Pertemuan kemarin itu betul-betul menyisakan sejumlah pertanyaan yang mungkin agak sukar untuk mencari jawabannya. Sambil rebahan di sofa kupandangi dinding yang berwarna  ungu beberapa figura yang berisi foto.Â
Ada satu foto yang membuat penasaran hingga membuatku beranjak dari sofa. Disaat hendak berdiri, tiba-tiba tuan rumah muncul dengan membawa nampan yang berisi dua gelas, dari warna dan aroma sepertinya air jeruk hangat.Â
Kuurungkan niatku sambil tersenyum. Dan diapun membalas senyuman, seakan aku lebih membutuhkan senyuman itu daripada segelas air jeruk hangat. Itu betul.Â
Dulu aku pernah dibuatnya tak berdaya, malam susah tidur dan dada ini selalu bergetar hebat jikalau berpapasan dengannya. Itu dulu. Dengan berjalannya waktu aku berusaha rileks, tak baik punya pikiran yang macam-macam dengan istri orang.Â
Ya, dia telah bersuami kan seorang dokter. Kalau mengingat kejadian itu rasanya aku ingin berlari sejauh mungkin. Bagaimana tidak, kami berpacaran selama tiga tahun, dari kelas satu SMA sampai lulus.
Di saat  aku meneruskan kuliah, tiba - tiba dia memberi kabar bahwa akan dijodohkan dengan seorang calon dokter. Tak ayal lagi ini membuatku tidak fokus diawal perkuliahan.Â
Hari - hari kulalui dengan kesibukan merapikan senyumannya yang berceceran di setiap tempat yang kusinggahi. Seperti orang gila pada mulanya. Semakin ku berlari semakin cepat pula senyuman itu menghampiri.Â
Seolah tak mau kutinggalkan. Hingga pada akhirnya aku berkeputusan berdamai dengan senyuman itu, Â kuajak kemanapun. Hitung - hitung sebagai penyemangat dalam berkuliah.
Dan ternyata keputusan ku membawa dampak positif , aku selesai kuliah tepat waktu, membuat kedua orang tuaku tersenyum sumringah dan bangga atas keberhasilanku. Jadi aku memiliki  tiga senyuman yang sangat berarti, dua dari kedua orang tuaku, dan ini pasti aku dapatkan disetiap ada di rumah, dan satunya senyuman dari mantan yang tak mungkin ku dapatkan secara nyata, hanya mengandalkan kekuatan imajinasi untuk mendapatkannya. Itu saja sudah cukup bagiku.Â
Dan aku berharap dia tidak mengikuti langkahku hanya untuk sekedar mengingat senyumanku, karena aku tak ingin dia mencederai perkawinannya. Rasanya fair saat itu. Pikirku. Tapi dalam perbincangan kemarin itu seperti ada sesuatu yang  membenturkan anggapanku. Aku salah besar. Ternyata dia masih menyimpan semua memori  selama kami menjalin hubungan.Â
Tadinya aku tidak percaya atas omongan teman karibnya, Ningsih. Dari Ningsih pula aku mendapat kabar bahwa suami gadisku telah meninggal dunia. Ningsih ingat betul bahwa aku sering memanggil dia dengan sebutan " gadisku ".Â