Kurikulum merdeka secara makna dan prinsipil sudah pernah digagas oleh tokoh pendidikan kita yakni KH Dewantara, tapi ia tidak mengatakan istilahnya.Â
KH Dewantara seperti disebutkan dalam buku Nusayid Santoso Kristeva mengungkapkan bahwa dalam belajar seseorang harus memiliki tiga prinsip; pertama berdiri sendiri; kedua, tidak tergantung pada orang lain; dan ketiga mampu mengatur dirinya sendiri.Â
Gagasan ini adalah gagasan merdeka dalam belajar. Itu barangkali mungkin sedikit mirip dengan panca azimat revolusinya Soekarno; berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi serta berkepribadian dan berkebudayaan.
Ya, ketiga prinsip yang dikemukakan tokoh pendidikan kita diatas mengandung gagasan kurikulum merdeka, yang dimana jika kita kaitan dengan tugas guru, disini guru berfungsi membantu siswa untuk belajar mandiri, mampu mengatur dirinya sendiri dan tidak tergantung pada orang lain. Merdeka dalam pendidikan artinya kemandirian dalam belajar.Â
Seseorang yang memiliki kemandirian dalam belajar tentu ia akan bisa menentukan arah dan memiliki manajemen sendiri dalam belajar, karena ia lebih mengetahui apa yang ia sukai atau dirinya minati.Â
Kita tidak bisa memaksakan seseorang untuk memakan nasi jika orang tersebut tidak menyukainya, begitupun dengan belajar, maka guru harus menemukan itu dalam diri siswa. Seseorang yang mandiri jikalau pun tidak ada guru ia akan belajar sendiri, itulah yang dinamakan mandiri belajar. Lalu bagaimana peran guru?
Tugas guru yang paling utama seperti dikatakan oleh Paulo Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, adalah menumbuhkan kesadaran kritis kepada siswa bahwa dirinya harus mandiri belajar yaitu kemudian memanfaatkan fasilitas dan sumber belajar yang ada.Â
Hal ini dikarenakan menurut pengamatan saya, sarana pendidikan saja tidak cukup, umpamanya pemerintah terus memberikan bantuan berupa fasilitas pendidikan seperti alat praga, komputer, dan lain sebagainya, tapi menurut saya tetap kurang begitu memberikan pengaruh signifikan terhadap kemajuan pendidikan kita. Kenapa?  karena  tidak adanya kesadaran belajar.Â
Oleh karena itu untuk menciptakan kesadaran itu, seorang guru juga harus bersama-sama belajar belajar bersama siswa, objeknya bukan siswa atau guru bertugas mencerdaskan siswa, bukan seperti itu, tetapi guru dan siswa sama-sama belajar untuk memecahkan permasalahan yang ada, guru lebih berperan memberikan kesadaran kritis dan dialogis. Pembelajaran seperti itu, disebut pendekatan humanis, dimana guru dan siswa sama-sama menjadi subyek dalam pembelajaran.
Prinsip berikutnya adalah berdiri sendiri, disini jelas memberikan gambaran arti sebuah merdeka belajar. Dalam konteksnya pembelajaran, seorang siswa berhak menentukan materi apa yang ia minati dan sukai. Sehingga tugas guru dalam hal ini membantu siswa menemukan bakat dan minatnya.Â
Baik siswa maupun mahasiswa pada dasarnya tidak bisa dijadikan seperti sebuah Bankir yang setiap saat bisa diisi oleh dosennya. Mengenai persoalan ini, saya pernah menulis artikel dengan judul mahasiswa dan Dosen Absoultisme. Tema tersebut sebenarnya adalah keresahan saya ketika kuliah.Â