Oleh: Suardi
Seba Baduy merupakan sebuah tradisi adat masyarakat baduy untuk menjalin silaturahim kepada pemerintah. Hubungan pemerintah dengan Baduy sudah terjalin lama, terutama sejak masa Presiden Soekarno (referensi berita.com). Seba Baduy dilakukan setiap satu tahun sekali dengan berjalan kaki mendatangi Bupati Lebak dan Gubernur Banten.
 Pada Seba Baduy 2022 kemarin, warga Baduy menyampaikan pesan atau amanah dari Puun kepada Ibu Gede alias Bupati dan Gubernur Banten. Secara garis besar warga Baduy meminta kepada pemerintah untuk menjaga kelestarian alam khususnya di wilyah Baduy. Hal ini sesuai dengan pandangan etika hidup mereka yaitu ngabaratapakeun mandala, disamping itu Seba Baduy juga merupakan ungkapan rasa syukur, karena mendapatkan hasil panen yang melimpah.
Dalam rangkaian acara Seba Baduy selain prosesi ritual sebagai inti acara, pemerintah juga menyelenggarakan ivent Seba Baduy yang digelar selama 3 hari dan resmi dibuka oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Lebak, Budi Santoso, di Alun-alun Rangkasbitung, pada Kamis 5 Mei 2022 dengan tema "Ngarumat Budaya Pikeun Indonesia Adidaya".
Pemerintah kabupaten Lebak meramu Seba Baduy 2022 tersebut dengan nuansa antara tradisional dan kreatifitas seni modern. Rangkaian acaranya diantaranya yakni pameran ekonomi kreatif, foto, dan lukisan baduy. Kemudian permainan tradisional; camping ground Seba Baduy, Wayang Golek, bincang budaya, hingga lomba foto on the spot. Dari kolaborasi acara tersebut Nampak terlihat bahwa Seba Baduy secara esensial menjadi bias sehingga banyak orang yang lebih melihat Seba Baduy sebagai tontonan bukan sebagai tuntunan.
Pembahasan mengenai Seba Baduy sebagai tuntunan haruslah berbicara fakta dan realita. Apakah nilai-nilai Seba Baduy sudah dijadikan oleh kita seabagai landasan untuk menjaga daerah kita. Mungkin setiap tahun kita menyaksikan Seba Baduy namun tingginya budaya Baduy menurut saya hanya sebatas menjadi tontonan semata tanpa mengimplementasikan tuntunan falsafah kehidupan sosial secara nyata.
Nilai-nilai dalam Seba Baduy tentu dapat dijadikan  landasan kultural dalam menentukan suatu kebijakan terutama kebijakan pembangunan yang melibatkan masyarakat dan lahan (tanah). Seperti diketahui Kabupaten Lebak saat ini sangat sensitif ketika berbicara lahan, sebagain lahan milik mayarakat di Kabupaten Lebak menjadi korban proyek strategis pembangunan, diantaranya seperti pembangnunan jalan tol.Â
Pembangunan memang baik tetapi sejauh mana dampak positif pembangunan terhadap masyarakat. Diawal pembangunan saja secara psikologis masyarakat banyak yang merasa takut, karena khawatir tanah. ladang dan rumah mereka yang ditaruhkan tidak sesuai dengan harga yang diinginkan. Apalagi jika proses negoisasi yang tidak menemui titik temu maka hal ini tentu semakin menjadi kekhawatiran timbullnya kekerasan dan ancaman.
Seba Baduy perlu kita makani Bersama, bahwa Seba Baduy bukanlah tontonan hanya tetapi tuntunan. Esensi dari Seba Baduy ini adalah bagaimana kita semua bisa mengimplementasikan nilai-nilai falsafahnya dalam kehidupan masyarakat khususnya berkaitan dengan menjaga kelestarian alam, tanah dan lingkungan sebagai tempat tinggal kita.Â
Etika Lingkungan Urang Kanekes
Pada Seba Baduy 2022 kemarin, warga baduy bermanah kepada pemerintah untuk menjaga kelestarian lingkungan di wilayah Baduy. Namun, persoalan lingkungan tentu saja tidak hanya berlaku bagi warga baduy saja melainkan berlaku bagi kita semua yang berada di wilayah Indonesia khususnya di Kabupaten Lebak. Pasalnya, berbicara lingkungan Kabupaten Lebak memerlukan pembenahan lingkungan. Disinilah perlunya mengambil Seba Baduy sebagai tuntunan bukan sekedar tontonan.
Etika lingkungan urang kanekes bersumber dari pandangan filsafati dan kebudayaannya. Secara umum, dasar etika lingkungan mereka juga dibangun dari dua sumber tersebut.Â
Dari aspek filosofis, seluruh pandangan filsafati dijadikan dasar seutuhnya oleh Urang Kanekes. Sedangkan secara kultural, setidaknya ada empat hal yang paling mendasar dari bangunan etika lingkungan mereka yaitu kanekes sebagai kabuyutan atau mandala yakni tempat yang disucikan: Urang Kanekes sebagai pemuja Nyi Pohaci Sanghyang; Urang Kenekes sebagai peladang padi lahan kering dan Urang Kanekes sebagai masyarakat yang taat pada tradisi karuhun (leluhur) (Dinas Kebudayaan Provinsi Banten, Bantenologi UIN SMH Banten, 2015:3-4).
Etika lingkungan urang kanekes terejawantah dalam bentuk norma-norma moralitas. Norma moralitas adalah aturan, standar atau ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Nomra-norma moralitas memandu Urang Kanekes dalam menentukan apa yang harus diperbuatnya.Â
Untuk yang bersifat kolektif norma-norma moralitas dijadikan rujukan oleh puun dalam menyikapi satu hal baru yang masuk kedalam kebudayaan kanekes. Contohnya ijtihad tiga puun dalam menyikapi penanaman pohon albasiah. Puun mengeluarkan fatwa bahwa pohon albasiah tidak boleh ditanam didalam tanah larangan dan urang tangtu tidak boleh menanamnya karena dipandang akan menodai kesucian sukma yang seharusnya mereka jaga.
Setidaknya ada lima norma dekat moralitas yang dipegang oleh Urang Kenekes terkait hubungannya dengan alam yaitu kesucian dengan skralitas alam dan kanekes sebagai unti jagat kesesuaian dengan kesucian sukma manusia yang harus dijaga, kesucian dengan adat dan kepercayaan karuhun (leluhur), prinsip kesederhanaan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam seperlunya. Dalam hal ini, Urang Kanekes tidak mengambil dan memanfaatkan kekayaan alamnya secara berlebihan. Dengan norma tersebut mereka menembang pohon sesuai dengan keperluannya saja.
Norma tersebutlah salah satunya yang kemudian dikembangkan menjadi seperangkat buyut (tabu) yang bersifat spesifik. Tabu itu sendiri memudahkan Urang Kanekes dan juga orang luar kanekes untuk melihat mana saja hal-hal dan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan mana saja yang diperbolehkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H