Â
Penerapan nilai-nilai budaya demokrasi di desa pegunungan dan dataran itu tidak berarti tanpa persoalan. Instrumen yang digunakan oleh desa adat justru bisa menimbulkan persoalan demokratisasi baru. Kecenderungan Atavisme dan Indigenisme sudah mulai menguat. Atavisme bisa mengarah pada penguatan kembali institusi dan aktor politik masa lalu yang tidak demokratis (feodalisme atau oligarkis). Indigenisme bisa memancing rasisme yang anti pluralisme maupun multikulturalisme (Dwipayana, 2003). Padahal, multikulturalisme menyiratkan kehendak untuk membawa semua ekspresi kebudayaan ke dalam struktur yang seimbang dimana praktek penghormatan terhadap keberbedaan ditujukan untuk mengatasi masalah 'eksklusivitas' yang dapat memicu konflik etnis, rasial maupun religius.
Dengan berpegang pada pengertian multikulturalisme sebagaimana dijabarkan Fay (2002), tidak sekadar mengajarkan, Â "mengenal, menghargai dan menyambut perbedaan", yang dianggap slogan yang terlalu statis. Tetapi, semua lapisan masyarakat dengan aneka latar belakang suku, agama, ras dan etnis menjadikan "terlibat, mempertanyakan dan mempelajari" agar lebih mampu menangkap sifat dinamis dan sinergis dalam interaksi multikultural yang murni.
Dengan begitu, penerapan nilai-nilai budaya demokrasi tersebut juga perlu diwaspadai agar tidak kontraproduktif dan menimbulkan dampak yang tidak sejalan dengan semangat multikulturalisme, serta penghargaan terhadap perbedaan dalam bingkai negara kesatuan: Bhinneka Tunggal Ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H