Memasuki  20 tahun era demokrasi, ternyata masih sulit untuk mengubah budaya uang sebagai  panglima untuk mendapatakan suara terbanyak dalam Pileg (Pemilihan Legislatif),  Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) dan Pilpres (Pemilihan Presiden).  Sangat  disayangkn bila budaya seperti ini masih dipertahankan.  Akibatnya para  pemimpin terpilih saat menjadi Kepala Daerah juga berupaya bagaimana caranya untuk dapat mengembalikan modal yang sudah habis dipakai saat kampanye. Â
Di sinilah keprihatinan saya untuk muncul dan tampil di panggung politik Sumut agar budaya uang sebagai komoditi politik harus kita akhiri. Sudah banyak Kepala Daerah tertangkap KPK akibat budaya ini. Â Harus menjadi warning dan pelajaran bagi Indonesia untuk tidak lagi memelihara kebiasaan buruk korupsi. Â
Masyarakat harus diajarkan  cara berpolitik yang benar dan sehat, tidak lagi mengharap uang dari calon pemimpinnya, atau tidak menerima pemberian mereka dalam bentuk uang. Jika pola pikir ini digunakan masyarakat, ini menjadi bukti bahwa masyarakat turut serta mengubah budaya kampanye dengan menerina uang. Artinya masyarakat telah mempunyai paradigma berpolitik yang benar.Â
Demikian juga perilaku suap-menyuap. Tradisi buruk yang telah mendarah daging di Indonesia ini mestinya harus dibongkar dan dibenahi sesuai dengan cara yang benar dan bermartabat. Dengan memberi uang, ada timbal balik yang didapatkan yaitu memilih calon yang telah memberikan uang. Â Inilah berpolitik dengan cara 'primitif'. Karena uang telah menjadi panglima dan dianggap bisa menyelesaikan segala permasalahan yang ada di masyarakat. Bagaimana jika calon pemimpin yang kita pilih berdasarkan uang itu tidak berpihak pada rakyat, dan cenderung merugikan rakyat? Rakyat sendiri yang akan menanggung akibatnya.Â
Sederhananya begini; jika pemimpin yang jadi adalah hasil dari politik uang (money politik), maka dia akan berupaya mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat dia berkampanye. Sedangkan gaji seorang pemimpin terukur dan terbatas nilainya. Dari jalan mana lagi selain korupsi? Ini yang mesti menjadi perhatian masyarakat untuk lebih cerdas memilih pemimpin yang bersih, penuh pengabdian pada masyarakat.
Pendidikan pokitik yang sehat bagi masyarakat sudah saatnya dikedepankan agar dalam  berdemokrasi dapat lebih fair, sehingga sistem perpolitikan di Indonesia menjadi sehat. Sistem yang semacam ini akan mendorong kinerja seorang pemimpin juga menjadi lebih fokus serta efektif.Â
Biarlah ini menjadi perjuangan saya sendiri dan andai dengan perjuangan ini  banyak masyarakat yang mendukung, khususnya masyarakat Sumut, maka ini menjadi titik  balik  bagi demokrasi Indonesia yang baik dan sehat.  Sehingga akan berujung pada kedewasaan berpolitik bangsa. Dengan ini harapannya kita menjadi bangsa yang mandiri dan punya harga diri. Â
Dengan demikian menjadi negara yang disegani oleh  negara-negara lain di dunia. Jika kepercayaan negara-negara lain muncul, tentu akan mempunyai efek positif untuk bangsa kita. Bangsa lain pun tidak segan-segan bekerjasama dengan Indonesia, dan itu artinya kesejahteraan masyarakat dan kemajuan negara semakin terwujud nyata. ***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H