"Minumlah dulu barang seteguk agar kau tenang."
Tilana mengangguk dan meminumnya. Hawa dingin sedikit menghilang tergantikan hawa hangat teh buatan Aki Dayat.
"Aku sudah tak sanggup Ki, mengingat juga usiaku yang semakin menuju kepala empat. Selain rasa penasaran tentang sosok yang menurut Aki begitu bersimpati dan begitu menaruh perhatian padaku, jadi kuputuskan untuk belajar memberikan rasa dan juga perlindungan jika ada kecocokan!"
Aki dayat terdiam sejenak sambil menatap tajam ke arah mata Tilana.
"Pernahkah dan kapan terakhir kali kau bermimpi tentang pohon nangka tua di samping rumahmu yang aku tahu betul adalah ditanam oleh ayahmu namun hingga kini tak pernah berbuah?"
"Astaga??? itukah sosok yang kau maksudkan Ki?" Tilana sedikit kaget sambil kemudian mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya.
"Ya, kau pernah melihatnya dalam mimpimu? bagaimana ia menunjukkan dirinya padamu Tilana?"
"Ia cantik, kerapkali bertutur tentang kesetiaan, kerinduan, dan kekecewaan. Tapi bagaimana mungkin sementara ia hanya kutemukan dalam mimpiku?"
"Matamu tak salah memandang jika menyebut dirinya cantik. Kunti nama yang ia sebut ketika aku bertanya padanya. Pernah pula bertutur padaku, namun aku telah tua untuk menghapuskan dahaganya. Rasa yang sama dengan yang kau alami kini yang mempertemukan kalian dalam mimpi!"
"Ini ambillah. Kau punya waktu satu putaran purnama untuk berkomunikasi secara nyata. Tancapkan paku itu begitu kau menemukan ikatan rambut pada salasatu batang pohon nangka di sebelah rumahmu. Sekarang pulanglah, malam sudah begitu larut. Jika nanti pikiranmu telah kokoh akan dirinya, kembalilah ke sini bersamanya!"
***