan berbangsa maupun bernegara. Sebagai sebuah metode maka prinsip pemikiran ini bisa dijadikan epistemologi dalam menjawab berbagai persoalan termasuk persaolan ekonomi.

          Di Indonesia, ketika kita mendengar kata Aswaja maka pikiran kita langsung ke Nahdlatul Ulama (NU), kenapa? karena NU-lah yang secara konsisten mendakwahkan Aswaja bahkan dari sebelum kemerdekaan hingga sekarang. Meski demikian, timbul sebuah pertanyaan apakah hanya NU yang Aswaja,? Menurut saya tidak! karena NU hanyalah organisasi, atau alat bagi mereka yang saat itu memiliki satu pemikiran dan perjuangan. Namun, hingga saat ini NU masih tetap eksis, hal ini karena nilai-nilai seperti yang disebutkan diatas selalu relevan dalam setiap perkembangan zaman.  

           NU memang memiliki corak pemikiran dan perjungan yang unik, itulah karakter dari organisasi ini. Semua itu tidak terlepas dari nilai-nilai yang selalu didakwahkan oleh organisasi ini, salah satunya berkaitan dengan keislaman, kebangsaan dan keindonesiaan, yang secara garis besar mencintai negara adalah hubul wathon minal iman dan menjadikan Islam bukan milik golongan tertentu, tetapi dalam kaitannya sosial yaitu hubungan manusia dengan manusia (habluminannas), adalah agama yang membawa cinta damai (rahmatan lilalamin). 

          Selama ini ketika berbicara Aswaja tidak lepas dari perbincangan mengenai keagamaan. Padahal apabila Aswaja dijadikan sebuah metode, ia akan menjadi alat untuk membedah berbagai aspek kehidupan. Maka hal yang selanjutnya setelah memahami apa itu Aswaja kita juga perlu mempertanyakan bagimana ekonomi Indonesia dipandang dalam kacamata Aswaja. Nah, disini saya tidak akan membahas aswaja dalam ruang lingkup keagamaan seperti akidah, fiqih dan tasawuf, tetapi akan membahas Aswaja dan ekonomi. Saya ingin mengungkapkan sebuah sudut pandang  bahwa Aswaja tidak hanya dijadikan metode bagaimana menjalani kehidupan dalam beragama, tetapi Aswaja juga membentuk sebuah metode berfikir tentang konsep ekonomi dalam suatu negara.

           Aswaja sebagai Manhajul Fikr dan Manhajul Harokah, memang mempertegas dalam dalam bermazhab seperti dalam akidah, fiqih maupun tasawuf. Tetapi tidak terbatas dalam ruang lingkup keagamaan saja, melainkan juga termasuk dalam aspek ekonomi. Aswaja menurut saya perlu dipandang sebagai Manhaj atau metode, bukan sekedar bermazhab.  Manhaj artinya cara berpikir atau metode berpikir, sedangkan mazhab cukup mengikuti pada suatu aliran. Aswaja membeolahkan kita untuk berijtihad, yaitu melakukan pengalian terhadap hukum, meskipun  sebagain golongan menganggap bahwa pintu ijtihad telah ditutup (lihat sejarah dinamika hukum sosial dalam Islam soal masih dibuka dan ditutupnya pintu ijtihad).

          Banyak orang juga yang terjebak dalam memahami Aswaja karena hanya sebatas memahaminya sebagai mazhab, sehingga yang terjadi adalah kemandekan berpikit, sehingga tidak kurang memiliki nalar kritis serta sulit untuk menemukan ide -ide baru yang disesuaikannya dengan perkembangan zaman seperti saat ini. Mungkin ini memang membtuhkan keluasan berpikir, tapi terdapat seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai guru bangsa, yang  memberikan contoh bagaimana Aswaja sebagai metode dan dijadikan cara pandang terhdap konsep ekonomi.

Demam Syari'at dan Kapitalisme

          Aswaja sebagai sebuah metode berpikir terlihat dalam gagasan  dari mantan Presiden Rapublik Indonesia yang keempat yaitu Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur. Memang banyak orang yang menilai tentang keluasan cara berpikir Gus Dur. Masyarakat Indonesia sendiri tidak sampai pada pemahaman Gus Dur sehingga banyak ide Gus Dur yang menkontraversikannya, padahal bukan Gus Dur yang tidak memahaminya tetapi masyarakat Indonesia lah yang pada saat itu kurang memiliki keluasan berpikir, sehingga tidak bisa memahami cara berpikir Gus Dur yang merupakan cucu dari KH Hasyim Asyari itu. 

          Seperti dikatakan Ahmadani tentang Gus Dur, masyarakat Indonesia terlalu dini untuk memahami pikiran Gus Dur. Saya sepakat, dengan pernyataan tersebut, gagasan-gagasan Gus Dur memang terlalu dalam sehingga nalar pikiran masyarakat Indonesia tidak sampai, bahkan yang mengaku Aswaja sendiri itu pun tidak bisa memahami jalan pikirannya. Kenapa? Pertama, mereka memahaminya Aswaja sebatas Mazhab, umpanya karena Gus Dur ini NU dan NU sudah pasti Aswaja. Kedua, masih banyak orang yang belum memahami Aswaja sebagai metode berpikir, sehingga kebanyakan Aswaja selalu dipandang dalam hal kelembagaan keagamaan dan kemasyarakatan.

          Tokoh yang memahami ekonomi Indonesia dalam perspektif Aswaja, menurut saya adalah Gus Dur, oleh karena itu penting bagi kita untuk terus belajar dari karya-karyanya, bukan hanya sekedar melembagakan namanya, melainkan memahami cara berpikirnya. Gus Dur pernah menulis sebuah kolom berjudul "Antara Demam Syareat dan Kapitalisasi" seperti yang saya tulis kembali dalam sub judul pada pembahasan ini. Tulisan ini menurut saya adalah contoh pemahaman beliau tetang bagaimana ekonomi Indonesia dipandang dalam perspektif Aswaja.

          Dalam konteks ekonomi-politik, Gus Dur menolak implikasi terhdap ideologisasi, formalisasi, dan politisasi Islam sebagai syare'at (jalan atau petunjuk umat manusia). Seperti dikutip dari buku yang berjudul Islamku Islam Anda dan Islam Kita Semua, Gus Dur mengungkapkan, menurutnya gagasan ekonomi Islam terlalu memfokuskan pada aspek-aspek normatif dan kurang mempedulikan aplikasinya dalam praktek, yang padahal diperlukan dalam implementasi nilai-nilai tersebut dalam masyarakat. Fokus kajian ekonomi Islam menurut Gus Dur, lebih banyak diarahkan pada persoalan sekitar bunga bank, asuransi, dan sejenisnya.  Bagi Gus Dur, prinsip ekonomi Islam adalah pendekatan parsial yang memanfaatkan kata Islam sebagai predikat atau simbol saja. Padahal, menurutnya yang terpenting bukanlah nama atau simbol itu sendiri, tetapi subtansinya.

          Berdasarkan kutipan tersebut, terlihat bagimana Gus Dur memandang ekonomi Indonesia dalam persepktif Aswaja. Dalam persepktif Aswaja ekonomi tidak dipandang sebagai simbol-simbol tertentu yang menggunakan kata Islam, tetapi ekonomi dalam perspektif Aswaja haruslah dilihat dalam implementasinya. Untuk itu dalam konteksnya Indonesia, Aswaja memandang bahwa ekonomi harus didasarkan pada ekonomi kerakyatan yakni: Pertama, dalam konsepsi Islam, orientasi ekonomi haruslah memperjuangkan nasib rakyat kecil, serta kesejahteraan rakyat banyak. Kedua, mekanisme yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan itu tidaklah ditentukan format, dan bentuknya.

          Untuk itu, acuan dan praktek dan perdagangan bebas dan efisiensi yang dibawa oleh sistem kapitalisme juga tidaklah bertentangan dengan Islam, karena Islam sendiri mengajarkan fastabiqul al khairat (berlomba dalam kebaikan). Bahkan dalam persaingan dan perlombaan yang sehat, akan dihasilkan kreatifitas dan efisiensi yang justeru menjadi inti dari praktek ekonomi yang sehat pula. Mungkin banyak yang menolak kapitalisme, karena kapitalisme hanya akan menciptakan kelas-kelas sosial, dan kelas atas (pemodal) yang dapat menindas masyarakat kecil.  Dalam perpsektif Aswaja, kapitalisme tidaklah dipandang seperti apa yang dikatakan Karl Marx, Aswaja memandang bahwa ekonomi Indonesia haruslah dijalankan dengan prinsip keseimbangan. Keseimbangan dalam Aswaja disebut tawazun (berimbang). Contohnya seimbang dalam teori dan praktek antara politik dan ekonomi.

Equilibrium

          Mengenai keseimbangan yang disebut dalam Aswaja tawazun (berimbang) bukan hanya dalam konteks aliran pemikiran antara Qodariah atau Jabariyah. Jika dihadapkan dua aliran yang saling bertentangan maka Aswaja memilih jalan tengah (moderat). Sama halnya dalam aliran pemikiran yang kita kenal Islam ekstrimis dan Islam liberal. Dari kedua aliran pemikiran ini maka kita juga mengambil aliran moderat, artinya mengambil jalan tengah agar menciptakan keseimbangan. Dalam konteksnya ekonomi Indonesia pun demikian, dinamika ekonomi Indonesia dihadapkan oleh dua hal yang tarik menarik yaitu politik dan ekonomi dan keduanya haruslah berjalan seimbang.

          Tapi dalam sejarah perjalanan Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno pernah mengalami ketidakseimbangan tersebut, seperti dikatakan oleh Prof. Dr. Emil Salim dalam bukunya Boediono berjudul Ekonomi Indonesia, pada masa ketika kekuatan politik dominan dan ekonomi tersubordinasikan di bawahnya, seperti dimasa "Ekonomi Terpimpin" Orde lama. Ada masa ketika kekuatan ekonomi dominan dan politik tersubordinasikan dibawahnya, seperti dipermulaan masa Orde Baru. Dari orde lama ke orde masa orde baru keduanya tidak seimbang, sehingga akhirnya menjadi ketegangan yang disimpukan dengan reformasi 1998.

          Menjaga keseimbangan sangatlah penting agar Indonesia tidak jatuh. Indonesia kalau boleh saya ibaratkan seperti naik sepeda, untuk berjalan ia harus seimbang, atau seperti kita berjalan untuk berdiri dengan kuat kita harus memiliki dua kaki agar seimbang. Mengenai hal ini, dalam ilmu ekonomi ini disebut sebagai equilibrium. Prof. Dr. Boediono dalam tidak melenceng terlalu jauh satu sama lain (Boediono hal. 272). Selanjutnya Boediono menyimpulkan dengan menganalogikannya bagaikan bandul yang terayun antara dua tonggak ekonomi dan politik, sejarah pembangunan ekonomi berlangsung ditarik dan didorong oleh kekuatan yang lahir dan tumbuh dalam masyarakat menuju equilibrium (dalam Aswaja disebut tawazun) antara aspirasi ekonomi dan politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun