Mohon tunggu...
Hsu
Hsu Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang manusia biasa

Somewhere Only We Know

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fiksi Penggemar RTC] Paku Waktu Tilana

7 September 2015   19:16 Diperbarui: 7 September 2015   19:21 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Di tulis oleh: Hsu (19)

Paku Tilana (Paku Cinta 2 Dunia)

 

Rinai hujan senja ini tak seperti beberapa senja sebelumnya, langit semburat merah dengan tarian mega-mega kehitaman menggelayuti peraduan sang Mentari. Seolah mengerti apa yang ada dalam hati Tilana. Tiada lagi titian pelangi karena mungkin sudah berpindah ke dalam bola matanya.

Belum lagi satu dasawarsa Negeri nan makmur ini terbebas dari tirani. Ibarat sebuah ladang mungkin baru saja selesai dibuka dan belum lagi dicangkuli. Masih banyak rumput liar dan ilalang berlomba-lomba untuk mengejar matahari. Begitu banyak gejolak di sana-sini, pemberontakan, kekacauan, dan ketakutan. Banyak yang memutuskan hijah ke pulau seberang. Pulau penghasil beras dan menjadi ibukota negeri ini. Demikian dengan Ranti yang terpaksa mengikuti langkah orang tuanya yang berpindah.

Janji kembali untuk bersatu terucapkan dan telah menjadi butiran-butiran kerinduan dalam hati Tilana yang ditinggalkan.

"Tunggulah dan Kau pasti sanggup demi penyatuan kita!"

***

"Pok" tepukan di bahu menyadarkan Tilana dari lamunannya.

"Kerinduan kah yang membuatmu mematung setiap senja di puncak bukit ini?"

Tilana tak bisa lagi menyembunyikan kegundahannya. Aki Dayat seolah mengetahui semua gerak-geriknya. Baru setengahnya ia bertutur, Ki Dayat menghentikannya, seolah mengetahui semuanya.

"Ada yang begitu bersimpati dan menaruh perhatian padamu meskipun sebenarnya mustahil!"

"Puteri Aki Dayat kah?" tanya Tilana sedikit penasaran.

"Bukan. Waktu mungkin sanggup menunggu sebuah kesetiaan, namun tidak dengan tubuh rapuh kita ini!. Termasuk dirimu. Jika kau sanggup membalut tubuh rapuhmu dengan kerinduan hingga waktu menghentikannya, aku tak akan melanjutkan, namun jika pikiranmu berubah, jalan menuju pondok tinggalku tak banyak berubah dan akan selalu terbuka untukmu Tilana."

***

Waktu terus berlalu hingga Tilana akhirnya bertutur pada dirinya sendiri juga untuk Ranti yang entah di mana tiada kabar berita.

"Maafkan tentang rasa rindu yang terpaksa harus kutinggalkan!"

***

"Drek... drek... drek...!" Suara derap langkah yang begitu berat menaiki 3 undakan anak tangga dari kayu yang telah berumur.

"Masuk dan duduklah dulu, akan kubuatkan teh hangat untukmu!"

Pandangan Tilana menyapu seisi ruangan pondokan Aki Dayat, begitu kosong namun terlihat terawat, diterangi lampu minyak pada salasatu tiang kayu bagian tengah.

"Minumlah dulu barang seteguk agar kau tenang."

Tilana mengangguk dan meminumnya. Hawa dingin sedikit menghilang tergantikan hawa hangat teh buatan Aki Dayat.

"Aku sudah tak sanggup Ki, mengingat juga usiaku yang semakin menuju kepala empat. Selain rasa penasaran tentang sosok yang menurut Aki begitu bersimpati dan begitu menaruh perhatian padaku, jadi kuputuskan untuk belajar memberikan rasa dan juga perlindungan jika ada kecocokan!"

Aki dayat terdiam sejenak sambil menatap tajam ke arah mata Tilana.

"Pernahkah dan kapan terakhir kali kau bermimpi tentang pohon nangka tua di samping rumahmu yang aku tahu betul adalah ditanam oleh ayahmu namun hingga kini tak pernah berbuah?"

"Astaga??? itukah sosok yang kau maksudkan Ki?" Tilana sedikit kaget sambil kemudian mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya.

"Ya, kau pernah melihatnya dalam mimpimu? bagaimana ia menunjukkan dirinya padamu Tilana?"

"Ia cantik, kerapkali bertutur tentang kesetiaan, kerinduan, dan kekecewaan. Tapi bagaimana mungkin sementara ia hanya kutemukan dalam mimpiku?"

"Matamu tak salah memandang jika menyebut dirinya cantik. Kunti nama yang ia sebut ketika aku bertanya padanya. Pernah pula bertutur padaku, namun aku telah tua untuk menghapuskan dahaganya. Rasa yang sama dengan yang kau alami kini yang mempertemukan kalian dalam mimpi!"

"Ini ambillah. Kau punya waktu satu putaran purnama untuk berkomunikasi secara nyata. Tancapkan paku itu begitu kau menemukan ikatan rambut pada salasatu batang pohon nangka di sebelah rumahmu. Sekarang pulanglah, malam sudah begitu larut. Jika nanti pikiranmu telah kokoh akan dirinya, kembalilah ke sini bersamanya!"

***

Esok malamnya, Tilana mengikuti saran Aki Dayat. Menaiki pohonnya dan mencari dahan yang terikat rambut dengan bantuan lampu minyak. Ditancapkannya paku yang diberikan Aki Dayat pada dahan dimaksud. Getaran dan hembusan angin kencang yang datang tiba-tiba membuat tubuh Tilana tersungkur ke rerumputan di bawah pohon. Beruntung dahan yang ia naiki tak terlalu tinggi.

Begitu ia membuka mata dan bangkit sambil menahan sedikit rasa sakit, sungguh tak pernah ia bayangkan, sosok yang beberapa kali hadir dalam mimpinya kini ada dihadapannya. Menatapnya dengan penuh harapan akan dahaga kasih sayang.

Untaian kata demi untaian kata terngkai menjadi berbagai cerita, senda gurau, canda tawa, membuai keduanya dalam sebuah rasa.

***

Satu putaran purnama...

"Minumlah dulu, kalian pasti lelah!"

Aki dayat menatap keduanya, Tilana dan Kunti.

"Kami sudah kokoh Ki!"

Aki dayat menganggukkan kepalanya. 

"Kembalilah dulu, esok akan Aki persiapkan segalanya!"

"Tunggu sebentar Tilana, kemarilah!"

Tilana sejenak menghampiri... "Jangan menghadirkan kekecewaan kembali terhadapnya, karena akan jadi yang ke tiga kali dan aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi."

Tilana mengganguk tanda mengerti.

***

Segalanya telah tersatukan, Tilana dan Kunti. Nikmat duniawi pun begitu membuai jiwa dan raga mereka. Kenikmatan yang senantiasa menggerakkan pita suara Tilana di telinga mungil Kunti akan membuang jauh-jauh bahkan jika bisa membunuh semua rasa kecewa yang akan datang menghampiri diri Kunti.

***

Waktu...

***

Waktu kembali membuat gundah hati Tilana. Sekian lama tersatukan, benih-benih rasa itu belum jua menghasilkan buah. Pikiran mulai mengembara di balik ungkapan kata sayang setiap kali bertatap muka dengan kunti.

Berapa lama waktu akan mampu menyembunyikan kegundahan itu, ia pun tak tahu. Mengungkapkan kepada Aki Dayat pun menemukan jawaban yang sama sabar dan waktu.

Waktu pulalah yang hingga beberapa tahun kemudian mempertemukan kembali tatapannya dengan kekasih yang telah lama tak kembali, Ranti. 

Ranti datang dengan tatapan penuntasan janji. Tampikan demi tampikan begitu halus dan santun diutarakan Tilana kepada Ranti. Tiada menyerah mencari kebenaran dan akhirnya Ranti mengetahui jika Tilana telah memiliki ikatan dengan Kunti.

Marah dan benci mulai merasuki jiwa.

Cemburu mulai mengalirkan hawa panas dan siap membakar. Dengan segala cara Tilana pun bertekuk lutut dihadapan Ranti, bahkan di depan mata Kunti sendiri hingga tak kuasa menahan rasa sedihnya. 

***

Dengan perasaan luluh lantak, Kunti menaiki anak tangga pondokan Aki Dayat.

"Biarkan aku tinggal di sini hingga bayi dalam kandunganku ini lahir Ki. Dan setelah ia lahir aku mohon cabutlah Paku di kepalaku dan berikan kepada anakku. Mimpiku telah berbicara dan berilah ia nama Rania. Biarkan nanti ia yang mengobati rasa kecewaku ini kepada keturunan Tilana dan Ranti."

"Aku akan pergi menjauh ke tempat di mana aku tak akan lagi merasakan kekecewaan!. Aku mohon Ki."

Aki Dayat mengganggukkan kepalanya.

*Tamat*

 

 

 

Ilustrasi: "you - photography black and white" dari picslist.com

Sumber Inspirasi: Film Paku Kuntilanak dan kisah-kisah mengenai kuntilanak

~karya ini orisinil dan belum pernah dipublikasikan~

~Hsu~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun