Mohon tunggu...
Suara Pelajar
Suara Pelajar Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasionalisme Pemuda "Zaman Now"

10 Februari 2018   20:33 Diperbarui: 10 Februari 2018   20:36 1803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kecintaan masyarakat akan tanah airnya mampu memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan sebuah bangsa. Kita bisa melihat gerakan-gerakan yang sudah konstruktif muncul di awal abad ke 20, pra-kemerdekaan Republik ini salah satu faktor terbesar yang mendorong adanya gerakan itu adalah Nasionalisme. Kita bisa melihat dari mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat yang awalnya belum terpikir bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan, digerakkan atau dipelopori oleh sebagian orang yang sudah memiliki nasionalisme, maka rakyat Indonesia terbuka matanya untuk keluar dari lingkaran kebingungan dari pembodohan yang dilakukan Belanda ratusan tahun lamanya.

Nasionalisme tidak bisa kita artikan hanya sebatas rasa cinta kepada bangsa dan negara, tapi nasionalisme adalah kesadaran individu masyarakat suatu bangsa akan tanggung jawabnya dalam kemakmuran dan pertahanan yang dilandasi rasa cinta kepada tanah airnya. Senada dengan perkataan Bung Karno, bahwa nasionalisme ialah suatu iktikad, keinsyafan rakyat, bahwa rakyat adalah satu golongan, satu bangsa. Rasa nasionalistis itu menimbulkan rasa percaya kepada diri sendiri. Rasa percaya akan diri sendiri inilah yang menimbulkan ketetapan hati dalam perjuangan menuju Indonesia merdeka. Artinya, nasionalisme itu dimulai dari adanya kesadaran, dari kesadaran itu tumbuhlah yang namanya cinta. Kesadaran akan tanggung jawab sebagai bagian dari masyarakat diiringi cinta yang tumbuh kepada bangsa inilah yang membawa masyarakat kepada perjuangan yang tidak setengah-setengah. Jadi, keliru lah jika Nasionalisme itu diartikan hanya sebatas mencintai bangsa dan negara tanpa ada tindakan nyata.

Jika kita lihat realita yang ada hari ini, justru pengertian yang keliru itulah kebanyakan dipakai oleh masyarakat Indonesia, terlebih para 'pemuda zaman now'. Tidak sedikit yang menyatakan cintanya kepada Indonesia, tidak sedikit yang berkoar-koar menyuarakan dukungannya datang langsung ke studion ketika Indonesia bertanding sepak bola dengan Negara lain walaupun harus mengeluarkan uang, tapi yang disayangkan tidak sedikit pula yang cintanya itu hanya sebatas kata-kata. Nasionalisme tidak bisa hanya sampai di mulut, nasionalisme harus diiringi dengan aksi, dengan kontribusi nyata walaupun sederhana. Sesuatu yang kita lakukan, walaupun terlihat sederhana tapi bisa memberi pengaruh besar jika kita tau hakikat dari perbuatan itu, kita tau alasan kita berbuat, kita tau tujuan dan akibat kita bertindak.

Hari ini juga, kita bisa melihat 'pemuda zaman now' bahkan parahnya lagi juga 'orang tua zaman now' lebih memilih produk-produk luar negeri, mulai dari makanan, pakaian, dan lainnya. Tindakan sederhana yang tidak ada salahnya jika dilihat dengan kasat mata, setiap orang tentu bebas menentukan apa yang ingin dibeli, toh yang bayar dia juga. Tapi, jikalah kita mau mengedepankan kesadaran dan menyelami hakikat perbuatan itu maka kesalahan itu akan terpampang jelas. Contoh sederhananya mengenai makanan, kita makan, anggaplah itu di sebuah restoran yang perusahaannya milik orang asing di luar negeri sana, mereka sangat senang dan puas karena makanannya sangat laris di Indonesia, mereka untung besar, buka cabang dimana-mana hingga tersebar ke seluruh kota yang ada di Indonesia, singkatnya mereka berhasil menjadikan Indonesia sebagai ladang uang, alhasil ekonomi mereka menjadi maju. 

Dalam kasus seperti ini, kita tidak harus berebut untuk menjadi pemegang kebijakan publik, kita cukup menjadi pemegang kebijakan pribadi yang arif bijaksana. Dengan cenderungnya kita para pemuda dan masyarakat membeli produk-produk luar negeri maka kita telah menghambat perkembangan ekonomi negara kita sendiri. Usaha lokal menjadi tidak berkembang, makanan khas Indonesia peminatnya menurun, kalah dengan makanan ciptaan luar negeri, padahal sebenarnya berbicara makanan itu berarti berbicara soal cita rasa, dan cita rasa makanan Indonesia sulit ada tandingannya. Tapi mungkin hari ini prioritasnya soal makanan lebih ke fasilitas yang ditawarkan penjual, bukan lagi rasa.

Implementasi sederhana yang mampu dilakukan oleh setiap elemen bangsa jika memang rasa cinta kepada tanah air itu ada adalah dengan beralih lagi kepada produk dalam negeri. Contoh seperti tadi, dalam hal makanan dan pakaian saja, produk dalam negeri tidaklah kalah. Cuman terkadang karena pengaruh gaya dan lagak akibat globalisasi masyarakat seolah-olah bangga atau mungkin ada yang merasa berprestasi mampu membeli makanan ala luar negeri atau pakaian luar negeri, bangga bisa membeli yang mahal, ukurannya bukan lagi kualitas. Satu dua kali dan akhirnya menjadi kebiasaan dan jadilah sebagai pelanggan tetap produk luar negeri.

Masyarakat Indonesia mayoritasnya Muslim, seharusnya kita bisa melihat nilai-nilai ilahiyah itu dalam diri para pemuda. Nasionalisme adalah ajaran Islam, kita ingat kisah Nabi Musa, dia berdo'a bersemedi diatas Bukit Thursina tidak lain ialah karena ingin kaumnya Bani Israil terbebas dari kezaliman Fira'un dan membawa kaumnya pulang ke tanah air mereka Palestina.

Cinta tanah air adalah perasaan yang sangat halus dan dalam di hati manusia, bahkan cinta tanah air itu timbul daripada iman yang sejati, begitu kata Buya Hamka. Agama lainpun, pasti juga memiliki misi kedamaian dan kebaikan bagi kaumnya dan tanah airnya.

Tokoh Nasional Bangsa, Buya Hamka berkata dalam bukunya Lembaga Hidup,cinta sejati tidaklah meminta balas jasa. Setinggi-tinggi pengorbanan yang kita berikan buat Ibu Persada, tidaklah lebih daripada kewajiban. Kita cintai dia dan kita berkorban lantaran cinta, adalah sekadar kekuatan dan daya upaya yang ada pada kita. Tanah air tidak akan menolak bakti putranya. Jika ia sudi menerima khidmat Soekarno-Hatta dengan pengorbanan-pengorbanan yang besar, khidmat Syahrir dengan ciptaan linggar jatinya, jika diterimanya khidmat Sudirman walaupun berjuang dengan paru-paru yang tinggal sebelah, jika diterimanya khidmat Syafruddin yang hidup di rimba dan gunung berbulan-bulan melanjutkan perjuangan, tentu Bunda tercinta tidak akan menolak persembahan Pak Tani di sawahnya, Nelayan di laut yuang luas, Saudagar kecil yang berjalan kaki membawa dagangan kecil, namun Ibu tetap kasih pada putranya yang demikian nasibnya. Tanpa memandang profesi dan jabatan, tanpa memandang garis keturunan dan daerah, kita semua bisa ambil bagian dalam mensejahterakan Bumi Ibu Persada ini.

Seharusnya, 'Pemuda zaman now' bertanya pada dirinya masing-masing, apa yang telah dilakukan untuk negerinya ini, tidak hanya minta balas jasa tanpa ada laksana. Walaupun kita tidak ikut angkat senjata mengusir Belanda, walaupun kita tidak hadir waktu bendera merah putih dikibarkan pada tahun 45, tapi kita adalah anak cucu mereka para pejuang bangsa. Hari ini kita harus kembali mengibarkan bendera merah putih itu dengan segenap kontribusi dan inovasi yang telah atau akan kita berikan juga buktikan. Tidak sebatas berpoto selfie dengan bendera, tidak sebatas update status dan berharap dikomentari dan dipuji, dan tidak sebatas berbicara tanpa realisasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun