Mohon tunggu...
Safrudin.M.P Siahaan
Safrudin.M.P Siahaan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

pribadi yang mau belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca IPM sebagai Syarat Revolusi

27 Mei 2011   11:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:09 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indeks pembangunan manusia (IPM) adalah indikator yang sering digunakan untuk mengukur kemajuan suatu bangsa. indeks pembangunan manusia ini juga akan saya gunakan untuk mengukur kemajuan pemerintahan SBY. hal ini sangat relevan digunakan karena kemajuan suatu bangsa merupakan buah karya pemerintah. Indeks diukur berdasarkan kekayaan, kemiskinan, kesehatan, kesetaraan jender, kebebasan ekonomi dan pendidikan. Naik turunnya indeks pembangunan manusia (IPM) atau rendahnya Sumber daya manusia disebabkan masalah pendidikan, kesehatan dan kemiskinan. Dengan indeks ini akan kita ketahui kegagalan pemerintahan saat ini, sehingga menjadi satu syarat objektif tuntutan revolusi.

KESEHATAN

Kesehatan publik dibiayai dari pemerintah (pusat dan daerah) anggaran, pinjaman luar dan hibah (sumbangan termasuk dari lembaga internasional dan organisasi nonpemerintah), dan dana kesehatan sosial (atau wajib) asuransi, ini adalah defenisi yang digunakan dunia internasional untuk menilai. Pendefinisian yang ideal seharusnya "kesehatan publik dibiayai dari anggaran, dan sumbangan wajib warga maupun badan. kondisi aktual dari sistem kesehatan kita saat ini:


  1. Jamsostek. jamsostek saya masukkan karena melalui jamsostek ini didalamnya ada komponen kesehatan. namun sebagaimana kita ketahui banyak perusahaan yang melanggar aturan ini dengan tidak mengikutsertakan buruh/pegawai sebagai anggota. dari jumlah tenaga kerja formal Indonesia yang berjumlah 28 juta jiwa baru 8,4 juta pekerja yang menjadi peserta jamsostek. ini mengartikan bahwa " ada 19,6 juta buruh formal tidak dilindungi kesehatannya (tidak boleh sakit).

  2. Askes. Askes ini menjamin kesehatan PNS seluruh indonesia.

  3. Jamkesmas. Jamkesmas ini menjamin kesehatan masyarakat dengan sifatnya dan limitatif, diskriminatif dikarenakan memakai ukuran "masyarakat yang paling miskin yang harus menerima ini".


kesimpulan dari indikator kesehatan  adalah;


  • Ada banyak buruh formal, buruh non formal, serta masyarakat yang tidak termasuk dalam jamkesmas, "tidak mendapatkan/tidak memiliki jaminan kesehatan. Kondisi rakyat yang tidak memiliki jaminan kesehatan ini adalah "tidak boleh sakit" di republik Indonesia ini.
  • Cakupan kesehatan, pertanggungan kesehatan bagi rakyat semesta tidak merata dan menyeluruh.
  • Biaya kesehatan sangat mahal, sehingga bagi rakyat yang tidak punya jaminan kesehatan bila sakit langsung menjadi jatuh miskin seketika, bahkan bisa menjadi tinggal dikolong jembatan. Gambaran masyarakat akibat dari indikator kesehatan ini sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, ada yang harus menjual bayi demi membayar biaya bersalin, dan bahkan ada yang harus mati saat bersalin dan lain-lain.


PENDIDIKAN


  • Mahalnya biaya pendidikan untuk semua tingkatan dan tidak sehatnya persaingan pendidikan yang dikelola oleh swasta yang menimbulkan kerawanan sosial.
  • Tidak adanya niat baik pemerintah SBY untuk menganggarkan biaya pendidikan sebesar yang diamanatkan oleh Undang-undang.


KEMISKINAN

Secara kuantitas angka kemiskinan rakyat Indonesia bisa meningkat dan menurun dibarengi dengan rendahnya pendapatan perkapita . Secara kuantitas  dan kualitas, pendapatan perkapita rakyat Indonesia "tiba-tiba bisa dimiskinkan" oleh "PENDIDIKAN dan KESEHATAN".  Saat Musim pendidikan (semesteran maupun kenaikan jenjang sekolah), menyekolahkan anak memerlukan dan mengeluarkan tabungan, perhiasan dan bahkan utang sana sini untuk menutupi. saat sakit masuk rumah sakit memerlukan biaya yang sangat mahal untuk bisa sembuh, selain menghabiskan tabungan, menjual perhiasan, bahkan bisa menjual rumah tempat tinggal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun