Mohon tunggu...
I Wayan Gede Suacana
I Wayan Gede Suacana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pemerhati Sosial, Peminat Yoga Asana dan Meditasi

Membaca dan menulis untuk aktualisasi diri, praktik yoga asana dan meditasi untuk realisasi diri. Menjalani hidup apa adanya, menghargai keberagaman yang memancarkan keindahan sebagai manifestasi kesatuan dalam variasi. Motto: Unity, Purity, Divinity. Penulis Majalah Mahasiswa (1988-1990); Pengelola/ Redaksi Jurnal Politik Sarathi dan Jurnal Sosial dan Politik Sintesa (1991-2013); Blooger Bali Sai Amrita (Maret 2009-Februari 2014); Penulis Kolom Opini Harian Umum Bali Post (2003-2013); Penulis artikel pada Media Online/ Citizen Media: Atnews, Majalah Sraddha, Kompasiana dan Opinia (Januari 2024-sekarang); Dosen dan peneliti di Universitas Warmadewa Denpasar (1991- sekarang); Peminat yoga asana dan meditasi (1988-sekarang); Pemenang I Lomba Esai yang diadakan oleh Ikatan Wanita Penulis Bali (2008). Alamat E-mail: suacana@warmadewa.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngaben Shiva Sumedang, "Shiva Yang Gaib, Sebuah Pilihan Bijak"

12 Januari 2025   10:34 Diperbarui: 12 Januari 2025   10:34 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ngaben, Sumber: AI

Dirangkum oleh Moderator: Sadhu Giriramananda, pada Lokakarya  Nasional yang Digelar di Gedung PHDI Bali, Sabtu 7 Maret 2020Metode Pengabenan Shiva Sumedang  atau Shiva yang gaib- adalah salah satu dari 12 metode pengabenan  tradisional Bali,  mengacu dan  mengadopsi "Lontar Lontar  Local Genius Bali" yang tersurat. Pilihan pengabenan Shiva Sumedang di zaman now ini , sejatinya  bisa dikatakan keputusan bijaksana, di tengah pengaruh kaum  milineal , era 4.0  gen Z yang mereka itu  punya "nafas" mindset, kecendrungan  menuntut laku serba praktis, efektif dan efisien. Atas tuntutan zaman  itu, ada suatu motivasi dan kreasi melakukan suatu langkah  cerdas  (out of box) dengan mengulik dan berjalan sesuai  landasan kitab/sastra kuno Bali. Intinya tetap berlandaskan plutuk basic yadnya, dengan tanpa  mengurangi esensi, hakekat mekanisme  tatanan local genius Bali yang sudah diaplikasikan  menjadi tradisi secara turun temurun itu.


Terkait skema  Pengabenan secara umum  diuraikan: Ngaben  Sawa  Prateka  swargane kelod, sane  Ngaben  Nyawa Wedana  kauh swargane, sane Ngaben  Pranawa,  kaja swargane, Ngaben Swasta, kangin swargane, kemudian Rcadana   Pitra Yadnya, Pitra Shiva Sumedang,  ditengah swargane. Justru pengabenan ne alit swargane nembus Linggih   Shyang Hyang Shiva" demikian disebut mengacu  skema pengabenan. Ada, juga anggapan semakin kecil (kanista),  unsur kelalaiannya  semakin sedikit , namun terkait  hasilnya diyakini  juga  bagus. Karena itu, sejatinen  "Nak aluh" megama di Bali, banyak audiensi  koor merespons, "Ne keweh nto gumanti  gengsi ajak belog,"
Menguak jenis Pangabenan selain Shiva Sumedang, yang dilakukan secara ngelanus (sehari tuntas)  sejatinya masih ada  11 jenis pengabenan lainnya jika mengacu pada  Buku Kumpulan Weda Puja Pitra Shiva  (Dinas Kebudayaan Bali 2001). Pengabenan lainnya itu yakni  : 1. Sawa Prateka, 2. Sawa Wedhana, 3. Pranawa, 4. Swastha, 5. Pitra Puja, 6. Sawatandangmantri, 7. Utamaning atau Madyaning Mapranawa, 8. Supta Pranawa, 9. Swastya Bya, 10. Swasta Geni, 11. Pitra Tarpana. Lalu bagaimanakah hakekat Pengabenan Shiva Sumedang itu?


Pelaksanaan Pengabenan Shiva Sumedang khususnya meniti  tatanan prosesi Pengabenan jalan (pemargi) Shiva yang gaib. Sumedang maknanya  adalah  gaib, niskala. Intinya, pola  pengabenan  Shiva Sumedang itu  dilakukan secara ngelanus - artinya sehari selesai bahkan bisa dituntaskan (puput 7 jam). Mengacu isi lontarnya sebagai berikut : "Kramaning atiwa tiwa , nistanya upakara anglanus sane maupakara pramangke. Nista, madhya , uttama pemalakunya. Kramanya, tat pawadah , tan patulangan, tan padamar kurung. Ringkes juga sawa ika. Upakaranya mabanten teben, mabebangkit 1, gelar sanga 1, kewala saji muah nasi angkep satakep muang pacaruan. Swarganya ring tengah, kawahnya weci desa, pengadang adangnya sang bhuta anggasakti, cikrabalanya watek danuja, widyadharinya sang suparni,wikinya Nilaruci, Dewanya Sang Hyang Shiva, wewalennya  gambang, pamuputne ring seme. Tirtanya amertha sanjiwani, Shiva Sumedang upakara  iki"
Artinya: Tata sara upacaranya adalah sangat sederhana, prosesi upacaranya "ngelanus" yang diupacarai dalam sehari sekaligus. Selesai dengan menggunakan tirta pangentas, dengan ketentuan sederhana, menengah, dan utama sesuai dengan yang dikehendaki. Caranya tidak memakai wadah, tidak memakai perabuan, tidak memakai damar kurung, namun melakukan upacara pengeringkesan terhadap mayat. Upakaranya, menggunakan banten teben, menggunakan seperangkat banten pebangkit, demikian juga seperangkat banten gelar sanga, menggunakan nasi angkeb dan saji seperangkat, beserta caru seperangkat. Sorganya di tengah, nerakanya kotoran. Penghalangnya buta anggasaki, laskarnya para danuja, bidadarinya suparni, pendetanya Nilaruci, dewanya Sang Hyang Shiva. Walinya gambang. Tempat upacaranya di kuburan. Air sucinya Amerta Sanjiwani. Itulah upacara Shiva Sumedang"

Proses pelaksanaanya,  persiapan ngeringkesnya dihelat  di rumah, namun  prosesi  badan wadagnya beserta ngaben  dilakukan di setra - menyucikan jiwa dari segala papa, klesa menjadi atma yang murni kembali ke Sangkan Paraning Dumadi yang   sebelumnya dilakukan ngeroras di Segara yang ada Gunungnya. Memang  dipilih tempat suci antara segara dan gunung ada pada posisi menyatu. Seperti  di  Pura Goa Lawah atau Pura Uluwatu. Setelah ritual Nyegara Gunung itu tuntas, selanjutnya balik ke rumah genah sang lampus, di sana dilakukan ritual Ngelinggihang  di Rong Tiga, Merajan genah rumah sang lampus,   menjadi Dewa Pitara. Nah.. demikian dirangkum "Semiloka  Nasional - Seminar dan Loka Karya Shiva Sumedang , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu" digelar Yayasan VPA Pusat,  bekerjasama dengan Swargashanti dan juga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI ) Provinsi Bali. Hadir pada seminar itu  285 peserta dari Sumatra, Kalimantan,  Sulawesi, Lombok, Jawa,  212 , Hotri, Pinandita  dan termasuk   73  Sulinggih / Pandita Agni.  Tampil sebagai Pembicaara Dharma Adyaksa PHDI Pusat , Ratu Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba,  Ida Pandita Nabe Mpu Abra Baskara Mukti Biru Daksa, Ketua Sabha Walaka PHDI Bali Dr Made Suasti Puja, SE, M. Fil H, Hadir memberikan dharmawacana suci Ketua PHDI Bali Prof Dr . IGN Sudiana, M. Si, President World Hindu Parisad Dr Mangku Pastika dan Penangjawab Acara Ida Pandita  Nabe Sri  Bhagawan Agni Yogananda. Semiloka ini dimoderatori Acharya Swi Rarendra Mahadharma (sesi pertama seminar) dan Sadhu Giriramananda (Sesi II Lokakarya)

Ilustrasi Tahapan Ngaben, Sumber: AI
Ilustrasi Tahapan Ngaben, Sumber: AI

Pilihan Bijak

Penanggungjawab acara Ida Sri  Bagawan Nabe Agni Yogananda, mengungkapkan  perasaanya sangat bahagia, lebih lebih bertepatan Hari Pawetuannya / otonannya. Dengan redah hati  ia mengatakan kepada segenap hadirin yang sangat dihormati sebagai jiwa jiwa mulia dan penuh vibrasi cinta kasih. Menurutnya, Semiloka Pitra Yadnya dengan sub tema Shiva Sumedang ini, sebuah pilihan sangat bijak bagi umat Hindu di zaman now. Tema yang diangkat dalam semiloka ini bukan saja menantang  bahkan sangat merangsang. Sehinga peserta dari berbagai daerah ikut berpartisipasi. Di antara jenis jenis yadnya, Pengebenan Shiva Sumedang  ini sebetulnya ritual yang sudah dilakukan sejak zaman Purba. Namun dalam aplikasinya warga sering mengalami kebingungan menempuh pilihan jenis serta rujukan referensi petunjuk pegelarannya, sehingga pilihan terakhir minta petunjuk balian. Relatif  banyak  mengabaikan kitab suci/ sastra secara murni sebagai pedoman dominan. Nah kemudian hasilnya lain kata  balian, lain pula bawos pewisiknya. Maka parahnya kemudian bukan tidak mungkin akhirnya  ngaben itu bisa diulang. Agar tidak muncul kejadian seperti itu, kalau tidak punya sradha / keyakinan mau tidak mau dituntut lebih bijak mempelajari kitab suci, sastra atau tatwa dari Pengabenan itu.
Namun di sisi lain ada  fenomena  penyelenggaran pitra yadnya ngaben itu dengan stigma "ngabehin" . Karena itu tidak salah   hal itu justru menjadi  suatu  beban pihak pihak yang tidak memiliki dana memadai.
Dari pelaksanaanya prosesi ngaben itu dikelompokkan  menjadi   9 macam yakni:  nistaning kanista, nistaning madya, nistaning utama, madyaning kanista, madyaning madya, madyaning utama, utamaning kanista, utamaning madya lan utamaning utama.
"Sesungguhnya  yang mana saja dipilih, tidak ada yang salah. Terpenting sesuai  dengan sradawan labate jnana - srada dan melalui pengetahuan itu menjadi keyakinan yang teguh," tambahnya

Akan halnya prosesi  Shiva Sumedang itu efektif , teknis nya dilakukan di zaman now, substansi dan  mekanismenya, ada prosesi pemisahan  stula sarira  dan suksma sarira, sekaligus sambil menunggu pengabenan sesi atma/ ngeroras jalan terus. Kemudian Puspalingga dan Sange diprosesi  di segara , dengan desain tempat yang ada,  nyegara gunung nya , selanjutnya Ngelinggihang Dewa Pitara  di Rong Telu Mrajan. Karena itu tidak aneh , jika durasi waktu yang diperlukan dari prosesi Shiva Sumedang itu bisa sehari tuntas.  

Semoga Jadi Bhisama

Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si, selaku Ketua PHDI Bali saat itu, mendukung penuh semiloka nasional Shiva Sumedang ini. Bahkan, hasil semiloka itu  diharapkan bisa dikumpulkan, kemudian dipakai bahan dalam pesamuan nasional PHDI Pusat nantinya. "Nanti bisa dibawa ke pesamuan agung. Semoga bisa menjadi bhisama terkait pitrayadnya yang efektif dan efisien," harap Rektor Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa itu.
Prof Dr IGN Sudiana, juga menegaskan dirinya secara pribadi  sering turun terlibat pengabenan massal. Seperti di Muncan,  PHDI bekerjasama dengan Telkomsel. Di masyarakat masih  ada masalah berbagai hal pada umat,  sebab ada  hingga   7 keturunan belum diprosesi ngaben. Menurut , Yama Tatwa  jika kurang setahun tidak diaben, nanti berpotensi menjadi bute cuil. Pengabenan Shiva Sumedang yang dilakukan secara ngelanus alias selesai sehari ini sangat bagus. Karena itu Seminar Lokakarya Nasional ini sangat strategis dan bijak sebagai salah satu pilihan ngaben. "  Sebetulnya banyak  ada  pilihan ngaben, manut eka struti binacara" Upacara Ngaben di Jawa, Kalimantan, Sulawesi satu jenis saja ada yang disebut Tiwah,  Turan  turan,  Nyewu. Memang pilihan model pengabenan  di Bali  banyak ragamnya. "Namun semua jenis pengabenan    itu sah - sah saja" tegas Prof IGN Sudiana. Yang terpenting substansi  upacara itu dilakukan dengan hati  tulus las carhya dengan penuh sradha . "Karena itu rumuskan dengan  baik  prosesi Ngaben Shiva Sumedang ini," pinta IGN Sudiana menekankan.

Solusi Bijaksana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun