Mohon tunggu...
Suara Pelajar
Suara Pelajar Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Titik Batas Individu, Harapan di Ujung Usia

10 Mei 2018   16:47 Diperbarui: 10 Mei 2018   17:24 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurang lebih pukul setengah sepuluh waktu Indonesia bagian barat, disaat matahari sedang terik-teriknya menyinari hamparan wilayah Ciputat dan sekitarnya, saya membaca sebuah buku dengan judul "Kesaksian seorang Dokter- Mensucikan Hati melalui Kisah-kisah Nyata" yang dikarang oleh dr. Khalid bin Abdul Azis Al-Jubair, SpJP seorang Dokter spesialis bedah dan jantung. Buku ini merupakan kumpulan kisah nyata sang Dokter dari pengalaman pribadinya selama bertugas, menarik ketika saya sampai pada sebuah kisah singkat mengenai sakaratul mautnya seorang pasien, kira-kira begini kutipan kisahnya:

"Saat itu saya berada di sisi seseorang yang sedang berjuang menghadapi sakaratul maut. Anaknya berusaha sebisa mungkin untuk mentalqininya dengan dua kalimat syahadat, akan tetapi setelah berusaha dengan susah payah, jawaban ayahnya sungguh sangat mencengangkan, "wahai anakku ! aku mengerti apa yang engkau katakana, akan tetapi lidahku tidak bisa mengucapkannya, aku telah berusaha wahai anakku, aku telah berusaha akan tetapi aku tidak bisa."   

Saudara seiman setanah air, membaca kisah orang yang telah menemui sakaratul maut atau saya bahasakan dengan batas waktu individu-nya, membuat diri kita seolah langsung mendapatkan pantulan lalu memikirkan bagaimana diri kita kelak. Kita tidak tau kapan dan dimana batas waktu individu itu datang, hati yang memiliki submission kepada Tuhan pun tidak akan bertanya kenapa dan bagaimana batas waktu individu itu nanti, kit a hanya mengharapkan ketika batas waktu individu itu datang, kita sudah siap menyambutnya dan pergi dengan ketenangan total kepada Tuhan. Karena logic nya, Tuhan pasti tidak ingin kita kembali kepadaNya dalam keadaan tidak siap. Tapi apakah Tuhan menunggu kita siap baru Dia memanggil kita? Tidak. Tuhan memberikan kita batas waktu untuk mempersiapkan diri.

Tidak ada yang tau bagaimana keadaan dirinya ketika berada di akhir batas waktu individu, tapi titik yang menjadi batas waktu individu antara meninggalkan alam nyata menuju alam ghaib merupakan cerminan bagaimana ia sebelumnya di masa lalu (dunia) dan bagaimana ia di masa depan (akhirat). Merasakan ketenangan di titik batas waktu adalah dambaan orang-orang yang beriman. Bisa tenang meninggalkan dunia dengan segala tipu dayanya dan tenang menyambut alam baru adalah asa jiwa-jiwa yang total submission kepada Tuhan.

Anak muda terlalu kepedean ketika selalu mengidentikkan titik batas waktu itu dengan kaum tua, seperti menganggap hoax berbagai berita kematian di social media yang dialami oleh anak-anak muda. Sombong sekali jika harus menunggu berkepala empat baru mempersiapkan untuk menghadapi titik batas itu. Meletakkan pembahasan kematian hanya kepada kaum tua adalah kekeliruan. Memposisikan tema-tema semangat, perjuangan dan cinta kepada kaum muda tidaklah salah, dengan tema-tema seperti itu maka kaum muda butuh sesuatu yang bisa menjadi penyeimbang spiritual agar tidak nelangsa berada di lingkaran harapan dengan tema-tema tadi ketika mereka tidak mampu mencapainya. Tidak mudah setiap anak muda bisa sukses dalam semua tema tadi, semangat, perjuangan dan cinta.

Memang tidak mengasyikkan ketika membicarakan kematian di tengah-tengah anak muda, tetapi yang diinginkan itu adalah adanya reminder secara individu di dalam diri setiap manusia tanpa membedakan usia. Membicarakan anak muda dengan kematian kadang menuai protes, karena dianggap pesimistis, dan melemahkan perjuangan. Padahal kematian bisa menjadi reminder bahwa kita memiliki batas dan memang terbatas. Di saat optimistisnya jiwa muda, di tengah semaraknya perjuangan, dengan mengingat adanya titik batas justru bisa menghasilkan energi yang lebih besar. Silahkan logikakan dengan istilah the power of kepepet.

Kita hanya hidup hari ini, besok belum terjadi dan kemarin telah usai. Tinggal menghitung hari, ramadhan adalah moment yang sangat tepat untuk memulai, mempersiapkan diri menghadapi titik batas. Ramadhan tidak hanya telah menyapa, tapi seolah telah menggenggam dan merangkul kita mengajak melangkah bersama, tapi apakah kita mampu dan siap untuk melangkah bersamanya?

Ciputat, 10 Mei 2018 M 

Oleh: Rizki Ulfahadi

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah | Santri Pesmadai Ciputat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun