Mohon tunggu...
I Wayan Gede Suacana
I Wayan Gede Suacana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pemerhati Sosial, Peminat Yoga Asana dan Meditasi

Membaca dan menulis untuk aktualisasi diri, praktik yoga asana dan meditasi untuk realisasi diri. Menjalani hidup apa adanya, menghargai keberagaman yang memancarkan keindahan sebagai manifestasi kesatuan dalam variasi. Motto: Unity, Purity, Divinity. Penulis Majalah Mahasiswa (1988-1990); Pengelola/ Redaksi Jurnal Politik Sarathi dan Jurnal Sosial dan Politik Sintesa (1991-2013); Blooger Bali Sai Amrita (Maret 2009-Februari 2014); Penulis Kolom Opini Harian Umum Bali Post (2003-2013); Penulis artikel pada Media Online/ Citizen Media: Atnews, Majalah Sraddha, Kompasiana dan Opinia (Januari 2024-sekarang); Dosen dan peneliti di Universitas Warmadewa Denpasar (1991- sekarang); Peminat yoga asana dan meditasi (1988-sekarang); Pemenang I Lomba Esai yang diadakan oleh Ikatan Wanita Penulis Bali (2008). Alamat E-mail: suacana@warmadewa.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Demokrasi Masyarakat Desa di Bali

18 Januari 2025   22:43 Diperbarui: 18 Januari 2025   22:47 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masyarakat Subak di Bali sedang musyawarah dan beraktivitas di sawah (Sumber: AI)

 

Penerapan nilai-nilai budaya demokrasi di desa pegunungan dan dataran itu tidak berarti tanpa persoalan. Instrumen yang digunakan oleh desa adat justru bisa menimbulkan persoalan demokratisasi baru. Kecenderungan Atavisme dan Indigenisme sudah mulai menguat. Atavisme bisa mengarah pada penguatan kembali institusi dan aktor politik masa lalu yang tidak demokratis (feodalisme atau oligarkis). Indigenisme bisa memancing rasisme yang anti pluralisme maupun multikulturalisme (Dwipayana, 2003). Padahal, multikulturalisme menyiratkan kehendak untuk membawa semua ekspresi kebudayaan ke dalam struktur yang seimbang dimana praktek penghormatan terhadap keberbedaan ditujukan untuk mengatasi masalah 'eksklusivitas' yang dapat memicu konflik etnis, rasial maupun religius.

Dengan berpegang pada pengertian multikulturalisme sebagaimana dijabarkan Fay (2002), tidak sekadar mengajarkan,  "mengenal, menghargai dan menyambut perbedaan", yang dianggap slogan yang terlalu statis. Tetapi, semua lapisan masyarakat dengan aneka latar belakang suku, agama, ras dan etnis menjadikan "terlibat, mempertanyakan dan mempelajari" agar lebih mampu menangkap sifat dinamis dan sinergis dalam interaksi multikultural yang murni.

Dengan begitu, penerapan nilai-nilai budaya demokrasi tersebut juga perlu diwaspadai agar tidak kontraproduktif dan menimbulkan dampak yang tidak sejalan dengan semangat multikulturalisme, serta penghargaan terhadap perbedaan dalam bingkai negara kesatuan: Bhinneka Tunggal Ika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun