Unzhur maa qoola, walaa tanzur man qoola. "Lihatlah apa yang dikatakan, dan jangan lihat siapa yang mengatakan".
Bagi sebagian besar kaum muslim, tidaklah salah jika saya katakan mereka sering atau setidaknya pernah mendengar kalimat di atas. Boleh jadi di pengajian, sekolah, kampus, TV, atau juga medsos. Mengapa saya katakan saja "kalimat"? Karena tak jarang di antara kita mengira kata-kata itu adalah sebuah hadis Nabi. Padahal, itu bukanlah hadis.
Dari beberapa literatur yang saya temukan, ada dua pendapat terkait hal ini. Pertama, kalimat tersebut adalah berasal dari perkataan sahabat Nabi yaitu sayidina Ali bin Abi Thalib, dan yang kedua, kalimat itu hanyalah sebuah ungkapan atau kata-kata bijak semata dalam bahasa Arab. *jika Kompasianer menemukan pendapat lainnya, maka silakan tulis di kolom komentar artikel ini beserta sumbernya, ya!
Namun, artikel ini bukan ingin membahas lebih jauh mengenai sumber atau "status" dari kalimat tersebut, melainkan sekadar membedah sedikit pemahamannya yang ada di sekitar kita.
Yap, sekilas, saya kira sebagian besar orang -termasuk saya dulu- saat pertama kali membaca atau mendengar kalimat "unzur ma qola wala tanzur man qola" dan mengetahui artinya, akan berpikir bahwa itu adalah kata-kata yang mantap, bijak dan memukau.
Apakah salah? Tentu tidak.
Memanglah benar, sesuatu yang diucapkan, dinasihatkan, atau dikemukakan oleh seseorang, selama itu sudah jelas baik, tidak bertentangan dengan kebenaran (yang diyakini) atau bisa membawa manfaat, maka kita patut mendengarkan atau menerimanya. Meskipun orang tersebut -misal- dikenal sebagai orang yang kurang baik atau bahkan tidak kita kenal sekalipun.
Akan tetapi, sadarkah kita bahwa kalimat yang tampak bijak itu pada realitasnya tidak bisa berlaku atau ditujukan untuk setiap hal (?)
Misalkan:
Ketika kita ingin mencari tahu suatu fakta yang ada pada bacapres X, namun informasi yang kita dapat kemudian justru berasal dari kelompok yang mendukung bacapres Y, apakah kita yakin, informasi itu sepenuhnya valid?! Sedangkan dalam dunia politik, saling menjatuhkan lawan adalah hal yang sudah biasa dan menjadi rahasia umum, bukan?
Kemudian permisalan lainnya yang kadang terjadi di sekitar kita, yaitu sesederhana saat seorang ibu atau ayah memberi nasihat kepada anaknya untuk tidak berbicara kasar atau bernada tinggi, sedang ibu atau ayahnya itu sendiri suka bicara kasar atau bernada tinggi. Apakah si anak akan mudah menerima nasihatnya tadi? Rasanya akan sulit, bukan? Si anak bisa saja berpikir bahwa untuk apa ia mengikuti nasihat itu sementara kedua orang tuanya sendiri tidak demikian.
Atau permisalan lainnya lagi,