Mohon tunggu...
I Wayan Gede Suacana
I Wayan Gede Suacana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pemerhati Sosial, Peminat Yoga Asana dan Meditasi

Membaca dan menulis untuk aktualisasi diri, praktik yoga asana dan meditasi untuk realisasi diri. Menjalani hidup apa adanya, menghargai keberagaman yang memancarkan keindahan sebagai manifestasi kesatuan dalam variasi. Motto: Unity, Purity, Divinity. Penulis Majalah Mahasiswa (1988-1990); Pengelola/ Redaksi Jurnal Politik Sarathi dan Jurnal Sosial dan Politik Sintesa (1991-2013); Blooger Bali Sai Amrita (Maret 2009-Februari 2014); Penulis Kolom Opini Harian Umum Bali Post (2003-2013); Penulis artikel pada Media Online/ Citizen Media: Atnews, Majalah Sraddha, Kompasiana dan Opinia (Januari 2024-sekarang); Dosen dan peneliti di Universitas Warmadewa Denpasar (1991- sekarang); Peminat yoga asana dan meditasi (1988-sekarang); Pemenang I Lomba Esai yang diadakan oleh Ikatan Wanita Penulis Bali (2008). Alamat E-mail: suacana@warmadewa.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Seni

Seni Yang Menghaluskan Budi

5 Januari 2025   21:38 Diperbarui: 6 Januari 2025   05:06 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Tari Nelayan, Sumber: Dokumen Pribadi 

Aku beruntung karena berkesempatan menjalani kehidupan seni dengan belajar dan  membawakan Tari Nelayan ketika masih kanak-kanak (1975-1978) dan remaja (1988). Sebuah  kenangan indah yang sangat sayang untuk dilupakan.

Tari Nelayan sendiri diciptakan oleh Bapak I Ketut Merdana dari desa Tanjung , Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan pada tahun 1936. Tarian ini menghadirkan gerak yang diadopsi dari gerakan-gerakan para nelayan dalam menjalankan aktivitas menangkap ikan. Dengan melibatkan biasanya tiga orang penari berkelompok, tarian ini dimainkan dengan gerakan seperti mendayung, menebar jala dan lain sebagainya. Semua gerakan yang tersaji lebih menggambarkan kerjasama nelayan dalam mencari ikan. 

Perkembangan dan Karakteristik

Sebelum berkembang menjadi salah satu tarian khas Bali yang sangat populer, pada awalnya, Tari Nelayan hanya ditarikan pada saat ada upacara keagamaan Hindu di Bali. Pada tahun 1950-an, Tari Nelayan mulai dikembangkan sebagai tarian hiburan dan pada tahun 1960-an, Tari Nelayan mulai dikenal secara luas di Bali dan menjadi salah satu tarian khas Bali. Pada tahun 1970-an, tari ini mulai ditampilkan dalam even-even  budaya tertentu di Bali dan pada tahun 1980-an, Tari Nelayan mulai dikemas dengan gaya yang lebih modern dan dinamis. Selanjutnya pada tahun 1990-an, tari ini mulai ditampilkan di luar Bali, seperti di Jakarta dan bahkan di mancanegara. Paat ini, Tari Nelayan menjadi salah satu ikon budaya Bali dan sering ditampilkan dalam acara-acara budaya dan pariwisata.

Adapun karakteristik Tari Nelayan adalah gerakan yang dinamis dan cepat dengan diiringi musik gambelan yang menggabungkan seperangkat  instrumen gambelan Bali seperti gong, riong, cengceng, kendang dan suling. Kostum yang dikenakan penarinya mencerminkan pakaian nelayan tradisional dan alur cerita tarinya menggambarkan kehidupan nelayan. Jenis-Jenis Tari Nelayan ada beberapa diantaranya, pertama, Tari Nelayan Klasik: versi asli yang masih mempertahankan gaya tradisional. Kedua, Tari Nelayan Modern: versi yang lebih dinamis dan modern. Ketiga, Tari Nelayan Kontemporer: versi yang menggabungkan elemen-elemen modern dan tradisional.

Menari Untuk Ngayah

Pada mulanya  aku sempat bergabung dengan Kelompok Tari Anak yang yang diinisiasi oleh beberapa Pengurus Banjar Penestanan Kaja Ubud. Desa Penestanan sejak dahulu dikenal sebagai Desa " Young Artist", karena pada era 1970-1990 di desa ini banyak seniman lukis yang menghasilkan lukisan bercorak "Young Artist" dari Arie Smith seorang wisatawan berkebangsaan Belanda yang lama tinggal di Ubud.

Selain Tari  yg dibawakan oleh tiga anak laki: I Ketut Karta, I Made Gede Udhiyana dan aku, dalam Kelompok Tari ini juga ada Tari Panyembrama dibawakan oleh empat penari anak perempuan, Tari Wiranatha, Tari Margapati, Tari Tenun (dibawakan tiga penari anak perempuan) dan Tari Oleg Tambulilingan.

Guru tarinya Bapak I Nyoman Djajus BA (alm.) pemilik sebuah Sanggar Tari di Denpasar dan Bapak I Wayan Redig,  kini beliau aktif sebagai guru yoga dan meditasi di Taman Yoga Banjar Blumbungan Desa Sibangkaja Abiansemal Badung, setelah purnabhakti sebagai  dosen Program Studi Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar.

Kami selalu ngayah (kegiatan tulus tanpa imbalan) bersama Kelompok Tari itu dengan diiringi musik gambelan Bali oleh Sekeha Gong Banjar Penestanan Kaja dibawah pimpinan Bapak Njoman Tjakra ketika  ada piodalan di setiap Pura Desa Adat Penestanan Ubud tahun 1975-1978.

Beberapa kali pernah pentas atas pesanan tamu mancanegara di beberapa rumah penginapan atau homestay di Ubud dan Hotel La Taverna di Sanur. Imbalan pentas ini sepenuhnya dikelola oleh Sekeha Gong Banjar Penestanan Kaja.

Pada acara penutupan kegiatan Studi Komparasi Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada di Kabupaten Sumenep Madura tahun 1988, aku juga sempat mementaskan Tari Nelayan yang dibawakan sendiri saja (karena tidak ada pasangan tari saat itu),  di hadapan para pemuka Keraton Sumenep dan pejabat pemerintah Kabupaten Sumenap.

Walaupun dengan pakaian seadanya, tanpa celana panjang dan sabuk standar, yang aku pinjam di Asrama Saraswati Yogyakarta waktu itu, aku masih percaya diri untuk menarikan tarian yang aku pelajari dan bawakan sejak SD itu.

Foto Tari Nelayan, Sumber: Dokumen Pribadi 
Foto Tari Nelayan, Sumber: Dokumen Pribadi 

Menari Menghaluskan Budi

Pengalaman membawakan seni tari menurutku bisa memberikan beberapa manfaat. Pertama, Aspek Filosofis, menari memberikan Ekspresi Diri: Menari memungkinkan individu mengungkapkan emosi dan pikiran secara kreatif, memperkuat kesadaran diri dan pengakuan terhadap perasaan; Kesadaran Tubuh: Gerakan tubuh yang harmonis dan terkontrol membangun kesadaran akan tubuh dan ruang sekitar, menciptakan keseimbangan antara fisik dan mental; Katarsis Emosi: Menari dapat menjadi sarana pelepasan emosi negatif, memperbarui dan menyegarkan pikiran. Kedua,  Aspek Psikologis menari menyebabkan Pengembangan Kreativitas: Menari mendorong imajinasi dan inovasi, memperkaya kemampuan berpikir kreatif; Pengurangan Stres: Aktivitas fisik dan ekspresi artistik menurunkan tingkat stres dan kecemasan; Pembangunan Percaya Diri: Menari meningkatkan kesadaran diri dan kepercayaan diri melalui penguasaan gerakan dan ekspresi. Ketiga, Aspek Sosial menari Komitmen dan Disiplin: Menari membutuhkan dedikasi dan disiplin, mengembangkan kemampuan bekerja sama dan menghargai proses; Komunikasi Non-Verbal: Gerakan tubuh mengkomunikasikan emosi dan gagasan, memperkuat hubungan interpersonal; Penghargaan terhadap Tradisi: Menari dapat melestarikan warisan budaya dan menghormati nilai-nilai luhur. Keempat, Aspek Spiritual menari bermanfaat untuk Koneksi dengan Diri Sendiri: Menari memungkinkan individu menghubungkan diri dengan pikiran, tubuh, dan jiwa; Pengalaman Transendental: Ekspresi artistik dapat menciptakan pengalaman spiritual yang mendalam; Kesadaran Kosmik: Menari menghubungkan individu dengan alam semesta dan kekuatan yang lebih besar.

Dengan demikian menari tidak hanya sekadar gerakan fisik, tetapi juga proses pengembangan diri yang holistik. Dengan menggabungkan aspek filosofis, psikologis, sosial, dan spiritual, menari dapat menghaluskan budi, memperkaya kesadaran diri, dan meningkatkan kualitas hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun