Aku ingat betul kala itu. Saat kita diringkus dingin di sepertiga malam.
Di pojok kamar lilin masih terang benderang menemani kita yang sedang membisu digigit dingin. Dingin itu merayu kita untuk segera bergegas menemui sang hangat, namun kita tak pernah menggubris. Kita tetap membisu.
Aku juga masih ingat. Di hadapan mata kita, ada dua cangkir kopi yang sudah lama tersenyum menggoda kita, agar diseruput dengan bibir yang jujur. Namun kita tetap memilih membisu. Sayangnya, kedua cangkir kopi itu akhirnya lebih memilih asyik dengan diri mereka sendiri. Mungkin mereka seperti kita.
Di pojok kamar, di hadapan kaki Tuhan, lilin yang kita banggakan kian menipis, dilahap sang jago yang perkasa. Perlahan temaram mencekik kita di kamar berukuran 34 itu. Kita tetap membisu.
Tiada kata yang mampu merayu kita tuk dibaca bibir. Tak ada bahasa yang mampu menggoda kita di malam yang begitu hening. Kita hanya menatap temaram yang akan menjumpai gelap, dan kopi yang telah dilumat dingin.
Kita dingin sedingin kopi di tengah semesta sunyi. Kita tetap membisu
Lalu mengapa kita ada??
Kalau hanya untuk sebuah kebisuan, aku rela mati lebih dahulu sebelum merasakan heningnya perut Pertiwi
Tapi kau harus hidup,Â
 Kau harus hidup
Untuk mengenangkan daku.
Clausura, Januari 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H