Mohon tunggu...
Fajar Setiawan
Fajar Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Syahid

Meminati sosial-keagamaan, bahasa dan sastra, olahraga khususnya sepak bola, dan (sedikit) politik. Menulis saat ingin dan sempat. Semoga selalu ada manfaat yang bisa didapat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Pagi di Warkop Mak Ijah

10 Oktober 2023   11:26 Diperbarui: 10 Oktober 2023   11:31 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay/12019

Suatu Pagi di Warkop Mak Ijah

***

Pukul 5 pagi dengan cuaca yang tampak akan mendung, Mak Ijah tetap membuka warkop miliknya. Sambil menunggu para pelanggannya datang, ia menyetel kumpulan siniar yang disambungkan dengan bluetooth speaker tuanya.

Rencengan teh dan kopi saset serta berbagai macam penganan pun segera ia siapkan untuk disajikan kepada para pelanggan nantinya.

"Mak, teh tawar panas satu, ya!", kata Anto yang baru datang sambil bersiap-siap duduk.

"Buset, ngeteh mulu, ngopi lah sesekali, To!", sambar Gilang yang sudah sampai beberapa menit lebih dulu bersama Parjo.

"Yeh, hak gue mau minum apa mau makan apa, bebas dong. Lah kok ngatur..", sahut Anto.

Baca juga: Esok dan Tobat

"Hahaha, iya deh iya. Bercanda, berrcyandyaa..", ujar Gilang meniru gaya bicara seorang mahasiswi yang sedang viral.

Anto, Gilang dan Parjo merupakan tiga laki-laki yang hampir setiap paginya menongkrong di warkop Mak Ijah seusai salat subuh. Anto dikenal sebagai pribadi yang ramah, Gilang dikenal dengan sifat humorisnya, dan Parjo dengan sikap dinginnya.

Ketiganya sempat bekerja bersama di suatu pabrik, sebelum akhirnya terkena PHK akibat pandemi. Kini, mereka bekerja bersama kembali sebagai kuli bangunan di sekitar kampung, yang pada hari itu mereka akan memulai pekerjaannya pada pukul 6 pagi.

"Nih, tehnya, To. Sudah siap.", ucap Mak Ijah sambil menyodorkan segelas teh hitam yang masih cukup panas.

"Mantap! Terima kasih, Mak.", balas Anto dibarengi senyum manisnya.

"Eh iya, omong-omong, gimana nih, pilihan lu pada buat Pemilu tahun depan?", tanya Anto pada Gilang dan Parjo sambil mengambil sepotong pisang goreng.

"Yah elah, harus banget apa pagi-pagi begini ngomongin politik, To? Hahaha. Gue sih bodo amatlah milih siapa nanti, asal pilih aja. Toh hasilnya paling sama, utang negara makin numpuk, keadilan makin ngawur, apalagi wong cilik kayak kita, sulit dijangkau sama mereka!", jawab Parjo dengan suara keras sambil menggebrak meja dan menyenggol teh milik Anto hingga membuat gelas terjatuh dan pecah seketika.

Anto yang belum meminum teh itu sama sekali pun sedikit tertawa sekaligus geram karena gaya Parjo yang terlalu membara sehingga menjatuhkan tehnya. Untungnya, teh panas itu tidak mengenai salah satu dari mereka.

Alhasil, Anto segera memesan kembali teh baru pada Mak Ijah dan mengatakan bahwa Parjo akan membayar harga gelas dan teh yang jatuh tadi. Parjo mengiyakan meski tampak ragu.

Tak berselang lama, obrolan pun berlanjut.

"T-tapi nih ya, kalo menurut gue sih omongan Parjo ada betulnya, cuma, gimanapun itu, kita tetep harus pilih calon yang terbaik gak sih? Kita pilih lah mereka yang rekam jejaknya paling bagus, baik secara pribadi maupun partainya.", ujar Gilang dengan penuh keyakinan.

"Nah, betul tuh. Mau siapa pun calonnya, ya kita harus milih secara bijak. Jangan asal pilih apalagi golput. Tipsnya, pilih aja yang kejelekannya paling sedikit!", tambah Anto.

"Iya iya, paham deh gue. Oh iya gue heran juga deh sampe sekarang masih ada aja orang yang ngata-ngatain cebong, kampret, sama kadrun di medsos. Kok bisa ya mereka sefanatik itu sama calon pilihannya?! Padahal dukung ya tinggal dukung aja, gak harus ngata-ngatain orang lain yang bersebrangan pake istilah aneh gitu!". Parjo kembali bersuara lantang dan tanpa sengaja menggebrak meja untuk kedua kalinya.

Gebrakan itu pun membuat meja yang memang sebetulnya sudah agak rapuh itu roboh seketika. Penganan, teh Anto serta kopi milik Gilang dan Parjo jatuh bersamaan.

"Mak, Mak Ijah, ini uang buat teh, kopi Gilang, sama pisang goreng, ya. Urusan meja itu, biar si Parjo yang urus. Kelakuan dia semua itu, Mak. Assalamualaikum!", pungkas Anto yang berdiri bersama Gilang menyodorkan uang pada Mak Ijah dan langsung pergi.

Keduanya meninggalkan Parjo seorang diri di warkop itu dan memilih untuk pulang ke rumah masing-masing.

Sedang Parjo, ia tampak kebingungan, bagaimana ia bisa membayar semua itu. Padahal, ia datang untuk mengopi saja rencana awalnya meminta dibayari oleh Gilang.

Akhirnya, Parjo lemas tak berdaya, dan pingsan.

Cerpen oleh: Fajar Setiawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun