Mohon tunggu...
wacana_rakyat
wacana_rakyat Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aswaja Sebagai Manhajul Fikr dan Manhajul Harokah

20 April 2022   23:51 Diperbarui: 21 April 2022   00:06 12507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi berpikir (foto/its.ac.id)

Ahlusunnah Waljamaah atau disingkat Aswaja adalah sawadul a'zhom (golongan terbesar) dari umat manusia. Sampai saat ini, golongan terbesar umat Islam ini adalah pengikut Imam Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi. 

Oleh karena itu Sykeh Murtadha az-Zabidi dalam Syarah Kitab Ihya Ulumudin mengatakan: "Ketika diucapkan istilah Ahlusunnah Wal Jamaah, maka maksudnya adalah para pengikut Imam Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi," (Itihafus Sadah al-Mutaqin Syarah Ihya Ulumudin).

Aswaja mempertegas dalam bermazhab baik itu dalam akidah, fiqih maupun dalam tasawuf. Dalam mazhab fiqihnya, Aswaja mengikuti empat mazhab yaitu  Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'I dan Hanbali. Sedangkan dalam tasawufnya mengikuti dua imam yaitu Imam Junaedi Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghozali.

Secara istilah Aswaja terdiri atas Ahl, Al-Sunah, dan Al-Jama'ah. KH. Muhyidin Abdusshomad dalam bukunya Fiqh Tradisional yang dikutip oleh Ir. Sayyid Abdussalam bin Alwi Hinduan, MBA, menjelaskan bahwa kata Ahli atau "Ahlun" berarti keluarga, golongan atau pengikut. 

Adapun Al-Sunah adalah semua ucapan, perbuatan dan takrir Rosulullah SAW. Sementara itu Al-Jama'ah berarti segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi Muhamad SAW, pada masa Khluafa al-Rasyidin yang telah diberi hidayah.

Aswaja mengkritstalisasi menjadi sebuah mazhab (golongan) yang terorganisir. Contohnya di Indonesia, ketika mendengar kata Aswaja maka langsung tertuju pada organisasi Nahdlatul Ulama (NU). 

Hal ini tidaklah aneh karena NU merupakan satu-satunya organisasi keagamaan di Indonesia yang secara konsisten mendakwahkan Aswaja. NU lah yang secara konsisten mengsyiarkan tentang hubungan masyarakat dengan negara, dimana mencintai negara adalah Hubul Wathan Minal Iman.

Namun, bagaimana dengan organisasi lain, apakah mereka juga dapat dikatakan sebagai Aswaja ketika mengklaim dirinya sebagai Aswaja? Umpamnya ereka juga mengakui bahwa mereka sebagai pengikut Imam Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Mereka mengikuti empat mazhab fiqih dan juga kepada dua imam tasawuf Imam Junaedi Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghozali. Nah mengenai pertanyaan ini akan saya bahas.

Aswaja Sebagai Manhaj 

Selama ini kita, terutama di organisasi yang masih banomnya NU seringkali ditemukan atau menjelaskan Aswaja hanya sekedar mazhab seperti beberapa pengertian diatas. Maksud saya seperti dikutip dari Nurayid Santoso Kristeva (2016) selain dipandang sebagai Mazhab Aswaja harus dipandang sebagai Manhaj. 

Apa itu manhaj? Manhaj adalah sebuah metode dalam memandang segala sesuatu. Contohnya bagaimana Aswaja memandang politik atau bernegara, apakah Indonesia sudah berdasarkan syariat Islam atau belum? Kemudian bagaimana Aswaja memandang keadilan, perbedaan dan lain sebagainya.

Disini diperlukan pemahaman bahwa Aswaja perlu dipandang sebagai Manhaj (metode) agar tidak terjadi saling klaim terhadap Aswaja, kita bisa melihat seperti apa kriteria orang yang dapat dikatakan sebagai Aswaja. Saya berikan contoh, umpaamnya ia mengaku sebagai Aswaja tetapi ia menolak Pancasila sebagai dasar negara atau ia menginginkan Indonesia menjadi negara khilafah. Nah, menurut saya orang yang seperti ini tidak paham Aswaja, karena kalua ia benar-benar Aswaja ia akan mengakui Pancasila sudah sesuai dengan syariat Islam.

Aswaja sebagai Manhaj itu ada dua; pertama Aswaja sebagai Manhajul Fikr dan Aswaja sebagai Manhajul Harokah. Kedua metode ini sangatlah penting, artinya kita perlu menjadikan Aswaja sebagai metode berpikir dan juga sebagai metode bergerak dan kita sebagai orang yang mengaku Aswaja harus memahami keduanya.

Ada sebagaian orang yang memahami Aswaja secara kultural saja dan ada orang yang memahammi Aswaja secara keduanya baik sebagai ideologi maupun sebagai kultural. 

Contoh kita sering melakukan jiarah kubur, riungan, selamatan dan lain sebagainya, nah dalam hal ini kita menjalankan Aswaja secara kultural atau kita sebut Manhajul Harokah, padahal kita tidak tahu umpamanya soal Aswaja itu bagaimana dan secara historisnya seperti apa. Dalam konteksnya kita bisa melihat jika ada di Indonesia mengaku Islam, tetapi anti tradisi seperti suka membidah-bid'ahkan maka dapat dipastikan ia buka Aswaja sekalipun mengaku sebagai Aswaja.

Kita sekali lagi perlu memahami Aswaja sebagai sebuah metode pemikiran bukan hanya sekedar tahu bahwa Aswaja itu golongan, aswaja itu Mazhab, kemudian yakin saja bahwa ini adalah Islam yang benar diantara aliran lain selain Aswaja seperti Khawarij, Murji'ah, Jabariyah, Qodariyah dan Muktazilah. 

Dari banyaknya doktrin pemahaman, aliran dalam Islam tersebut maka disinilah pentingnya terus mempelajari Aswaja, kita perlu mengupgrade level keilmuan kita dari Mutakid (yakin) menjadi Mujahid (pejuang), Mujtahid (pemikir) dan Mujadid (pembaharu). Dengan memahami Aswaja sebagai Manhaj kita bisa menselaraskan diri kita dengan perubahan zaman tanpa merubah esensi keimanan dan keislaman kita kepada Allah SWT. Ingat bahwa Islam akan selalu releavan dengan setiap perkembangan zaman.

Jika kita mencermati doktrin Aswaja yaitu keimanan, keislaman dan keihsanan, baik dalam akidah, syariat (Islam) ataupun akhlak (ihsan) maka seperti dikutip dari bukunya Nusayid Santoso Kristeva berjudul Materi Kaderisasi Awal, kita mendapati sebuah metode pemikiran (Manhajul Fikr) yang tengah atau moderat (tawassuth), berimbang (tawazun) adil (ta'adul) dan toleran (tasamuh). 

Keempat metode inilah yang dijadikan dalam proses ijtihad (penggalian suatu pemikiran) baik dalam hal keimanan, keislaman, dan keihsanan. Metode pemikiran Aswaja ini senantiasa menghindari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mendirikan paham Aswaja membangun keimanan, sikap, perilaku dan gerakan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun