Oleh: Suardi
Pernyataan istilah intelektual dalam organisasi yaitu organisasi kemahasiswaan sering disebut dengan organisasi kaum intelektual. Bagi saya, intelektual adalah julukan bagi mereka yang  memiliki latar belakang pendidikan dan memahami suatu ilmu pengetahuan tertentu.
Sebagaimana diungkapkan oleh Siswanto Masruri, kaum intelektual adalah orang-orang yang dengan atau latar belakang pendidikan tertentu mampu menciptakan, memahami suatu ilmu pengetahuan dan menerapkannya dalam bentuk pemikiran atau ide, dalam berbagai aspek kehidupan.
Seorang intelektual haruslah memegang teguh nilai-nilai kebenaran dan idealisme, dengan kata lain seperti diungkapkan Julien Benda dalam bukunya _Tras Hison des Clercs_ para intelektual haruslah mereka yang pada dasar aktivitasnya tidak untuk mencapai tujuan-tujuan praktis.Â
Namun, mengenai hal tersebut, Anas Urbaningrum dalam buku yang berjudul Lafran Pane: Jejak Hayat dan Pemikiran karya Hariqo Wibawa Satria justeru  mengungkapkan garis intelektual, organisasi dan politik dapat memunculkan masalah orientasi.
Menurut  Urbaningrum, ketika garis politik menjadi menastream (arus utama), maka dinamika akademis-intelektual menjadi menyempit. Sebaliknya, ketika garis intelektual menjadi menastream, terlihat bahwa kecerdasan dan ketajaman politik organisasi tidak pernah tumpul.Â
Melihat gejala tersebut, Anas mengatakan bahwa tanpa harus mendikotomikan antara garis politik dan intelektual, terlihat beberapa kelemahan orientasi politik yang terlalu maju bagi organisasi kemahasiswaan.Â
Pertama, orientasi politik dapat mendekatkan gerak dinamik organisasi pada sikap dan perilaku pragmatis. Hal ini mengakibatkan menguatnya peribangan-perimbangan praktis dalam dinamika organisasi. Â
Kedua, orientasi politik cenderung membawa pada kondisi yang biasa disebut sebagai oligarki organisasi. Terjadinya kecenderungan elitisme yang sukar dihindari.Â
Ketiga, orientasi politik cenderung lebih menguntungkan organisasi dalam arti personal dan sebaliknya memperkecil keuntungan dan kemanfaatan organisasi dalam makna institusi.Â
Keempat, orientasi politik cenderung berlebihan melakukan akomodasi dan penyesuaian terhadap dinamika dan kepentingan eksternal.Â
Akibatnya, aktualisasi diri dari semangat, etos dan nilai-nilai idealisme organisasi untuk ditawarkan kepada masyarakat menjadi terbatas.Â
Pusat perhatian organisasi adalah apa yang terjadi diluar dan bukan bagaimana potensi internal digali semaksimal mungkin untuk disumbangkan kepada masyarakat.Â
Selanjutnya kelima, orientasi politik secara internal akan memperluas wajah konflik yang produksinya adalah menang dan kalah. Hal demikian kata Anas akan mengobral energi organisasi untuk sesuatu yang ucapkali menjadi mubazir.Â
Kembali ke KhitohnyaÂ
Setelah membandingkan tarik menarik pengaruh antara garis politik dan garis intelektual, seperti yang dijelaskan di atas, maka mahasiswa perlu kembali pada khitohnya (hakekat) yaitu berorientasi kepada intelektual. Hal ini karena orientasi intelektual lebih memiliki dampak positif daripada orientasi politis.
Seperti diungkapka Anas Urbaningrum mengenai kelebihan dari orientasi intelektual. Anas mengatakan orientasi intelektual mempunyai keuntungan yang cukup mendasar bagi organisasi mahasiswa.Â
Pertama, orientasi intelektual akan membawa kesadaran para kader untuk berpikir jangka panjang. Hal ini membuka kesempatan bahkan mendorong lahirnya gagasan-gagasan cerdas dan visioner. Juga akan mendorong memunculkannya pemikiran yang intensif, strategis dan mendalam.Â
Kedua, orientasi intelektual mengajarkan gaya egalitarianisme, dan sikap terbuka, jujur dan demokratis.Â
Ketiga, orientasi intelektual akan cenderung membawa keuntungan bagi organisasi secara institusi dan sekaligus secara personal dan akan membangun kinerja organisasi menjadi lebih dinamis, akademis dan bervisi.
Keempat, orientasi intelektual akan lebih mampu mendorong proses eksplorasi dan aktualisasi semangat, etos dan nilai internal organisasi menjadi gagasan-gagasan cerdas, kemudian ditawarkan kepada masyarakat, umat, bangsa sehingga proses reproduksi gagasan, pemikiran menjadi terpacu.Â
Kelima, orientasi intelektual akan cenderung membawa konflik-konflik organisasi mahasiswa pada tempat yang bermanfaat.Â
Setelah kita memahami dua orientasi organisasi tersebut, selanjutnya kita harus bisa mengevaluasi keadaan organisasi kemahasiswaan secara realitas, apakah orientasi organisasi mahasiswa sekarang ke arah politik atau ke arah intelektual.Â
Dari perbandingan diatas setidaknya kita telah mengetahui bahwa organisasi haruslah berorientasi intelektual bukan hanya kepentingan politik semata. Intelektual bagi organisasi mahasiswa adalah jiwanya. Sehingga apabila aktivitas intelektual seperti budaya membaca dan diakusi hilang maka hilang pula lah jiwanya, akhirnya hanya pola pikir pragmatis yang ada dan orientasi politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H