Dirangkum oleh Moderator: Sadhu Giriramananda, pada Lokakarya  Nasional yang Digelar di Gedung PHDI Bali, Sabtu 7 Maret 2020Metode Pengabenan Shiva Sumedang  atau Shiva yang gaib- adalah salah satu dari 12 metode pengabenan  tradisional Bali,  mengacu dan  mengadopsi "Lontar Lontar  Local Genius Bali" yang tersurat. Pilihan pengabenan Shiva Sumedang di zaman now ini , sejatinya  bisa dikatakan keputusan bijaksana, di tengah pengaruh kaum  milineal , era 4.0  gen Z yang mereka itu  punya "nafas" mindset, kecendrungan  menuntut laku serba praktis, efektif dan efisien. Atas tuntutan zaman  itu, ada suatu motivasi dan kreasi melakukan suatu langkah  cerdas  (out of box) dengan mengulik dan berjalan sesuai  landasan kitab/sastra kuno Bali. Intinya tetap berlandaskan plutuk basic yadnya, dengan tanpa  mengurangi esensi, hakekat mekanisme  tatanan local genius Bali yang sudah diaplikasikan  menjadi tradisi secara turun temurun itu.
Terkait skema  Pengabenan secara umum  diuraikan: Ngaben  Sawa  Prateka  swargane kelod, sane  Ngaben  Nyawa Wedana  kauh swargane, sane Ngaben  Pranawa,  kaja swargane, Ngaben Swasta, kangin swargane, kemudian Rcadana  Pitra Yadnya, Pitra Shiva Sumedang,  ditengah swargane. Justru pengabenan ne alit swargane nembus Linggih  Shyang Hyang Shiva" demikian disebut mengacu  skema pengabenan. Ada, juga anggapan semakin kecil (kanista),  unsur kelalaiannya  semakin sedikit , namun terkait  hasilnya diyakini  juga  bagus. Karena itu, sejatinen  "Nak aluh" megama di Bali, banyak audiensi  koor merespons, "Ne keweh nto gumanti  gengsi ajak belog,"
Menguak jenis Pangabenan selain Shiva Sumedang, yang dilakukan secara ngelanus (sehari tuntas)  sejatinya masih ada  11 jenis pengabenan lainnya jika mengacu pada  Buku Kumpulan Weda Puja Pitra Shiva  (Dinas Kebudayaan Bali 2001). Pengabenan lainnya itu yakni  : 1. Sawa Prateka, 2. Sawa Wedhana, 3. Pranawa, 4. Swastha, 5. Pitra Puja, 6. Sawatandangmantri, 7. Utamaning atau Madyaning Mapranawa, 8. Supta Pranawa, 9. Swastya Bya, 10. Swasta Geni, 11. Pitra Tarpana. Lalu bagaimanakah hakekat Pengabenan Shiva Sumedang itu?
Pelaksanaan Pengabenan Shiva Sumedang khususnya meniti  tatanan prosesi Pengabenan jalan (pemargi) Shiva yang gaib. Sumedang maknanya  adalah  gaib, niskala. Intinya, pola  pengabenan  Shiva Sumedang itu  dilakukan secara ngelanus - artinya sehari selesai bahkan bisa dituntaskan (puput 7 jam). Mengacu isi lontarnya sebagai berikut : "Kramaning atiwa tiwa , nistanya upakara anglanus sane maupakara pramangke. Nista, madhya , uttama pemalakunya. Kramanya, tat pawadah , tan patulangan, tan padamar kurung. Ringkes juga sawa ika. Upakaranya mabanten teben, mabebangkit 1, gelar sanga 1, kewala saji muah nasi angkep satakep muang pacaruan. Swarganya ring tengah, kawahnya weci desa, pengadang adangnya sang bhuta anggasakti, cikrabalanya watek danuja, widyadharinya sang suparni,wikinya Nilaruci, Dewanya Sang Hyang Shiva, wewalennya  gambang, pamuputne ring seme. Tirtanya amertha sanjiwani, Shiva Sumedang upakara  iki"
Artinya: Tata sara upacaranya adalah sangat sederhana, prosesi upacaranya "ngelanus" yang diupacarai dalam sehari sekaligus. Selesai dengan menggunakan tirta pangentas, dengan ketentuan sederhana, menengah, dan utama sesuai dengan yang dikehendaki. Caranya tidak memakai wadah, tidak memakai perabuan, tidak memakai damar kurung, namun melakukan upacara pengeringkesan terhadap mayat. Upakaranya, menggunakan banten teben, menggunakan seperangkat banten pebangkit, demikian juga seperangkat banten gelar sanga, menggunakan nasi angkeb dan saji seperangkat, beserta caru seperangkat. Sorganya di tengah, nerakanya kotoran. Penghalangnya buta anggasaki, laskarnya para danuja, bidadarinya suparni, pendetanya Nilaruci, dewanya Sang Hyang Shiva. Walinya gambang. Tempat upacaranya di kuburan. Air sucinya Amerta Sanjiwani. Itulah upacara Shiva Sumedang"
Proses pelaksanaanya,  persiapan ngeringkesnya dihelat  di rumah, namun  prosesi  badan wadagnya beserta ngaben  dilakukan di setra - menyucikan jiwa dari segala papa, klesa menjadi atma yang murni kembali ke Sangkan Paraning Dumadi yang  sebelumnya dilakukan ngeroras di Segara yang ada Gunungnya. Memang  dipilih tempat suci antara segara dan gunung ada pada posisi menyatu. Seperti  di  Pura Goa Lawah atau Pura Uluwatu. Setelah ritual Nyegara Gunung itu tuntas, selanjutnya balik ke rumah genah sang lampus, di sana dilakukan ritual Ngelinggihang  di Rong Tiga, Merajan genah rumah sang lampus,  menjadi Dewa Pitara. Nah.. demikian dirangkum "Semiloka  Nasional - Seminar dan Loka Karya Shiva Sumedang , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu" digelar Yayasan VPA Pusat,  bekerjasama dengan Swargashanti dan juga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI ) Provinsi Bali. Hadir pada seminar itu  285 peserta dari Sumatra, Kalimantan,  Sulawesi, Lombok, Jawa,  212 , Hotri, Pinandita  dan termasuk  73  Sulinggih / Pandita Agni.  Tampil sebagai Pembicaara Dharma Adyaksa PHDI Pusat , Ratu Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba,  Ida Pandita Nabe Mpu Abra Baskara Mukti Biru Daksa, Ketua Sabha Walaka PHDI Bali Dr Made Suasti Puja, SE, M. Fil H, Hadir memberikan dharmawacana suci Ketua PHDI Bali Prof Dr . IGN Sudiana, M. Si, President World Hindu Parisad Dr Mangku Pastika dan Penangjawab Acara Ida Pandita  Nabe Sri  Bhagawan Agni Yogananda. Semiloka ini dimoderatori Acharya Swi Rarendra Mahadharma (sesi pertama seminar) dan Sadhu Giriramananda (Sesi II Lokakarya)
Pilihan Bijak
Penanggungjawab acara Ida Sri  Bagawan Nabe Agni Yogananda, mengungkapkan  perasaanya sangat bahagia, lebih lebih bertepatan Hari Pawetuannya / otonannya. Dengan redah hati  ia mengatakan kepada segenap hadirin yang sangat dihormati sebagai jiwa jiwa mulia dan penuh vibrasi cinta kasih. Menurutnya, Semiloka Pitra Yadnya dengan sub tema Shiva Sumedang ini, sebuah pilihan sangat bijak bagi umat Hindu di zaman now. Tema yang diangkat dalam semiloka ini bukan saja menantang  bahkan sangat merangsang. Sehinga peserta dari berbagai daerah ikut berpartisipasi. Di antara jenis jenis yadnya, Pengebenan Shiva Sumedang  ini sebetulnya ritual yang sudah dilakukan sejak zaman Purba. Namun dalam aplikasinya warga sering mengalami kebingungan menempuh pilihan jenis serta rujukan referensi petunjuk pegelarannya, sehingga pilihan terakhir minta petunjuk balian. Relatif  banyak  mengabaikan kitab suci/ sastra secara murni sebagai pedoman dominan. Nah kemudian hasilnya lain kata  balian, lain pula bawos pewisiknya. Maka parahnya kemudian bukan tidak mungkin akhirnya  ngaben itu bisa diulang. Agar tidak muncul kejadian seperti itu, kalau tidak punya sradha / keyakinan mau tidak mau dituntut lebih bijak mempelajari kitab suci, sastra atau tatwa dari Pengabenan itu.
Namun di sisi lain ada  fenomena  penyelenggaran pitra yadnya ngaben itu dengan stigma "ngabehin" . Karena itu tidak salah  hal itu justru menjadi  suatu  beban pihak pihak yang tidak memiliki dana memadai.
Dari pelaksanaanya prosesi ngaben itu dikelompokkan  menjadi  9 macam yakni:  nistaning kanista, nistaning madya, nistaning utama, madyaning kanista, madyaning madya, madyaning utama, utamaning kanista, utamaning madya lan utamaning utama.
"Sesungguhnya  yang mana saja dipilih, tidak ada yang salah. Terpenting sesuai  dengan sradawan labate jnana - srada dan melalui pengetahuan itu menjadi keyakinan yang teguh," tambahnya
Akan halnya prosesi  Shiva Sumedang itu efektif , teknis nya dilakukan di zaman now, substansi dan  mekanismenya, ada prosesi pemisahan  stula sarira  dan suksma sarira, sekaligus sambil menunggu pengabenan sesi atma/ ngeroras jalan terus. Kemudian Puspalingga dan Sange diprosesi  di segara , dengan desain tempat yang ada,  nyegara gunung nya , selanjutnya Ngelinggihang Dewa Pitara  di Rong Telu Mrajan. Karena itu tidak aneh , jika durasi waktu yang diperlukan dari prosesi Shiva Sumedang itu bisa sehari tuntas. Â
Semoga Jadi Bhisama
Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si, selaku Ketua PHDI Bali saat itu, mendukung penuh semiloka nasional Shiva Sumedang ini. Bahkan, hasil semiloka itu  diharapkan bisa dikumpulkan, kemudian dipakai bahan dalam pesamuan nasional PHDI Pusat nantinya. "Nanti bisa dibawa ke pesamuan agung. Semoga bisa menjadi bhisama terkait pitrayadnya yang efektif dan efisien," harap Rektor Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa itu.
Prof Dr IGN Sudiana, juga menegaskan dirinya secara pribadi  sering turun terlibat pengabenan massal. Seperti di Muncan,  PHDI bekerjasama dengan Telkomsel. Di masyarakat masih  ada masalah berbagai hal pada umat,  sebab ada  hingga  7 keturunan belum diprosesi ngaben. Menurut , Yama Tatwa  jika kurang setahun tidak diaben, nanti berpotensi menjadi bute cuil. Pengabenan Shiva Sumedang yang dilakukan secara ngelanus alias selesai sehari ini sangat bagus. Karena itu Seminar Lokakarya Nasional ini sangat strategis dan bijak sebagai salah satu pilihan ngaben. "  Sebetulnya banyak  ada  pilihan ngaben, manut eka struti binacara" Upacara Ngaben di Jawa, Kalimantan, Sulawesi satu jenis saja ada yang disebut Tiwah,  Turan  turan,  Nyewu. Memang pilihan model pengabenan  di Bali  banyak ragamnya. "Namun semua jenis pengabenan   itu sah - sah saja" tegas Prof IGN Sudiana. Yang terpenting substansi  upacara itu dilakukan dengan hati  tulus las carhya dengan penuh sradha . "Karena itu rumuskan dengan  baik  prosesi Ngaben Shiva Sumedang ini," pinta IGN Sudiana menekankan.
Solusi Bijaksana
President World Hindu Parisad  (WHP) , Dr Mangku Pastika, menyambut sangat baik metode pengabenan Shiva Sumedang ini. Apalagi disemangati suasana hati suci dan tujuan mulia. "Saya menyambut baik, Pengabenan Shiva Sumedang ini adalah salah satu solusi yang baik melakukan swadharma bhakti kepada orang tua, sebab  ada  menganggap  ngaben itu sebagai  beban. Agar umat Hindu tetap eksis  mau tidak mau harus diselamatkan dengan cara  solusi bijaksana, dimana beban yang dirasakan umat harus diringankan dan dikurangi secara perlahan. Tetapi sudah pasti  tanpa mengurangi esensi, " pinta Mantan Gubernur Bali itu.
Hindu sangat adaptif terhadap perubahan, sesuai Desa Kala Patra. Intinya  Sanathana  itu adalah Nutana yakni  abadi tetap remaja atau chiranjiwi.  Jadi, kalau kita kaku, hanya berpendoman  masa lalu,  sering kemudian diapresiasi sebagai suatu yang ribet, menyulitkan sehingga jadi beban.  "Perubahan secara bijak dan ideal harus dilakukan, namun  bukan berarti menghilangkan budaya yang merupakan hasil cipta rasa karsa yang luhur. Perubahan itu menyusuaikan agar kita tetap survive, dan juga tidak ada konversi - pindah agama, "  ujar mantan Kapolda Bali dan Kalahar BNN itu.
Gerakan perubahan perubahan cerdas dan bijak sangat  bagus. "Gerakan ini saya sambut baik dan dukung, " tambah salah satu anggota DPD Bali itu
Memang realitasnya, ada juga kelompok  comportable - sudah ada di zone nyaman - yakni mereka cenderung  tidak mau berubah. Dan kemudian  memberi pengaruh bagi umat, sehingga  memunculkan  alasan  "takut" kepongor. Ada pula tidak masalah melakukan karena  dalih  "gengsi" sebagai  motifnya. "Mestinya beryadnya itu landasannya bakti yang murni full keilklasan"
Yadnya itu pada hakekatnya ada dalam frame dasar  triguna - satwika, rajasik, tamasik. Beryadnya yang ideal itu harusnya dengan rasa bakti penuh penyerahan diri tanpa pamerih.
"Kenyataanya sengaja membuat  yadnya besar , supaya dibilang tidak nista. Diliput dijadikan berita besar  hingga menyentuh biaya Rp 3 miliar. Hal seperti itu tergolonng upacara  rajasik, mereka itu inggin dibilang hebat," tambahnya
Celakanya masyarakat  tidak mau kalah. Maka kemudian apa yang terjadi, melakukan upacara pitra dengan cara berutang. Ada carik  , sawahnya diiklaskan dijual, SK digadaikan di bank. Di sisi lain ada sebagian pihak ngalih bati - mencari untung- , " upacara model itu tergolong tamasik.  Dosa, ngalih untung  untuk  yadnya itu  besar sekali. Karena itu, mana yang kita pilih ?.  "Mari kita pilih sesuai  semiloka ini , sebab ada suatu  proses transformasi dari ritual ke spiritual, " tambah lulusan terbaik Akpol itu.  Karena itu kemudian dengan nada kritis Dr Mangku Pastika  bertanya apakah  yadnya ngaben itu  ukurannya bebangkit?. Atau yadnya Utamaning utama ?. Banyak masih belum paham esensi yadnya itu. "Masih bagus belum ada yang nanyak. Apa makna itu, untuk apa substansinya  ini," kata Pastika bergurau yang disambut gerr hadirin.
"Setuju Pengabenan Shiva Sumedang itu sebuah pilihan yang bagus" yakin tetap pada substansi makna prosesi pitra yadnya, dari jasad, tulang, atma menjadi Dewa Pitara. Lalu bagaimana  halnya  kalau ada memotoh, judi,, minum, narkoba. "Apakah mereka layak jadi Bhetara," kritik Dr Mangku Pastika. Dia  sendiri yang  sudah berusia 69 ini, bertekad bulat  memanfaakan sisa hidupnya, agar layak jadi bhetara. Layakkah  kita semua menjadi bethara?
Dirikan Koperasi Ngaben
Ketua DharmaAdyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba yang berencana menggelar prosesi tingkat Diksa  trijati di India, menyatakan pelaksanaan yadnya untuk  "roh" dan lainnya,  harus ada kesepakatan antara Sang Tapini, Pamuput, dan sane Medue Karya. Kesepakatan  sarwa prani hitangkari. Kembali  ke makanisme asal perlakuan, parikrama atau seremoni itu. Terkait, prosesi  Ngaben , kalau umat percaya tidak masalah , hal itu misalnya dilakukan dengan ritual  dibakar cara Homa Traya, Homa Yadnya, Agni Hotra dan lumrahnya dengan tradisi local genius Bali yang diwarisi secara turun temurun. Kata Ngaben itu  tidak serupa dalam perlakuan vokal , p b m yang sebetulnya masih satu artikulasi  dengan kata produksi Prapen, kemudian menjadi Ngaben bukan Paben. Terkait Ngaben itu, kita  lihat  utility - ketepat gunaan-   Karena itu kita tidak perlu bertengkar. Misalnya ada yang memilih Ngaben  dengan menggunakan  Api Suci Homa Traya. Hal itu sesungguhnya  tidak masalah. Sebab Pedanda, Sulinggih , Pandita  menggunakan juga api yang disebut Pedamaran. Yadnya homa  dalam  diri kita dengan kunda  nabi rahasya, dengan sapta atma dan sapta ongkara, dalam proses Dagdi Karana. Biarkan kearifan lokal itu mengalir. Apa yang diaben/ apa yang dibakar, jenazah , tulang dengan  atman - jiwa - perlakukan dengan  ngaskara - satu jenazah  dibakar  kemudian Dewa Pitara dilinggihang  di merajan.
"Dalam prosesi  ritual itu semua jenis badan  diprosesi suci. Baik  itu stula sariranya dipreteka, suksma sariranya dengan ngewangun dan ngajum, atma dengan ngadegang  sawa, Kita meyakini  ada kehidupan  pada dimensi  lain yakni rumah  rong telu di Mrajan masing masing. Kalau ngaben dianggap  wajib, maka kita perlu manajemen dengan baik sejak dini  sehingga pada saatnya masyarakat tidak susah. Ayo kita nabung sedikit. "Mari kita buat Asuransi Ngaben,  dalam wadah Koperasi. Mungkin dengan dana abadi Rp 5 juta. Kan sangat terjangkau. Dengan jaminan dikremasi tuntas di Mumbul dan kemudian Ngelinggihang. Ketika dimanejerial  dengan bagus, jadi umat  tidak ada masalah dengan dana , saat  kelayusekaran  dan pasti masuk sorga. "Hal itu  penting diatensi, agar jangan hidup sudah susah, mati pun susah. Dengan ikut Koperasi, hidup  bahagia dapat swarga masuk ke Shivaloka . Mari bangun pola pikir yang bijaksana. Maka pastinya yang sulit akan  jadi gampang. Yang gampang jadi terjangkau.
"Tidak ada yang salah. Harapan saya mari kita bersatu padu, mewujudkan jagadhita dan moksartam. Dan membuat Koperasi Pengabenan, " pinta Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba
Dari Kingkara Jadi Shankara
Sedangkan, Dr Made Suasti Puja, dengan rendah hati dirinnya mengatakan bahagia jadi pengayah. Ia mempercayai pada evolusi manusia ada proses elevasi spiritual  dari kesadaran  Kinggarabala  menjadi Shankara. Sebagai Mantan Ketua Swarga Shanti ini, ia percaya pada akhirnya manusia  yang lahir  itu menjadi Dewa Hyang / Dewa Pitara dan menyatu dengan Tuhan. Sejatinya tujuan hidup kita adalah mewujudkan "Atmanah mosahrtam jagadhita ya ca. Karena itu,
Mantan Ketua Sabba Walaka PHDI Bali, itu mendorong kita harus  terus menerus bershadana ekstra, berupaya kerja keras  mewujudkan  atma saksatkara - realizasikan diri , jagadhita lahir dan bhatin. Fokus pada Kesadaran  Atma widya / Brahma Widya ,  jnanaagni yang dapat membebaskan kita semua dari belenggu derita duniawi
Jangan Ajum Amah Gengsi
Pembicara Utama Seminar itu tampil paling terakhir selaku keynot speaker ,  dan juga sekaligus pada Sesi II  menjadi Nara Sumber Loka Karya Siva Sumedang  itu,  ia adalah Srimpu  Nabe Abra Bhaskara Mukti Biru Daksa. Suasana dibuat meriah , banyak tawa audensi mengapresiasi narasi narasi kocak dan guyonan segar sang orator  top itu. Kata kata yang disampikan dengan juke juke menggelitik , tidak pelak membuat audiens ketawa terpingkal pingkal. Penjelasan  Pangeban Siva Sumedang itu benar benar dibedah secara   holistik,  sistematis, terstruktur. Bisa jadi karena Beliau telah memimpin upacara itu bukan lagi belasan, tetapi puluhan kali. Menurutnya, dalam  penyamaan visi Pengabenan ala Shiva Sumedang ini tetap harus menggunakan wiweka. Menentukan pilihan tentu berdasarkan Iksa, - pahami dulu,  Sakti - ukur  kesaktian dananya, kude isi kantonge, Desa --- , tempat  pelaksanaanya, dan Kala -  waktu. Siapa  berani dengan kala yang  paling kejam itu. Kala tidak bisa diajak kompromi alias KKN. Karena itu idealnya begitu meninggal harus diupacarakan dengan baik walaupun  simple hal itu tidak masalah. Hidup sebagai manawa kita ini punya utang pitra rnam. Utang itu menuntut dibayar segera, karena itu pengabenan itu semaksimal mungkin harus diusahakan. Kita harus bayar pengorbanan orang tua yang sudah beryadnya sejak kandungan kepada kita dengan tulus, bukan  saja orang tua kita itu atulungurip, angupadyaya abelapati - demi sukses anak anaknya. Begitu besar  pengorbanan orang tua kita. "Karena itu jangan  pernah kita tidak membalas budi baik dan unlimited orang tua kita. Maka kalian wajib  bayar utang itu, menghormati nya dengan cara memberi pengakuan dan yadnya yang pantas . Pitra yadnya sekala, menolong orang tua. Moksartham jagadhita --- patru mitru wandanam "You must believe full" harapnya, yang disambut terpingkal pingkal hadirin. Dan juga melakukan yadnya secara niskala. Lalu apa itu pitra yadnya niskala. Yadnya niskala itu merupakan satu paket prosesi dari  tiga upacara sawa  wedana -pengeringkesan , Asti wedana - nguyeh tulang ngayut ke pasih Atma wedana - memproses yang membungkus ngaskara penyekahan - apang tidak negul atma sarira budal ke sunya.
Sulinggih idealnya  bukan saja sebagai  konseptor yang baik. Sang Dwija juga wajib sebagai konselor sekaligus juga sebagai motivator serta inovator. Dan terakhir yakni  terpenting selaku  eksekutor, karenanya sang dwija harus mampu mengeksekusi dengan baik. Â
Setelah prosesi Atma wedana - kemudian menjadi Dewa  Pitara - sesuai tradisi kemudian ngelinggihang  di Sanggah Rong Telu Kemulan. Sesungguhnya setelah prosesi atma itu,  sudah  selesai karena sang Dwija dengan tantra, mantra, kuta mantra , yantra dan mudranya  serta pranawa, mengantarkan sang roh meniti jalan sunya,  manjing ring Sangkan Paraning Dumadi. Lalu kenapa dilinggihkan di Sanggah Kemulan ?. Sudah tentu , agar pratisentanenya - keturunannya - ketika rindu ingin  mengenang  jasa jada beliau Hyang Dewanya, cukup melalui  Sanggah Kemulan saja.
Memang manarik salah satu metode Pengabenan  Shiva Sumedang ini  diangkat dalam semiloka Nasional, jika menilik etimologi nya memang serem / angker sekali . Shiva Sumedang itu terdiri dari Shiva dan Sumedang. Maknanya Dewa Shiva turun menggaib-kan dengan bhisama puput dan prosesinya selesai  hanya dilakukan di setra. Sebab, dalam prosesi Pengabenan itu diyakini sangat kental  intervensi dan berkah  Shivanya. Lalu kenapa masih ada keraguan. "Mari belajar memprosesi  kematian orang tua kita dengan baik  dari sekarang," harap  Srimpu Abra Baskara.
Terkait pengabenan di Bali,  dasar hukum sastranya memang banyak, jika dihitung hitung, malah  lebih dari  50 lontar.
"Intinya prakerti itu kembali ke Bhuana  Agung . Sedangkan Atma / Paramatma menyatu dengan Purusha ke Sangkan Paramaning Dumadi, " tegasnya.Lalu bagaimana ketika menghadapi kelayusekaran itu. Langkah pertama harus membentuk  panitia kecil , kemudian menetapkan pilihan, misalnya dipilih cara Pengabenan Shiva Sumedang.  Jazad diringkes sesuai makanismenya, kemudian  berangkat  ke setra, yang belum  --- mengetus - natab penyambutan menghilangkan  kedukaan, mapepegat - meperas jalan - bayar tol setiap perempatan. Selanjutnya saat iring iringan  stana pitra dan yang paling belakang adalah  sulinggih. Mungkin aneh, demikian lah model Siva Sumedang itu. Setelah di setra jenazah  dibakar, pangadeg dibawa ke prajapati. Sulinggih munggah ngarga tirta, melakukan weda puja , kemudian  ngaskara pengabenan, medyus kamaligi , melukat menjaga jaya menghadap ke surya dan mengundang dewa dewa terkait. Juga dilakukan penebusan ke prajapati, by pass margatiga. Setelah itu  sembahyang mohon restu, purwa daksina chantingkan om namah shiva , sulinggih di Bale Pawedan nguncarang mantra mantra  Weda Pitra Puja.  Selesai  diproses itu ada prosesi peningkatan dari Pitra menjadi Pitara menggunakan mantra  Saptaomkara dan Saptaatma, setelah itu Narpana , Semua dewa - dewa diundang  pada saat mempersembahkan  jemek dijemput Puspalingga Penyekahannya. Selanjutnya Jemek dipralina ditaruh di atas jenazah yang dibakar. Saat itu  prosesi nyekah tetap jalan sampai mapetik - puncak upacara penyucian - Dewa Pitara - kemudian Ngadegang Sangge ,  distanakan  dan dijemput dengan mengundang Shiva Kailash  agar puspalingga dan Sangge itu sungkem selanjutnya  prosesi purwadaksina di sanggah cucuk - catur loka pala - lembu Nandini , kemudian munggah  ke bale  pyadnyan , Sangge, Puspalingga  diayabang  oleh semua sentananya , keluarga keturunanya "Ingat jangan tukang banten yang ngayabang. Wajib yang ngayabang itu yah yang punya karya yakni keluarga, jadi para sentanenya lah yang  ngayab dan juga menyembahyangi," harap  Mpu Abra Baskara. Setelah ngayab dan disembahyangi  oleh keluarganya. Puspalingga dan Sange diturunkan. Dewa Pitra dari Puspalingga dilinggihkan di Daksina linggih  yang Baru  dan Sanggenya  juga baru. Sedangkan yang lama dibakar .. pembakaran di penyekahan nguleg  tulang, Puspaasti pengabenan dan Puspaasti  Penyekahan.
Kemudian  dua Puspa Asti itu  ditempatkan di  Daksina Linggih yang baru, selanjutnya  mecaru di Pemuun mengucapkan terimakasih lalu  memargi  ke Segara. Ketika Puspa Asti sudah berangkat ke Segara,  di Mrajan di rumah juga sudah dikondisikan dilakukan pecaruan. Segenap  pecaruan itu disambehang ke pekarangan. Sedangkan di laut  dilakukan prosesi  dua  Puspaasti, yakni nganyut nyegara dan juga meajar ajar SegaraGunung,  dengan prosesi  Pratista. Dasarnya ada  tiga lontarnya:, Purwa Bumi Kemulan,Lebur Sangsa dan Medang Kemulan.
Penyempurnaanya kita selalu wajib melakukan penghormatan sembah kepada laut dan darat karena itu dilakukan lah  prosesi Nyegara Gunung itu  sebelum Ngelingihan Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan.  Puja kepada Bethara ke Laut adalah kepada Sang Hyang Baruna dan Darat nya Sang Giripati. Sejatinya beragama itu domainnya sradha - kepercayaan. Karena itu sampunang  merasa sombong  apalagi ajum amah gengsi. Demikianlah benang merah Tatanan / Mekanisme Pengabenan Shiva Sumedang, yang terkuak  di sesi Seminar  dan Loka Karya - Semiloka -  Nasional , yang mengangkat Subtema , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu. Acara itu  , digelar di Gedung PHDI Bali Sabtu 7 Maret 2020. Kirang langkung druwenang lan aksamaang , om tat sat om kham brahma om
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H