Mohon tunggu...
wacana_rakyat
wacana_rakyat Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Financial

Utang Pemerintah, Siapa yang Terbebani?

12 Juli 2022   12:13 Diperbarui: 12 Juli 2022   12:14 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah utang pemerintah bukan soal perkara masih batas wajar atau tidak, tetapi kita harus melihat dampak dari utang tersebut, karena ketika berbicara masalah utang maka dimasa yang akan datang akan menjadi beban pelunasan berupa cicilan pokok beserta bunganya. Selain itu utang pemerintah juga berdampak segala aspek diantaranya pajak, dan BBM yang sudah dirasakan masyarakat saat ini.

Mengenai beban utang, menurut saya kita perlu belajar dari sejarah pada masa kolonial Belanda di Indonesia. Sebelum Belanda menanamkan kekuasaan secara politik Belanda membuat sebuah kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). VOC pada waktu itu memiliki utang banyak, sehingga untuk menutupinya VOC membebankannya pada rakyat.

Untuk melunasi utang-utangnya tersebut, Belanda kemudian memberlakukan sistem tanam paksa dengan cara mendorong produktivitas pertanian yang yang disebut sebagai cultur stelsel ( Van De Bos tahun 1830 hingga 1870an). Belanda juga menaikan pajak yang memberatkan untuk menutupi semua utang-utangnya.

Dalam konteksnya sekarang tentu tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan pada masa kolonial Belanda dulu, ada kemiripan. Utang negara muncul akibat dari belanja negara yang membengkak sedangkan penerimaan negara tidak bertambah, maka pilihan logis untuk menutupi belanja tersebut yakni dengan berutang.

Kita tahu bahwa sumber pendapatan terbesar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu berasal dari pajak. Dominasi penerimaan merupakan satu hal yang sangat wajar, sumber penerimaan ini mempunyai umur tidak terbatas, terlebih dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Pajak memiliki peran yang sangat besar dan semakin diandalkan untuk kepentingan pembangunan dan pemgeluaran pemerintah. Hal ini seperti dikatakan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Perpajakan Puspita bahwa penerimaan pajak hampir 73 persen dari total penerimaan negara. Sisanya didapatkan dari penerimaan bea dan cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah.

Selain itu, penerimaan negara tersebut tidak hanya disalurkan di pemerintah pusat namun juga ke daerah. Dikutip dari pajakku.com, terhitung sebanyak Rp826,8 triliun dari belanja negara berupa transfer ke daerah dan dana desa. Dana tersebut akan ditujukan untuk pembangunan daerah.

Kepatuhan Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya akan meningkatkan penerimaan negara dan akan meningkatkan besarnya rasio pajak. Pasalnya, dengan peningkatan kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak, maka pemerintah bisa berupaya menekan utang negara. Tak hanya itu pemerintah juga akan menaikan tarif pajak agar pendapatan negara mencapai target.

Melalui kebijakan menaikan tarif pajak tentu kita bisa melihat bahwa pada akhirnya disadari atau tidak, baik secara langsung maupun tidak secara langsung, utang pemerintah dibebankan kepada rakyat bak zaman VOC. Seperti diketahui pemerintah telah menaikan pajak berupa PPN, PPH dan cukai rokok sejak April 2022 kemarin.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik dari 10 persen menjadi 11 persen. Bahkan, seperti dikutip dari pajakku.com, pada tahun 2025 mendatang PPN juga akan dinaikan menjadi 12 persen. PPH juga naik untuk mereka yang memiliki penghasilan diatas 5 miliar yaitu sebesar 5% yang awalnya 30% menjadi 35%.  
 
Selanjutnya adalah cukai rokok. Saat ini harga rokok nyaris terus naik, hal ini tentu dikarenakan naiknya cukai rokok sejak 1 Januari 2022. Taris cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) naik sebesar 12%.
Tarif cukai yang naik ini menyebabkan harga jual eceran (HJE) untuk rokok mengalami kenaikan juga. Harga rokok per bungkusnya paling tinggi menjadi Rp 40.100/bungkus yang isinya 20 batang. Sedangkan SKM golongan I, harganya paling tinggi sebesar Rp 38.100/bungkus.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani kenaikan cukai rokok akan berkontribusi terhadap penurunan produksi rokok sebesar 3 persen. Kenaikan cukai rokok juga bertujuan untuk menurunkan prevalensi perokok usia anak/dewasa jadi 8,83 persen dari 8,7 persen RPJMN tahun 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun