Asam lambung (Aslam) akut memang punya efek yang luar biasa. Gejalanya tidak hanya berdampak ke fisik; ditandai perut kembung, sesak nafas dan nyeri di hampir sekujur tubuh, khususnya di bagian dada kiri tembus ke belakang, tetapi juga berefek secara psikologis.
Karena itu, pengidap aslam akut biasanya emosinya tidak stabil. Ia sering kali mengalami kecemasan berlebihan dan mengakibatkan pikirannya tidak karuan.
Kendati sensasi yang dirasakan penderita Aslam akut berbeda-beda, namun dari sekian banyak penderita yang saya wawancarai mengaku pernah mengalami kecemasan berlebihan. Bahkan ada yang takut keluar rumah, melihat keramaian dan mendengar kabar kematian.
Selain itu, ada juga yang mengaku sering mengalami migren, oleng, serasa mau jatuh atau pingsan, susah tidur dan takut jalan dan tidur sendirian. Alasannya, Aslam kadang datang secara tiba-tiba dan tidak mengenal waktu.
"Mirip nyanyian jalangkung; datang tidak diundang dan pergi tanpa permisi," kata rekan saya, salah seorang penderita Aslam akut.
Sejauh ini, belum ada obat yang betul-betul ampuh bisa mengendalikan fenomena Aslam akut, selain saran pola hidup sehat. Mungkin karena itu, beberapa rekan saya memilih berhenti berobat dokter karena Aslamnya tak kunjung normal. Bahkan ada yang memilih jalan konyol; mensugesti dirinya dengan asumsi.
"Bagaimana mungkin orang yang tidak pernah merasakan Aslam, bisa mengobati dan menasihati orang yang terkena Aslam akut," katanya berasumsi.
Asumsi itu, mungkin di satu sisi ada benarnya, tapi di sisi lain bisa jadi itu adalah sikap pesimis sebagai penderita Aslam yang tak kunjung normal. Terlepas benar tidaknya asumsi ini, yang jelas menasihati dan mengomentari masalah yang dialami penderita Aslam akut memang jauh lebih mudah ketimbang ikut merasakan dan memahami penderitaannya.
Jika para penderita Aslam akut lebih banyak berjumpa dengan orang-orang semacam ini, maka tentu saja mereka akan kesulitan mendapat ruang nyaman, baik secara fisik, terlebih lagi secara psikologis.
Puasa
Di tengah kegalauan karena Aslam tak kunjung normal, tidak jarang penderitanya memilih jalan spiritual, jalan yang boleh jadi pernah dianggap kuno dan tidak realistis dalam menangani persoalan. Modelnya pun macam-macam, ada yang mengamalkan wirid dan doa-doa tertentu dan ada pula yang merutinkan puasa sunah Senin-Kamis.
Pilihan terakhir ini didasarkan pada hadis nabi "berpuasalah, niscaya kamu sehat". Kendati demikian, kadang sisi spiritual puasa terabaikan. Sebab tujuan mereka berpuasa bukan karena lillahi taalah, melainkan untuk menormalkan asam lambung.
Akibatnya, puasa yang dilakoninya itu hanya sekadar pemulihan pisik, bukan mental. Padahal umumnya Aslam terjadi karena persoalan mental, salah satunya adalah overthingkin. Jadi bukan sebaliknya, Aslam menjadi penyebab overthingkin.
Karena itu, puasa menjadi penting untuk menormalkan semua itu. Dengan berpuasa, sebagaimana hadis nabi di atas, seseorang akan sehat secara jasmani dan rohani, sebab ada dua energi yang terkandung dalam puasa, yaitu; energi lahiriah dan batiniah; jasmaniah dan spiritual.
Jika puasa berarti menahan, maka tentu tidak hanya sekadar menahan diri untuk tidak makan dan minum hingga waktu berbuka tiba, tetapi juga menahan atau mengendalikan cara pandang dan pikiran-pikiran negatif yang sering kali muncul di kepala tanpa disadari.
Berpuasa dari pikiran-pikiran negatif tentu saja sangat penting, sebab selain menjadi anjuran agama, juga bertujuan untuk kesempurnaan spritualitas puasa, menyehatkan sikap, mental dan pisik. Karena itu, puasa yang hanya bertujuan untuk kepentingan fisik semata akan hampa secara spiritual.
Kata nabi "ada banyak orang berpuasa, namun tidak ada apa-apa yang dia dapatkan dari puasanya itu, kecuali lapar dan haus". Karena itu, kita tak perlu heran, jika banyak orang menjalankan ibadah puasa dengan berkeluh-kesah. Padahal puasa di satu sisi selain bisa mengsucikan diri dari dosa-dosa, juga menyadarkan kita akan pentingnya bersyukur.
Pasrah
Kebanyakan mengeluh membuat fisik dan jiwa kita lemah, sehingga kehilangan keberanian menghadapi kenyataan. Padahal bisa jadi ketakutan dan kekhawatiran yang muncul dalam benak kita adalah dampak dari overthingkin yang umumnya terjadi karena kita lebih mempercayai asumsi-asumsi yang terbangun di kepala.
Meski asumsi tersebut berdasar pada pengalaman, namun harus disadari bahwasanya tidak selamanya asumsi yang terbangun di kepala benar. Olehnya itu, syukur, selain punya kekuatan meredam ego dan keserakahan, juga menerima keadaan dengan penuh kesabaran. Hal ini penting, sebab tidak semua masalah yang ada di kepala bisa diselesaikan.
Pada konteks inilah, Islam mengajarkan kepasrahan, yaitu menyerahkan sepenuhnya masalah kepada sang pemilik kehidupan. Pasrah bukan berarti putus asa, melainkan ekspresi diri sebagai makhluk teologis. Sebab hanya manusia yang lupa diri yang tidak mau berpasrah pada Tuhannya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI